Tinjau Ulang Vaksinasi HB?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ahmadie-thaha-5'>AHMADIE THAHA</a>
OLEH: AHMADIE THAHA
  • Sabtu, 13 Desember 2025, 08:56 WIB
Tinjau Ulang Vaksinasi HB?
Ilustrasi vajsu HB.
ANDA tahu, Presiden AS Donald Trump kalau melihat peluang, lebih peka dari kucing kampung yang mendengar suara kaleng ikan sarden dibuka. Begitu ia mencium aroma bisnis di balik urusan vaksin -yang tiap tahun membuat negara menderet-deret angka belanja triliunan kepada perusahaan farmasi- fantasinya langsung bekerja. 

Maka tak heran jika ia mulai "mengatur" CDC (Centers for Disease Control and Prevention) yang bertugas memberi masukan pada negaga tentang vaksin, untuk mempertimbangkan ulang vaksin mana yang dianggap benar-benar penting, mana yang bisa dinegosiasikan seperti harga kambing jelang Idul Adha. 

Target kali ini: vaksin hepatitis B (HB) untuk bayi baru lahir. Bukan vaksin lainnya, bukan jadwal imunisasi lengkap. Persis seperti orang yang bilang diet, tapi yang dikurangi cuma kerupuk. Mengapa hepatitis B? Trump dan barisan penasihat barunya melihat bahwa kasus hepatitis B pada anak memang jauh lebih sedikit dibanding infeksi lain. 

Maka logika bisnisnya: kalau jarang terjadi, biaya bisa dipangkas. Namun, seperti biasa, urusan kesehatan tidak pernah sesederhana kalkulator. Hepatitis B bukan flu musiman yang datang pamit sopan. Ia diam-diam masuk, lalu tinggal bertahun-tahun, menggerogoti hati dengan sabar, tenang, tapi mematikan.

Di Amerika, sejak 1991 CDC merekomendasikan tiga dosis vaksin hepatitis B: satu pada 24 jam pertama setelah bayi lahir, satu di usia 1–2 bulan, dan satu lagi saat 6–18 bulan. Indonesia malah mewajibkan vaksinasi dasar dalam waktu 24 jam pertama setelah kelahiran (dikenal sebagai HB0), termasuk di dalamnya vaksinasi hepatitis B, sejak 1997.

Data menunjukkan, jika bayi tidak divaksin, lalu terkena hepatitis B di tahun pertamanya, 90% akan menjadi pembawa kronis seumur hidup. Dan dari yang kronis ini, 1 dari 4 akan meninggal karena kerusakan hati. Maka program vaksinasi lahir seperti seatbelt: dipasang sebelum mobil berjalan. Bukan setelah mobil menabrak tiang listrik.

Namun suasana ACIP -komite penasihat vaksin CDC AS- kini banyak suara, minim data. Setelah dibersihkan total oleh Menteri Kesehatan yang terkenal antusias mencari-cari kesalahan vaksin (seperti guru killer mencari rambut gondrong di sekolah), komite ini berubah haluan. Diskusi ilmiah bergeser menjadi pasar argumen, penuh spekulasi, dan miskin bukti.

Berhari-hari ACIP bersidang dalam ruang rapat CDC yang biasanya tenang seperti perpustakaan, tetapi kini berubah menjadi gelanggang adu argumen yang lebih panas dari wajan goreng ayam kremes. Dua hari sidang itu —4 dan 5 Desember: para dokter yang memegang data berhadapan dengan para anggota baru yang membawa lebih banyak kecurigaan daripada bukti. 

Ada yang mempersoalkan penghalang darah-otak bayi seolah-olah sedang membahas pintu tol yang macet, ada yang mencurigai komposisi vaksin seperti menebak isi bakso urat. Diskusinya tidak lagi bergerak di jalur ilmiah yang rapi, melainkan zigzag penuh interupsi, mirip rapat RT yang disisipi kabar hoaks dari WhatsApp keluarga. 

Para pakar lama yang hadir hanya bisa geleng-geleng: forum yang semestinya menjadi altar ilmu pengetahuan berubah menjadi pasar malam opini. Dan ketika akhirnya voting dilakukan -8 anggota menyetujui penghapusan dosis lahir, 3 menolak-terlihat jelas bahwa suara mayoritas lebih berdiri di atas kehendak Gedung Putih.

Padahal para ilmuwan sudah dua dekade memeriksa vaksin hepatitis B seperti polisi memeriksa barang bukti. Tak ditemukan dampak buruk signifikan. Para dokter mengingatkan: ini vaksin yang aman, efektif, murah pula. Namun pejabat ACIP yang baru berkeras ingin memberi ruang "pilihan bersama" bagi orang tua yang tentu kedengaran demokratis.

Padahal, hepatitis B bukan penyakit yang menunggu anak remaja dulu baru menyerang lewat perilaku beresiko. Bayi bisa tertular dari ibunya, dari pengasuh, dari darah sedikit saja, atau dari lingkungan rumah. Virus ini bandel: sanggup bertahan di permukaan benda hingga seminggu seperti cicilan paylater yang tak mau hilang.

Di sinilah problemnya: sebagian anggota komite berkata, "Ya sudah, tes saja semua ibu hamil." Ah, seandainya hidup semudah PowerPoint. Kenyataannya, tidak semua ibu hamil dites, tidak semua hasil tes keluar tepat waktu, dan tidak semua ibu datang ke fasilitas kesehatan yang lengkap. Amerika saja repot. Apalagi Indonesia?

Mari kita pindah sebentar ke Tanah Air. Di Indonesia, bayi menerima HB-0 (hepatitis B dosis pertama) dalam 24 jam setelah lahir, lalu jadwal lanjutan melalui vaksin kombinasi. Mengapa cepat sekali? Karena Indonesia termasuk wilayah dengan prevalensi hepatitis B cukup tinggi. Banyak orang terinfeksi tanpa tahu statusnya.

Indonesia belajar dari masa lalu ketika hepatitis B menjadi penyebab sirosis dan kanker hati terbesar di populasi dewasa. Maka strategi pencegahannya dibuat kompak: cepat, massal, merata. Bila Amerika memutuskan untuk menunda atau membatalkan vaksin lahir, di Indonesia langkah itu bisa disebut nekat—atau lebih sopan: eksperimental dengan resiko tidak elegan.

Kembali ke Trump. Ia membaca vaksin bukan dari kacamata epidemiologi, tapi neraca rugi laba. Mungkin di pikirannya, hepatitis B sudah jarang terlihat, dianggap tak perlu. Padahal justru karena vaksin efektif, penyakitnya menghilang. Menghapus vaksin karena penyakitnya sudah jarang itu seperti memecat satpam karena maling sudah minim—besok paginya rumah jebol.

Lebih jauh lagi, jika ACIP nanti bikin kebijakan mengubah jadwal vaksin hepatitis B menjadi "opsional", efeknya bisa berantai: perusahaan asuransi bisa berhenti menanggung biayanya, program bantuan vaksin untuk keluarga miskin bisa terganggu, dan pada akhirnya jurang ketimpangan kesehatan makin menganga.

Maka drama politik-vaksin ini ibarat adegan sinetron yang berorientasi pasar: keputusan dibuat di atas panggung, tapi dampaknya dirasakan rakyat kecil yang tidak punya sutradara untuk protes. Langkah kecil di Atlanta bisa menjadi gelombang besar infeksi hepatits B beberapa tahun ke depan.

Walhasil, setiap bangsa diuji bukan pada seberapa hebat mereka merespon penyakit baru, melainkan seberapa teguh mereka menjaga kemenangan lama. Hepatitis B adalah contoh klasik bagaimana sains bekerja: pelan, pasti, dan tidak peduli politik. Ketika politik mulai mengarahkan sains, hasilnya hanya dua: kebingungan dan penyakit yang kembali bermekaran.

Begitulah hidup: kadang yang tampak seperti penghematan justru menghasilkan ongkos mahal. Kadang pula sesuatu yang terasa tidak penting ternyata fondasi dari kesehatan generasi. Bayi tak pernah memilih dilahirkan dengan resiko apa pun; kitalah yang bertugas menyingkirkan resikonya.

Dan mungkin, dari keributan ini, kita belajar satu hal sederhana namun bijak: bahwa penyakit tidak pernah berpolitik, tapi manusia selalu berhasil mempolitisasikannya.rmol news logo article
EDITOR: ADE MULYANA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA