Ilustrasi melindungi segenap bangsa Indonesia. (Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/kye/15)
AMANAT konstitusi yang paling pertama, paling tegas, dan paling menentukan dalam Pembukaan UUD 1945 adalah kewajiban negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kalimat ini bukan simbol historis, bukan slogan seremonial, dan bukan sekadar pengantar konstitusi. Ia adalah perintah langsung tentang fungsi utama negara: hadir, bertindak, dan bertanggung jawab atas keselamatan rakyatnya.
Melindungi segenap bangsa Indonesia bukanlah melindungi jabatan dari kemungkinan diberhentikan. Bukan mengamankan posisi, citra, atau karier politik ketika krisis datang. Bukan pula mencari popularitas di tengah bencana, memanfaatkan penderitaan rakyat sebagai latar belakang kamera dan panggung pidato. Negara tidak didirikan untuk menyelamatkan reputasi pejabat, melainkan untuk menyelamatkan nyawa manusia.
Melindungi juga bukan baru bekerja setelah kecaman publik membesar dan perintah turun dari atas. Bukan bergerak setelah berminggu-minggu keadaan berlalu, ketika waktu emas telah habis dan korban sudah terlanjur jatuh. Dalam bencana, keterlambatan bukan sekadar masalah administrasi—ia adalah bentuk kelalaian terhadap amanat konstitusi. Negara yang menunggu adalah negara yang membiarkan rakyat menanggung risiko sendirian.
Amanat konstitusi tidak menunggu penetapan status bencana. Ia tidak bergantung pada stempel dan rapat koordinasi yang berlarut-larut. Ketika tanda bahaya muncul, ketika kehidupan rakyat terancam, kewajiban negara sudah aktif sepenuhnya. Melindungi bukan soal prosedur, melainkan soal kecepatan, keberanian, dan inisiatif.
Melindungi segenap bangsa juga bukan menutup-nutupi penyebab utama terjadinya bencana. Bukan mengaburkan fakta, menyederhanakan sebab, atau menghindari tanggung jawab struktural. Negara yang melindungi adalah negara yang berani jujur -mengakui kesalahan tata kelola, membongkar praktik keliru, dan menindak siapa pun yang bertanggung jawab. Tanpa kejujuran, perlindungan hanyalah kepura-puraan.
Amanat konstitusi tidak pernah memerintahkan negara untuk mencari-cari kesalahan rakyatnya sendiri. Korban tidak boleh diposisikan sebagai terdakwa. Menyalahkan warga yang dianggap tidak siap, tidak patuh, atau terlalu lemah hanyalah cara murahan untuk menutup kegagalan negara dalam mencegah dan menangani bencana. Negara ada untuk melindungi yang paling rentan, bukan untuk menghakimi mereka.
Melindungi juga bukan membela kepentingan pengusaha perusak lingkungan di atas keselamatan publik. Pertumbuhan ekonomi tidak boleh dibayar dengan nyawa, kesehatan, dan masa depan rakyat. Ketika keselamatan dikorbankan demi investasi, saat itulah amanat konstitusi ditinggalkan secara sadar.
Negara juga tidak boleh bersembunyi di balik solidaritas rakyat. Gotong royong adalah kekuatan sosial bangsa, tetapi ia bukan pengganti tanggung jawab negara. Ketika sesama rakyat saling bantu karena negara lambat atau absen, itu bukan prestasi, melainkan tanda kegagalan perlindungan negara.
Dan tentu saja, melindungi segenap bangsa bukan dengan menyalahkan alam. Alam tidak membuat kebijakan, tidak menerbitkan izin, tidak mengabaikan peringatan, dan tidak menunda respons. Menyalahkan alam adalah cara paling mudah untuk menutupi kelalaian manusia dan negara.
Lebih ironis lagi, melindungi bukan dengan menyusun dan mendirikan tenda-tenda kosong yang hanya mewakili nama kementerian, lembaga, dan badan. Bukan dengan simbol kehadiran tanpa fungsi nyata. Bukan pula dengan saling menyalahkan pemerintah daerah yang dianggap terlalu gampang lumpuh dan cengeng, seolah-olah pusat pemerintahan tidak memegang tanggung jawab utama atas perlindungan seluruh warga negara.
Bencana harus diurus segera. Nyawa harus diselamatkan. Luka harus diobati. Lapar dan haus tidak diselesaikan dengan pidato dan konferensi pers. Pakaian dan pangan tidak turun dari langit -ia wajib turun dari helikopter, dari truk, dari kapal, yang terus bergerak mencari titik-titik kehidupan yang harus dipertahankan. Lingkungan harus segera dipulihkan, akses harus segera dinormalkan, penerangan dan tempat penampungan harus disediakan sekarang, bukan masih sekadar dibicarakan.
Hari esok dan masa depan tidak untuk ditunggu datangnya. Ia harus disiapkan. Dan persiapan itu bukan pilihan kebijakan, melainkan kewajiban konstitusional.
Di situlah ukuran sejati negara. Bukan pada banyaknya pernyataan, bukan pada ramainya kunjungan, dan bukan pada aman atau tidaknya jabatan. Ukurannya sederhana namun tegas: seberapa cepat, seberapa jujur, dan seberapa sungguh-sungguh negara melindungi rakyatnya ketika mereka paling membutuhkan kehadiran negara -sebagaimana diperintahkan langsung oleh konstitusi.
*Penulis adalah Ketua Bidang Kebijakan Nasional IA-ITB, Mahasiswa Program Magister Medkom Komunikasi Krisis UP.