FROM MOSCOW WITH LOVE (30)

Berdamai dengan Masa Lalu

Oleh: M. Aji Surya

Selasa, 10 Januari 2012, 06:57 WIB
Berdamai dengan Masa Lalu
m. aji surya
Urusan perdamaian bukan hanya soal masa kini dan masa depan. Tetapi seringkali sangat terkait dengan masa lampau. Bangsa yang tidak pernah bisa berdamai dengan masa lalunya akan terus terseret ke dalam dialektika tak berujung. Cenderung buang waktu dengan percuma.

Sampai saat ini, masih terlalu banyak orang Indonesia yang terjebak pada pandangan yang salah, bahwa Rusia masih negeri komunis dengan aneka turunannya. Stigmatisasi yang enggan enyah tersebut merupakan suatu fenomena aneh yang sangat luar biasa. Bukan hanya menghinggapi kalangan papan bawah yang miskin harta dan pengetahuan, namun juga banyak akademisi dan pejabat papan atas. Rupanya, pengetahuan sebagian kita tentang Rusia berhenti pada era gegap gempita glasnost dan perestroika yang dikumandangkan oleh Gorbachev. Setelah itu, entah mengapa, seolah kembali ke masa komunis yang penuh dengan misteri.

Bisa jadi, sekali lagi bisa jadi, ini terjadi karena dalam pribadi kita secara tidak sengaja muncul jarak dengan Rusia sebagai konsekuensi dari hubungan kelam di masa silam, khususnya selama Orde Baru berkuasa. Diri ini selalu saja terseret pada sebuah “dendam” yang seolah tidak pernah selesai. Seperti sebuah perang batin yang terjadi dalam mimpi dan dilanjutkan dalam kehidupan riil. Seolah dunia tidak mengalami perubahan sedikitpun, meskipun pada kenyataanya perubahan itu begitu dahsyat. Baru beberapa tahun terkahir ini, secara perlahan namun pasti multifacet hubungan itu kembali berkembang dalam batas yang belum optimal.

Dengan tanpa bermaksud sama sekali mengunggulkan negeri beruang putih, setidaknya mesti mulai disimak beberapa fakta menarik. Rusia kini bukan lagi dibawah cengkeraman kekuasaan politbiro. Tidak ada lagi sama suka sama rasa. Benih-benih demokrasi telah mulai tumbuh dan berkembang menggantikan sistem lama yang tumbang akibat glasnost dan perestroikanya Gorbachev. Sosialisme telah tergilas oleh kapitalisme yang merunyak di semua penjuru kota. Persaingan ketat menjadi bagian kehidupan yang tidak bisa lagi dielakkan. Kuku-kuku komunisme sudah letoi di Rusia!

Moskow misalnya, kini menjadi salah satu kota ekonomi terbesar di Eropa dan menyumbang pada kisaran 20 persen dari PDB Rusia. Bahkan, Mercer Human Resources Consulting menyebutkan bahwa pada tahun 2006, Moskow merupakan kota dengan cost value paling mahal di dunia sebagai konsekuensi dari stabilisasi mata uang rubel dan membumbungnya harga perumahan.

Pada tahun 2008, di Moskow terdapat 74 miliuner, menempatkan kota tersebut lebih tinggi dari New York yang hanya memiliki 71 miliuner. Tetapi, hal itu kemudian turun drastis pada tahun 2009 dimana hanya terdapat 27 miliuner dibanding New York yang bertahan dengan 55 miliuner pada saat krisis global melanda dunia.

GDP per-kapita di Rusia berada pada 15 ribu dolar (2009) dan GDP nasional sebesar 2.109 triliun dolar atau ranking ke-7 di dunia berdasarkan data yang dilansir oleh IMF. Komposisi angkatan kerjanya juga bervariasi mulai pertanian (10 persen), industri (31 persen) hingga jasa (58 persen). Pada tahun 2011 lalu, perkembangan GDP masih tetap elok, diatas 4 persen dibanding tahun sebelumnya. Hmm, di sisi lain, gap antara si miskin dan si kaya semakin lebar.

Kini, mobil Lada dan Volga bikinan Rusia sudah tersingkir oleh Mercedes dan BMW. Meskipun metro bawah tanah mampu mengangkut 7 juta penumpang, jalanan dengan 14 line di kota Moskow tetap sesak dan penuh kemacetan. Pop culture yang ditanam oleh lawan politik di masa Perang Dingin kini tumbuh subur di Rusia. Mulai dari Mc. Donalds’ sampai Pizza Huts ada di setiap pojokan jalan, sedangkan makanan lokal Kartoshka dari kentang yang dipanaskan mulai terseok-seok, termarginalkan.

Di Moskow misalnya, kini laki-lakinya pada naik mobil BMW dan Hummer. Kaum wanitanya senang tampil seksi dan lenggak lenggok menebar harum mewangi di musim panas. Rusia bahkan menjadi lebih terbuka dengan semangat beragama yang demikian tinggi. Umat Islam yang berjumlah 23 juta misalnya, terus membangun masjid dalam jumlah ribuan. Terdapat hampir 20 perguruan tinggi Islam dan lebih 25 calon dosennya saat ini kuliah di Universitas Islam Negeri Malang, Jogja dan Jakarta. Rusia bukan yang kita kenal dulu.

Di sisi lain, perubahan maha dahsyat juga terjadi di Indonesia pada waktu yang hampir bersamaan dengan perestroika, yakni dengan tumbangnya Orde Baru. Di tanah air tercinta ini, Semua terus bergulir dengan cepat bagaikan roda mobil F1 pada setiap race. Berputar terus menuju sebuah poros kemajuan dan kemenangan, meskipun tidak selalu dapat dicapai pada waktunya. Indonesia kini menjadi negeri yang terbuka dan demokratis serta memiliki keleluasaan dalam melakukan komunikasi dan pergaulan internasional. Tidak lagi tersekat oleh sebuah ideologi dunia dan keberpihakan yang tidak perlu. Dengan demikian, pada hakekatnya antara kedua bangsa besar ini memiliki sebuah persamaan dan potensi besar untuk bekerjasama.

Meskipun begitu, sebuah kenyataan lain juga menyeruak. Mahasiswa kita di Rusia, misalnya, hanya 120an orang dan mahasiswa Rusia ke Indonesia sekitar 100an. Bandingkan dengan mahasiswa Malaysia disana yang mencapai 2500, Vietnam 6000 dan Cina yang entah sudah berapa. Data-data tersebut hanya mengindikasikan tentang sikap kita menghadapi sebuah hubungan masa depan. Kalau saja face-to-face mahasiswa kita yang hanya segelintir itu dibanding negara jiran, sungguh sangat sulit dibayangkan bagaimana kita bisa menaguk hubungan bilateral dengan Rusia yang lebih baik dari mereka. Jumlah sumber daya manusia yang muncul dari pendidikan bisa menjadi tolok ukur bagaimana masa depan bisa dibangun. Persis, seperti korelasi kualitas pendidikan anak kita dengan masa depannya, meskipun tidak selalu linier.

Secara tidak sadar, selama ini masih ada yang terseret-seret pada arus “the west is the best”. Ini semua kemungkinan besar karena para guru dan dosen kita adalah alumnus dari universitas terkemuka dari Barat, yang juga secara tidak sengaja membawa suasana masa lalunya ke dalam kelas. Akibatnya, ada sebuah kendala psikologis untuk lebih banyak melakukan diversifikasi sumber ilmu pengetahuan ke wilayah-wilayah yang tidak konvensional.

Dalam hal ini, layaklah kita berkaca pada perintah Nabi Muhamad untuk mencari ilmu di negeri Cina yang memiliki peradaban yang berbeda. Itu, menurut banyak sumber, semata-mata karena Nabi Muhamad ingin menegaskan: tanpa diversifikasi ilmu pengetahuan maka ada kemungkinan terjadi sebuah kejumudan peradaban! Dengan kata lain, melalui diversifikasi sumber pengetahuan, maka sebuah bangsa akan lebih mudah meraih kejayaan.

Bagaimana dengan sektor yang lain, seperti perdagangan, investasi, pariwisata, serta sosial budaya? Setali tiga uang, harus digarap dengan nada dan irama yang sama agar memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Para pelakunya harus mulai memiliki sebuah kesadaran baru dan tidak lagi salah satu kakinya terbebani masa silam.

Kini yang menjadi masalah adalah bagaimana kita secara bersama-sama merubah mindset. Salah satu pilar yang sangat penting dalam membangun persepsi ini pastilah institusi pendidikan. Para dosen dan para guru harus mampu membangun rekonsiliasi dan perdamaian pemikiran masa lalu untuk ditularkan kepada semua mahasiswa dan siswanya. Selain itu, harus diaktifkan kegiatan terkait dengan dunia pendidikan seperti riset bersama, tukar menukar dosen, publikasi bersama dan lain sebagainya dengan universitas terkemuka di Rusia.

Apabila diseminasi pemikiran ini mampu dilakukan secara cepat, maka hasilnya juga akan muncul dalam waktu yang tidak terlalu lama. Namun, bila kita tetap sulit berdamai dan jiwa kita terlalu melankolis apalagi terseret pada kepahitan masa lalu, maka segala keuntungan akan dipetik negara-negara jiran. Kita akan tetap buntung. Dan seperti biasa, nantinya kita akan gigit jari atau paling banter melakukan aksi saling tuding antar teman.

(Penulis adalah warga Indonesia yang tinggal di Moskow, [email protected])

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA