Demikian ditegaskan Ketua Setara Institute, Hendardi, lewat pesan singkat, Minggu (8/1). Dia menyatakan keheranannya atas langkah Kodam III Siliwangi tersebut.
"Bagaimana mungkin organisasi semacam FPI, yang antikemajemukan dan memiliki daya rusak serius, menjadi partner kerja TNI dalam membela negara," tegas Hendardi.
Menurut dia, pendidikan Bela Negara tanpa konsep dan pendekatan yang jelas hanya akan melahirkan milisi sipil yang merasa naik kelas karena dekat dengan TNI. [Baca:
Latih FPI, Dandim Lebak Dicopot]
Dia pun merefleksikan kasus yang berkaitan dengan bela negara. Dia menyebut ada alumni bela negara justru salah arah.
"Kita masih ingat ketika Ketua Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Fuad diusir dari kawasan konsesi hutan milik PT RAPP, Riau, pada September 2016. Alumni Bela Negara dengan pongah justru menjadi centeng perusahaan dan menentang kinerja aparatur negara, dengan mengusir Nazir dari areal hutan," ungkapnya.
Langkah TNI melatih sejumlah anggota FPI ini juga mempertegas dugaan "kedekatan" TNI dengan kelompok Islam radikal semacam FPI yang hanya akan mempersulit penegakan hukum atas aksi-aksi intoleransi yang dilakukan kelompok ini.
Melihat kenyataan ini, Hendardi menilai TNI mengalami disorientasi serius dalam menjalankan perannya sebagai aparat pertahanan negara dan elemen yang juga dituntut berkontribusi menjaga kebhinekaan.
Sekalipun secara legal tindakan TNI melatih FPI bukanlah pelanggaran, tetapi secara politik dan etis, menurutnya tindakan itu dapat memunculkan ketegangan dan kontroversi baru.
"Saya menduga, Presiden Jokowi tidak mengetahui tindakan TNI ini, termasuk apa yang menjadi agenda sesungguhnya dari TNI," kata pendiri Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI).
Sebab saat terjadi aksi 411 dan 212, dia termasuk salah satu pihak yang mendesak agar Jokowi mendisiplinkan TNI yang tampak memiliki kepribadian ganda dalam menghadapi aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok intoleran.
"Jika benar, TNI berkolaborasi dengan FPI, maka pertemuan antara militerisme dan Islamisme akan memiliki daya destruktif lebih serius pada demokrasi kita. Jokowi tidak bisa terus berpangku tangan menghadapi situasi ini," demikian Hendardi.
[zul]
BERITA TERKAIT: