SEJAK tuntutan reformasi Polri digaungkan pasca aksi demo yang berakhir rusuh Agustus kemarin itu, yang terlihat gelagapan justru institusi Polri itu sendiri, entah kenapa?
Bahkan, tak hanya dari institusi Polri, purnawirawan Polri pun terlihat agak gelisah, usai Presiden Prabowo Subianto menyetujui tuntutan Reformasi Polri itu.
Kecuali beberapa purnawirawan Polri yang terlihat agak reformis seperti Oegroseno dan Susno Duadji. Susno Duadji bahkan, pernah ditangkap oleh anak buahnya sendiri. Reformasi Polri seperti suatu keharusan, tapi tak mudah karena adanya resistensi.
Reformasi Polri yang disetujui Presiden Prabowo dengan mengangkat Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat, dan Reformasi Polri, Ahmad Dofiri, dan pembentukan Komisi Reformasi Polri, justru didahului oleh Tim Tranformasi Reformasi Polri yang dibentuk sendiri oleh Kapolri dengan anggota berasal dari internal Polri itu sendiri.
Dengan tegas Kapolri mengatakan bahwa Reformasi Polri tanpa keterlibatan Polri tak akan bisa berjalan dengan baik. Sebab, yang akan menjalankan Reformasi Polri itu, ya Polri itu sendiri.
Maka jadilah Komisi Reformasi Polri yang dibentuk Presiden Prabowo, Komisi Percepatan Reformasi Polri, diisi kebanyakan mantan Kapolri, termasuk Kapolri aktif saat ini, Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Artinya, satu sisi Presiden Prabowo mengakomodir pernyataan Kapolri bahwa Reformasi Polri memang harus melibatkan Polri.
Tapi di sisi lain, Tim Internal Reformasi Polri yang sudah dibentuk Kapolri, tidak dibutuhkan lagi, karena Kapolri itu sendiri, bahkan beberapa mantan Kapolri menjadi anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dibentuk Presiden.
Agak aneh juga kemarin, terlihat mantan Kapolri Da'i Bachtiar, yang notabene merupakan salah seorang anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri, justru menemui Ketua dan Anggota Komisi lainnya, yakni Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD, membicarakan masalah Reformasi Polri.
Bukankah ia bisa memberi masukan sebagai anggota Komisi? Memang, bisa jadi ia mewakili resmi institusi purnawirawan Polri, tapi bukankah karena posisi itu ia ditunjuk Presiden jadi anggota Komisi Reformasi Polri? Ambiguitas ini terjadi sejak awal, Reformasi Polri mulai disuarakan.
Presiden Prabowo tentu saja sudah bisa menangkap resistensi dari institusi Polri, berserta purnawirawan Polri, ketika disuarakan Reformasi Polri itu.
Makanya Komisi Percepatan Reformasi Polri diisi kebanyakan mantan Kapolri, termasuk Kapolri aktif saat ini, dan diimbangi oleh tiga orang pakar hukum terkemuka di negeri ini, yakni Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD, dan Yusril Ihza Mahendra.
Hanya saja, di tengah
setting Reformasi Polri yang dirancang Presiden, muncullah putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 mengenai larangan bagi anggota Polri aktif menempati posisi di luar Polri kecuali mengundurkan diri atau pensiun.
Sebetulnya, dengan munculnya putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tentang larangan bagi anggota Polri aktif menempati posisi di luar Polri, kecuali mengundurkan diri atau pensiun, Polri atau Kapolri tidak lagi berhadapan dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri atau Presiden, melainkan dengan Mahkamah Konstitusi atau Undang-Undang itu sendiri.
Awalnya respons dari Polri terhadap putusan MK itu normatif saja. Justru respons Pemerintah dan anggota DPR yang resisten pada putusan MK itu. Ini memang pertarungan tersendiri pula, antar mereka.
Kalau respons Kapolri terhadap tuntutan Reformasi Polri dijawab dengan membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri di internal Polri, bahkan sebelum itu dibentuk oleh Presiden, maka respon terhadap putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 itu adalah Perpol No 10 Tahun 2025, yang justru bertolak belakang dengan putusan MK itu sendiri.
Ini seperti payung kecil di tengah hujan badai. Atau istilah Susno Duadji dulu Cicak versus Buaya. Perpol itu tak ada apa-apanya dibanding Putusan MK. Entah apa tujuannya Perpol itu mau menandingi putusan MK?
Masih mendingan pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri di internal Polri sebelum dibentuk Tim Reformasi resmi oleh Presiden, dengan alasan untuk menyambut atau mengakselerasi tuntutan Reformasi Polri itu sendiri.
Tapi kalau putusan MK dilawan dengan Perpol, nyaris tak ada alasan apa pun yang bisa dibuat sebagai pembenaran. Kalau tidak perlawanan, ya pembangkangan. Sepertinya Polri ingin menyamakan dirinya dengan TNI, malah TNI-Plus pula.
Tapi sayangnya TNI ada dalam UU, sedangkan Polri tidak. Itulah alasannya Mahfud MD menolak Perpol itu atas nama pribadi, bukan atas nama Anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri.
ErizalDirektur ABC Riset & Consulting