Pengawasan tersebut mencakup aspek legalitas, perlindungan lingkungan, serta kepatuhan terhadap kawasan konservasi dan hutan lindung.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengklaim, pengawasan tersebut mencakup aspek legalitas, perlindungan lingkungan, serta kepatuhan terhadap kawasan konservasi dan hutan lindung.
Menurutnya, evaluasi juga dilakukan sesuai Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang mewajibkan reklamasi dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat teknis, lingkungan, dan sosial.
Bahlil juga mengungkapkan bahwa ada lima perusahaan tambang yang memiliki izin resmi untuk beroperasi di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Dua perusahaan memiliki izin dari pemerintah pusat, sedangkan tiga lainnya dari pemerintah daerah.
Bahlil menegaskan, meskipun memiliki izin resmi, evaluasi akan terus dilakukan secara berkelanjutan.
“Demi menjaga keseimbangan antara keberlanjutan lingkungan dan kegiatan ekonomi,” kata Bahlil dalam keterangannya yang dikutip Senin 9 Juni 2025.
Berikut lima perusahaan tambang yang memiliki izin resmi untuk beroperasi di Raja Ampat, dikutip dari laman Kementerian ESDM,
1. PT Gag Nikel
Perusahaan ini mengantongi izin operasi produksi sejak 2017. Hal ini berdasarkan SK Menteri ESDM Nomor 430.K/30/DJB/2017 yang berlaku hingga 30 November 2047.
Bahlil mengklaim pemegang Kontrak Karya (KK) Generasi VII dengan luas wilayah 13.136 hektare di Pulau Gag ini telah memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) pada 2014, lalu adendum Amdal pada 2022, serta Adendum Amdal Tipe A yang diterbitkan tahun lalu oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sementara itu, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dikeluarkan pada 2015 dan 2018 dan Penataan Areal Kerja (PAK) diterbitkan pada 2020. Hingga 2025, total bukaan tambang PT Gag Nikel mencapai 187,87 hektare, dengan 135,45 hektare telah direklamasi. Menurut Bahlil, PT Gag Nikel belum melakukan pembuangan air limbah karena masih menunggu penerbitan Sertifikat Laik Operasi (SLO).
2. PT Anugerah Surya Pratama (ASP)
IUP Operasi Produksi PT ASP diterbitkan pemerintah pusat, yakni melalui SK Menteri ESDM Nomor 91201051135050013 yang diterbitkan pada 7 Januari 2024 dan berlaku hingga 7 Januari 2034.
Perusahaan ini memiliki wilayah operasi seluas 1.173 hektare di Pulau Manuran. Untuk aspek lingkungan, PT ASP telah memiliki dokumen Amdal pada 2006 dan UKL-UPL pada tahun yang sama dari Bupati Raja Ampat.
3. PT Mulia Raymond Perkasa (MRP)
Perusahaan ini memiliki IUP dengan luas konsesi sekitar 2.194 Ha yang mencakup Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele di Distrik Waigeo Barat Kepulauan.
KLH mencatat MRP tidak memiliki PPKH. PT MRP mengantongi IUP dari SK Bupati Nomor 153.A Tahun 2013. SK tersebut berlaku selama 20 tahun hingga 26 Februari 2033 dan mencakup wilayah 2.193 hektare di Pulau Batang Pele.
Menurut catatan Kementerian ESDM, kegiatan perusahaan ini masih dalam tahap eksplorasi (pengeboran) dan belum memiliki dokumen lingkungan maupun persetujuan lingkungan.
4. PT Kawei Sejahtera Mining (KSM)
Dasar hukum IUP yang dimiliki PT KSM adalah SK Bupati Nomor 290 Tahun 2013, yang berlaku hingga 2033 dengan wilayah seluas 5.922 hektare.
Terkait dengan penggunaan kawasan, perusahaan tersebut memegang IPPKH berdasarkan Keputusan Menteri LHK tahun 2022.
Kegiatan produksi dilakukan sejak 2023, tetapi saat ini tidak terdapat aktivitas produksi yang berlangsung.
5. PT Nurham
PT Nurham memegang IUP berdasarkan SK Bupati Raja Ampat Nomor 8/1/IUP/PMDN/2025. Perusahaan ini memiliki izin hingga tahun 2033 dengan wilayah seluas 3.000 hektare di Pulau Waegeo. PT Nurham telah memiliki persetujuan lingkungan dari Pemerintah Kabupaten Raja Ampat sejak 2013, tetapi hingga kini perusahaan belum berproduksi.
BERITA TERKAIT: