Berita

Ilustrasi. (Foto: ANTARA)

Publika

Peran Mitra Eksternal dalam Pengelolaan Konflik LTS

JUMAT, 26 DESEMBER 2025 | 05:59 WIB

DINAMIKA keamanan maritim di Laut Tiongkok Selatan (LTS) semakin dipengaruhi oleh keterlibatan kekuatan ekstra-regional seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan negara-negara Eropa. Kehadiran mereka, yang dimanifestasikan melalui operasi kebebasan navigasi (FONOPs) dan patroli militer unilateral, meskipun bertujuan menyeimbangkan klaim maritim Tiongkok yang ekspansif, sering kali tidak selaras dengan preferensi dan kompleksitas persepsi keamanan di antara negara-negara klaim ASEAN. 

Naskah ini menganalisis bahwa pendekatan unilateral berisiko memicu eskalasi, mengabaikan prinsip sentralitas ASEAN, dan mengabaikan memori historis regional terhadap persaingan kekuatan besar. Berdasarkan analisis hukum internasional dan kerangka diplomasi ASEAN, solusi yang diusulkan adalah reorientasi keterlibatan menuju kerja sama kolaboratif yang memperkuat kapasitas negara-negara ASEAN. Bentuk aksi prioritas meliputi latihan militer bersama, alih teknologi, penguatan kapasitas penjaga pantai, dan pemanfaatan forum-forum berbasis ASEAN seperti ASEAN Coast Guard Forum dan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific untuk memastikan keterlibatan eksternal yang produktif, berkelanjutan, dan menghormati kedaulatan regional.
    
Konteks Strategis dan Aktualitas Permasalahan


Laut Tiongkok Selatan telah berevolusi dari sekadar wilayah sengketa maritim regional menjadi episentrum persaingan strategis global, menarik minat operasional dan diplomatik dari berbagai kekuatan ekstra-regional. Dalam beberapa tahun terakhir, peningkatan signifikan kehadiran militer negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, Jerman, dan Prancis telah mengubah lanskap keamanan di perairan tersebut. Amerika Serikat, melalui United States Navy, telah secara konsisten melaksanakan Freedom of Navigation Operations (FONOPs) untuk menantang klaim maritim yang dianggapnya berlebihan dan tidak sesuai dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Pada tanggal 5 Februari 2021, misalnya, kapal perusak rudal berpandu USS John S. McCain melakukan transit operasional di sekitar fitur-fitur yang disengketakan, sebuah pola yang telah menjadi rutinitas. 

Di luar AS, sekutunya juga meningkatkan profil kehadiran mereka; Jerman mengerahkan frigat Bayern untuk melewati Selat Taiwan pada September 2024, sementara Prancis mengerahkan grup kapal induk Charles de Gaulle melalui Laut Tiongkok Selatan pada Juli 2025. Komitmen keamanan kolektif ini ditegaskan kembali oleh Duta Besar Jerman dan Prancis untuk Filipina dalam Manila Dialogue on the South China Sea yang diselenggarakan awal November 2025. Kehadiran ini secara prinsip dimaksudkan sebagai penyeimbang terhadap perilaku maritim Tiongkok yang dianggap provokatif dan sebagai upaya menjaga prinsip hukum internasional, termasuk hak untuk berlayar di zona ekonomi eksklusif (ZEE) sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UNCLOS. Namun, esensi dan manifestasi fisik dari keterlibatan eksternal ini justru memunculkan paradoks dan tantangan baru bagi stabilitas regional yang sebenarnya hendak dijaga.

Analisis Persepsi dan Kepentingan Beragam

Respons terhadap gelombang keterlibatan eksternal di kalangan negara-negara ASEAN, sebagaimana tercermin dalam berbagai pernyataan resmi dan kebijakan pertahanan, tidaklah monolitik dan merefleksikan kompleksitas kepentingan nasional serta memori sejarah masing-masing. Filipina, dengan landasan hukum Mutual Defense Treaty dengan AS tahun 1951 dan Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) 2014, secara terbuka menyambut dan mendorong peningkatan kehadiran sekutu tradisionalnya sebagai penangkal terhadap tekanan maritim Tiongkok di sekitar gugusan Kepulauan Spratly dan Second Thomas Shoal. 

