Berita

Ilustrasi (Artificial Inteligence)

Publika

Indonesia: Republik 6B

RABU, 17 DESEMBER 2025 | 12:38 WIB | OLEH: GDE SIRIANA YUSUF*

NEGARA tidak selalu runtuh oleh kudeta atau perang. Kadang ia membusuk perlahan, dari dalam. Bukan karena kekurangan hukum, melainkan karena hukum terlalu sering dijadikan alat. 

Di Indonesia hari ini, tata kelola pemerintahan tampak berdiri, tetapi jiwanya rapuh. Demokrasi berjalan, namun kedaulatan tersesat. Di balik wajah formal republik, bekerja enam figur yang merusak dari dalam—diam, rapi, dan sistematis.

Pertama, Bandit. Mereka bukan kriminal jalanan, melainkan perampok berjubah legalitas. Sumber daya alam diambil bukan dengan paksa, tetapi lewat izin, konsesi, dan pasal-pasal yang direvisi diam-diam. Hukum tidak lagi menjadi pagar, melainkan tangga. Seperti sindiran Franz Kafka, “The law does not say what is just; it only says what is legal.” Maka perampokan berlangsung sah, dan keadilan kehilangan alamat.


Seperti peringatan Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Bedanya hari ini, korupsi tidak selalu tampak kasar. Ia rapi, berlapis regulasi, dan sering dibela dengan narasi stabilitas.

Di panggung depan, tampil Badut. Politik dipentaskan sebagai hiburan. Janji diproduksi massal, kritik ditertawakan, kegagalan dibungkus jargon. Demokrasi dikerdilkan menjadi acara seremonial lima tahunan. Neil Postman sudah lama mengingatkan, “When politics becomes entertainment, democracy is endangered.” Badut tidak diminta berpikir, cukup menghibur—agar publik lupa bertanya.

Di antara panggung dan ruang kendali, bekerja figur yang jarang disorot tetapi krusial: Broker. Ia bukan pemilik kuasa puncak, melainkan penghubung kepentingan. Broker proyek, broker politik, broker kasus hukum—ahli mempertemukan kebutuhan penguasa, modal, aparat, dan regulasi. Perannya teknis namun menentukan kelancaran transaksi. Biayanya tidak pernah tercatat sebagai korupsi langsung, melainkan disamarkan dan di-top up dalam ongkos proyek. Di sinilah relevan analisis Kunio Yoshihara tentang kapitalisme Indonesia: “Indonesian capitalism is not built on competition, but on privilege—licenses, quotas, protection, and access to the state.” Keuntungan lahir bukan dari efisiensi, melainkan dari kedekatan. Negara direduksi menjadi ruang negosiasi tertutup, dan broker menjadi operatornya.

Di kursi formal kekuasaan, duduk Boneka. Mereka tampak memerintah, tetapi sejatinya dikuasai. Dalam teori relasi kuasa, kekuasaan tidak selalu bekerja lewat perintah kasar, melainkan melalui ketergantungan dan kontrol sumber daya. Michel Foucault mengingatkan bahwa kuasa bekerja halus—mengatur apa yang boleh diputuskan, bahkan apa yang dianggap rasional. Boneka tidak perlu dipaksa; ia sudah memahami kepentingan siapa yang harus dijaga. Di titik ini, negara kehilangan otonomi kebijakan.

Untuk memastikan semua tetap berjalan tanpa gangguan, dikerahkan Buzzer. Mereka bukan sekadar pendukung, melainkan mesin produksi realitas semu. Fakta ditenggelamkan oleh opini, kritik dicap ancaman, kebenaran dikalahkan oleh repetisi. Hannah Arendt menulis, “The ideal subject of domination is not one who believes lies, but one who can no longer distinguish between truth and falsehood.” Ketika publik lelah membedakan, kekuasaan bekerja tanpa perlawanan.

Dan di puncak piramida, berdiri Bandar. Ia bukan operator, melainkan pemilik permainan. Jarang tampil, nyaris tak tersentuh, tetapi menentukan arah besar: siapa maju, siapa dilindungi, siapa disingkirkan. Inilah wajah oligarki, seperti dijelaskan Jeffrey Winters—segolongan kecil pemilik kekayaan yang menggunakan kekuatan materialnya untuk mengendalikan negara demi melindungi akumulasi mereka. Negara tidak runtuh; ia dikerangkeng segelintir elit. Hukum dibelokkan, demokrasi dipersempit, kebijakan disandera.

Pemilu tetap berlangsung, tetapi hanya sebagai prosedur. Kedaulatan rakyat tidak pernah sampai ke bilik suara,  mati dibunuh amplop "serangan fajar" . C. Wright Mills menyebutnya power elite—lingkaran kecil yang menguasai politik, ekonomi, dan hukum sekaligus. Demokrasi hidup sebagai ritual, mati sebagai nilai.

Maka Indonesia hari ini layak disebut Republik 6B: negara yang dijalankan oleh bandit yang legal, dihibur badut yang riuh, dioperasikan broker yang lihai, dipimpin boneka yang patuh, dibungkam buzzer yang bising, dan dikendalikan bandar yang tak terlihat. Republik ini belum runtuh—tetapi sedang kehilangan dirinya sendiri, pelan-pelan, tanpa suara.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

Kreditur Tak Boleh Cuci Tangan: OJK Perketat Aturan Penagihan Utang Pasca Tragedi Kalibata

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:15

Dolar Melemah di Tengah Data Tenaga Kerja AS yang Variatif

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:00

Penghormatan 75 Tahun Pengabdian: Memori Kolektif Haji dalam Buku Pamungkas Ditjen PHU

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:48

Emas Menguat Didorong Data Pengangguran AS dan Prospek Pemangkasan Suku Bunga Fed

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:23

Bursa Eropa Tumbang Dihantam Data Ketenagakerjaan AS dan Kecemasan Global

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:01

Pembatasan Truk saat Nataru Bisa Picu Kenaikan Biaya Logistik

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:46

Dokter Tifa Kecewa Penyidik Perlihatkan Ijazah Jokowi cuma 10 Menit

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:35

Lompatan Cara Belajar

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:22

Jakarta Hasilkan Bahan Bakar Alternatif dari RDF Plant Rorotan

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:11

Dedi Mulyadi Larang Angkot di Puncak Beroperasi selama Nataru

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:48

Selengkapnya