Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan (kiri), dan Peneliti Bisnis dan HAM SETARA Institute-SIGI Initiative, Nabhan Aiqani. (Foto: Istimewa)
Hasil penelitian terbaru mengenai praktik pertambangan nikel di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara mengungkap kesenjangan lebar antara ambisi ekonomi nasional dengan realitas di lapangan.
Meski Sulawesi Tenggara menjadi tulang punggung pasokan nikel global, tata kelolanya dinilai masih jauh dari prinsip pertambangan yang bertanggung jawab (Responsible Mining).
Temuan ini dipaparkan dalam Diseminasi dan Seminar Publik yang diselenggarakan oleh Universitas Halu Oleo (UHO) berkolaborasi dengan SETARA Institute dan SIGI Initiative di Kendari, Kamis 11 Desember 2025.
Riset kolaboratif tersebut menegaskan bahwa ekspansi industri nikel di Blok Mandiodo dan Morosi telah memicu kerusakan lingkungan sistemik, marginalisasi ekonomi lokal, hingga lemahnya proteksi terhadap hak pekerja.
Ketua Tim Peneliti Prof. Yani Taufik menyoroti dampak destruktif aktivitas tambang terhadap sektor agraria dan tradisi lokal. Ia mengungkapkan bahwa konversi lahan sawah yang masif telah mengancam ketahanan pangan masyarakat.
"Terjadi penurunan luas sawah produktif yang sangat drastis, dari 5.000 hektare menjadi hanya 1.500 hektare di wilayah terdampak," kata Yani dalam keterangan tertulis.
"Selain kehilangan sumber penghidupan, masyarakat juga kehilangan akar budaya mereka. Tradisi lokal seperti metanduale kini mulai hilang akibat perubahan struktur sosial yang dipicu aktivitas tambang," papar Guru Besar Fakultas Pertanian UHO itu.
Sementara Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, menekankan adanya masalah serius dalam kebijakan nasional yang dinilai regresif.
Menurutnya, pemusatan kewenangan melalui sistem OSS telah menciptakan celah bagi perusahaan untuk mengabaikan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
"Kebijakan saat ini cenderung menutup ruang partisipasi masyarakat. Pasal-pasal dalam UU Minerba berpotensi menjadi alat pembungkaman (SLAPP) bagi mereka yang kritis," kataya.
Dia mendesak pemerintah pusat untuk segera melakukan uji tuntas HAM sesuai mandat Perpres 60/2023, agar investasi nikel tidak berjalan di atas penderitaan warga lokal.
Ditambahkan Peneliti Bisnis dan HAM SETARA Institute-SIGI Initiative, Nabhan Aiqani, dia mencatat adanya ketimpangan informasi yang membuat warga desa buta terhadap aktivitas perusahaan di wilayah mereka.
"Masyarakat dan pemerintah daerah tidak memiliki akses pada data dasar seperti batas IUP atau hasil pemantauan lingkungan," katanya.
Di sisi lain, sambungnya, kondisi kerja sangat memprihatinkan. Dia menemukan adanya indikasi pekerja anak dan kecelakaan kerja fatal yang sengaja ditutupi. Hal ini membuktikan bahwa mekanisme keluhan formal dan standar K3 belum berjalan efektif di lapangan.
Sebagai langkah konkret, tim riset merekomendasikan pembentukan task force pengawasan terpadu di wilayah Morosi dan Mandiodo.
Selain itu, pemerintah daerah diminta segera mengakselerasi regulasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan membentuk kantor pengaduan lokal guna memulihkan hak-hak masyarakat yang terdampak secara ekonomi maupun kesehatan.