Sebaliknya, Indonesia dan Malaysia menunjukkan sikap yang lebih berhati-hati dan reservatif. Sebagai negara kepulauan (archipelagic states) yang kedaulatannya diakui berdasarkan UNCLOS, kedua negara ini menolak segala bentuk militerisasi yang dapat memicu eskalasi dan mengganggu stabilitas di perairan sekitar Natuna (Indonesia) dan di Blok Luconia (Malaysia). Kekhawatiran ini berakar pada memori kolektif tentang era kolonialisme dan periode Perang Dingin, di mana kawasan Asia Tenggara menjadi ajang proxy war, sehingga menimbulkan kecurigaan terhadap motif jangka panjang kekuatan besar. Prinsip utama yang dipegang ASEAN dalam merespons dinamika ini adalah doktrin "Sentralitas ASEAN", yang termanifestasi dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) dan berbagai deklarasi bersama, yang menegaskan bahwa arsitektur keamanan regional harus dikepalai dan diarahkan oleh ASEAN sendiri. 

Oleh karena itu, tindakan unilateral seperti FONOPs yang tidak terkoordinasi, meski memiliki dasar hukum dalam kerangka hukum laut internasional, sering dipandang mengabaikan sensitivitas politik regional dan berpotensi mengurangi peran sentral ASEAN dalam mengelola sengketa, sehingga justru dapat melemahkan legitimasi dan efektivitas upaya penyeimbangan itu sendiri.

Risiko Eskalasi dan Keterbatasan Pendekatan Unilateral

Pendekatan keamanan yang mengandalkan demonstrasi kekuatan militer unilateral membawa risiko eskalasi yang inherent dan konsekuensi geopolitik yang tidak diinginkan, khususnya dalam interaksi dengan Tiongkok yang juga terus meningkatkan kemampuan dan aktivitas militernya di kawasan. Insiden-insiden jarak dekat yang berbahaya, seperti manuver pesawat tempur AL AS dan PLAAAF di atas Laut Tiongkok Selatan yang terekam dalam beberapa video intelijen, mengindikasikan tingginya potensi salah perhitungan atau kesalahan teknis yang dapat memicu konflik terbuka. 

Risiko ini diperparah oleh tidak adanya mekanisme komunikasi krisis militer-militer yang efektif dan mengikat secara multilateral antara semua pihak yang terlibat. Jika insiden bentrokan terjadi, negara-negara ASEAN yang geografisnya berada di episentrum konflik akan menjadi pihak yang paling menanggung dampak buruknya, baik secara ekonomi, ekologi, maupun keamanan, sementara kekuatan ekstra-regional dapat menarik diri secara relatif lebih mudah. Lebih jauh, tindakan unilateral cenderung memberikan justifikasi balik bagi Tiongkok untuk mempercepat militerisasi pulau-pulau buatan (seperti di Subi dan Mischief Reef) dan memperketat kontrolnya, dengan dalih menghadapi intervensi asing. 

Dari perspektif hukum, meskipun FONOPs berargumen pada penegakan UNCLOS, efektivitasnya dalam mengubah perilaku Tiongkok secara substansial terbukti terbatas, sementara biaya politiknya dalam merusak kohesi ASEAN dan memicu siklus aksi-reaksi militer justru semakin nyata. Oleh karena itu, diperlukan paradigma keterlibatan yang lebih cerdas dan berkelanjutan yang meminimalkan risiko langsung dan membangun ketahanan maritim regional dari dalam.

Kerangka Kerja Sama Kolaboratif dan Berbasis Kapasitas

Solusi yang lebih efektif dan selaras dengan arsitektur keamanan regional terletak pada pergeseran dari pendekatan balance of power yang konfrontatif menuju pendekatan capacity building yang kolaboratif. Mitra eksternal seyogianya mengalihkan sebagian sumber daya dari operasi demonstratif unilateral ke program kemitraan jangka panjang yang dirancang untuk memperkuat kapasitas maritim negara-negara klaim ASEAN sendiri. Bentuk konkretnya meliputi latihan militer dan penjaga pantai bersama yang terregularisasi, alih teknologi dan intelijen maritim (seperti sistem pengawasan maritim domain awareness), pelatihan penegakan hukum perikanan, serta dukungan untuk pengembangan kapabilitas penanganan insiden di laut seperti tumpahan minyak dan pencarian penyelamatan (SAR). 

Forum-forum yang ada di bawah payung ASEAN harus menjadi saluran utama untuk merancang dan mengoordinasi kerja sama semacam ini. ASEAN Coast Guard Forum, yang dalam visi jangka panjang akan menjadi institusi formal, merupakan venue yang ideal untuk menjembatani kerja sama teknis antara penjaga pantai ASEAN dengan mitra seperti US Coast Guard atau Japan Coast Guard. Demikian pula, dokumen ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) yang diadopsi tahun 2019 menyediakan kerangka prinsip-prinsip inklusif dan berbasis aturan yang dapat dioperasionalkan melalui proyek-proyek kerja sama maritim yang spesifik dengan mitra eksternal, sehingga memastikan "Sentralsitas ASEAN" tidak hanya menjadi retorika tetapi praktik nyata.

Contoh Best Practice dan Rekomendasi Aksi Kebijakan

Beberapa negara mitra telah menunjukkan pola keterlibatan yang lebih reseptif terhadap preferensi ASEAN. Australia, misalnya, melalui Australia-ASEAN Summit di Melbourne Maret 2024, menunjukkan komitmen untuk secara proaktif mendengarkan prioritas keamanan maritim negara-negara anggota ASEAN. Lebih konkret, perjanjian pertahanan antara Indonesia dan Australia yang diperbarui pada 2025 menekankan pada peningkatan dialog strategis, latihan bersama, dan pembangunan kapasitas di bidang keamanan maritim dan siber, yang mencerminkan pendekatan berbasis kepentingan bersama dan saling menghormati kedaulatan. Rekomendasi kebijakan bagi para pemangku kepentingan dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, bagi kekuatan ekstra-regional, prioritas harus diberikan pada pendampingan dan diplomasi maritim yang mendukung finalisasi Code of Conduct (COC) yang efektif dan bermakna antara ASEAN dan Tiongkok, dengan memastikan klausul-klausulnya tidak menutup pintu bagi keterlibatan pihak ketiga yang konstruktif sesuai hukum internasional. 

Kedua, bagi negara-negara ASEAN, diperlukan konsolidasi posisi internal yang lebih kuat untuk secara kolektif mengartikulasikan bentuk-bentuk keterlibatan eksternal yang dapat diterima, mungkin melalui penyusunan ASEAN Maritime Outlook yang lebih operasional. Ketiga, bagi semua pihak, penguatan jalur komunikasi krisis dan penerapan aturan pencegahan insiden di laut (CUES - Code for Unplanned Encounters at Sea) harus didorong secara inklusif, melibatkan tidak hanya angkatan laut tetapi juga kapal coast guard dan milisi maritim.

Penutup

Laut Tiongkok Selatan membutuhkan tata kelola yang stabil dan berdasarkan aturan. Kehadiran mitra eksternal adalah keniscayaan geopolitik, namun format kehadiran itulah yang menentukan kontribusinya bagi stabilitas jangka panjang. Pendekatan unilateral melalui demonstrasi kekuatan, meski memiliki landasan dalam hukum internasional, terbukti mengandung risiko eskalasi tinggi dan sering kali berbenturan dengan prinsip sentralitas serta preferensi keamanan yang beragam di ASEAN. Oleh karena itu, jalan ke depan yang paling strategis adalah melalui pendekatan kooperatif yang berfokus pada penguatan kapasitas dan kedaulatan maritim negara-negara ASEAN sendiri. 

Dengan memanfaatkan kerangka AOIP dan forum-forum khusus seperti ASEAN Coast Guard Forum, keterlibatan eksternal dapat dialihkan menjadi kekuatan pendukung yang memperkuat ketahanan regional, mendorong penegakan hukum laut secara independen oleh negara pantai, dan pada akhirnya menciptakan lingkungan yang kurang kondusif bagi aksi unilateral dari pihak manapun, termasuk Tiongkok. Tantangan ke depan adalah mengubah paradigma keterlibatan dari logika persaingan kekuatan besar menuju logika pemberdayaan kolektif yang berpusat pada ASEAN.
 
 
Laksamana Muda TNI (Purn) Adv. Dr. Surya Wiranto, SH MH 
Penasihat Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Anggota Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Program Pascasarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Indonesia, Ketua Departemen Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Sekretaris Jenderal IKAL Strategic Centre (ISC) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Maritim Indonesia (IIMS). Aktif sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator di firma hukum Legal Jangkar Indonesia. 
 

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Bank Mandiri Berikan Relaksasi Kredit Nasabah Terdampak Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12

UMP Jakarta 2026 Naik Jadi Rp5,72 Juta, Begini Respon Pengusaha

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05

Pemerintah Imbau Warga Pantau Peringatan BMKG Selama Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56

PMI Jaksel Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana di Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54

Trump Selipkan Sindiran untuk Oposisi dalam Pesan Natal

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48

Pemerintah Kejar Pembangunan Huntara dan Huntap bagi Korban Bencana di Aceh

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15

Akhir Pelarian Tigran Denre, Suami Selebgram Donna Fabiola yang Terjerat Kasus Narkoba

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00

Puan Serukan Natal dan Tahun Baru Penuh Empati bagi Korban Bencana

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49

Emas Antam Naik, Buyback Nyaris Tembus Rp2,5 Juta per Gram

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35

Sekolah di Sumut dan Sumbar Pulih 90 Persen, Aceh Menyusul

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30

Selengkapnya