Berita

Ilustrasi (Artificial Inteligence)

Publika

Kementerian Komdigi dan Mandat yang Harus Diambil

Menjadikan Komunikasi sebagai Pilar Manajemen Bencana Nasional

SABTU, 06 DESEMBER 2025 | 12:28 WIB | OLEH: TEUKU GANDAWAN XASIR*

INDONESIA adalah negara yang hidup berdampingan dengan risiko. Setiap tahun, dari Aceh hingga Papua, kita menghadapi siklus bencana yang nyaris tak pernah berhenti—banjir, longsor, gempa, tsunami, erupsi, siklon tropis, hingga kekeringan ekstrem. 

Dalam kondisi geografis dan demografis seperti ini, satu pelajaran menjadi sangat jelas: negara hanya bisa menyelamatkan warganya jika ia mampu melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi. Dan kemampuan melihat itu hanya lahir dari komunikasi yang terjaga, data yang konsisten, dan informasi yang dapat diandalkan. Di sinilah letak mandat besar yang harus diambil oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi)—mandat yang selama ini belum diberi ruang sebagaimana mestinya dalam manajemen bencana nasional.

Selama ini, peran utama penanggulangan bencana memang berada pada BNPB dan BPBD, sebagaimana diatur dalam undang-undang. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan kerja BNPB sangat ditentukan oleh satu faktor yang berada di luar kewenangannya: kelancaran sistem informasi, jaringan komunikasi, data real-time, dan interoperabilitas digital antar lembaga. 
Ketika jaringan telekomunikasi padam, sensor lingkungan terputus, data populasi tidak ter-update, pusat komando tidak mendapatkan laporan lapangan, dan informasi publik simpang siur, maka sebaik apa pun kesiapan BNPB tetap akan terhalang oleh kegelapan informasi. Karena itu, Komdigi tidak perlu mengambil alih komando BNPB—tetapi harus mengambil tulang punggung digital yang membuat seluruh ekosistem bencana dapat bekerja tanpa terputus. Itulah mandat strategis yang kini benar-benar perlu diemban dalam situasi  bencana.

Ketika jaringan telekomunikasi padam, sensor lingkungan terputus, data populasi tidak ter-update, pusat komando tidak mendapatkan laporan lapangan, dan informasi publik simpang siur, maka sebaik apa pun kesiapan BNPB tetap akan terhalang oleh kegelapan informasi. Karena itu, Komdigi tidak perlu mengambil alih komando BNPB—tetapi harus mengambil tulang punggung digital yang membuat seluruh ekosistem bencana dapat bekerja tanpa terputus. Itulah mandat strategis yang kini benar-benar perlu diemban dalam situasi  bencana.
Pelajaran penting datang dari Amerika Serikat. Dalam standardisasi penanggulangan bencana mereka, National Incident Management System (NIMS) dan Incident Command System (ICS) menjadi kerangka nasional yang memastikan seluruh lembaga berbicara dalam bahasa operasi yang sama. Salah satu komponen terpenting adalah Emergency Support Function (ESF)—dan di antara seluruh ESF, posisi kunci dipegang oleh ESF-2, yaitu sistem komunikasi dan infrastruktur teknologi informasi. ESF-2 memastikan bahwa bencana apa pun tidak pernah memutus informasi: operator telekomunikasi wajib menyediakan cell on wheels (COW/COLT), akses prioritas untuk petugas darurat, backup satelit, interoperabilitas radio lintas-instansi, serta jaringan data darurat yang berdiri dalam hitungan menit. 
Mengapa Amerika Serikat menaruh perhatian sebesar itu? Karena bagi mereka, bencana bukan hanya peristiwa fisik—tetapi peristiwa data. Jika data gagal, negara gagal. Jika komunikasi runtuh, nyawa hilang.
Pendekatan yang sama terlihat di Jepang, negara yang paling sering mengalami bencana besar dalam skala luas. Jepang memahami bahwa gelombang tsunami setinggi belasan meter tidak akan memberi kesempatan kedua. Karena itu mereka memastikan sistem komunikasi cadangan, sensor seismik dan tsunami yang terintegrasi, jaringan radio nasional yang tetap hidup saat listrik padam, dan standarisasi prosedur informasi lintas pemerintah daerah. Dalam banyak kasus, evakuasi massal di Jepang berhasil bukan semata karena infrastrukturnya kuat, tetapi karena komunikasinya tak pernah putus. Indonesia harus belajar dari dua negara ini. Bukan meniru struktur kelembagaan mereka secara utuh, tetapi memahami prinsip utamanya: Informasi adalah bagian dari penyelamatan, sama pentingnya dengan logistik, tenaga medis, dan armada SAR.

Namun kenyataan di Indonesia menunjukkan hal lain. Kita sering menyaksikan wilayah yang terdampak bencana benar-benar “hilang dari radar” selama 24–72 jam. Tidak ada laporan pasti, tidak ada data populasi terkini, tidak ada informasi jalan yang putus, tidak ada citra udara terkini, tidak ada koordinasi logistik berbasis data. Ketika komunikasi turun, negara ikut turun. Ketika desa tidak bisa melapor, negara pun tidak bisa merespons. Situasi seperti inilah yang menuntut Komdigi untuk masuk sebagai aktor strategis yang memikul mandat nasional baru: menjamin bahwa Indonesia tidak pernah lagi kehilangan informasi dalam situasi bencana apa pun.

Mandat ini tidak mengambil kewenangan BNPB, tetapi melengkapi dan memperkuatnya. Komdigi harus menjadi kementerian yang memastikan bahwa sistem informasi, komunikasi, data, dan infrastruktur digital untuk bencana bekerja tanpa celah. Komdigi harus menjadi kementerian yang memastikan tidak ada satu pun desa di Indonesia yang “tidak terlihat” oleh negara saat darurat. Untuk itu, Indonesia memerlukan arsitektur komunikasi dan data bencana nasional yang ditetapkan melalui standar, protokol, kewajiban operator, serta interoperabilitas sistem lintas kementerian.

Sistem informasi dan komunikasi yang dibangun Komdigi harus mampu mengidentifikasi seluruh elemen kritis: tidak boleh ada lagi satu pun desa yang tidak terpantau situasinya, akses fisiknya, akses komunikasinya, kondisi jalan, lokasi pengungsian, alur logistik, kebutuhan kesehatan, status populasi, dan jumlah warga yang tercatat maupun terdeteksi. Negara harus memiliki situational awareness yang berjalan otomatis—sistem yang membaca lapangan sepanjang waktu, bukan sekadar mengumpulkan laporan manual saat bencana sudah terjadi.

Untuk mencapainya, Komdigi perlu menyiapkan beberapa fondasi besar. Pertama, peta konektivitas nasional berbasis risiko yang menunjukkan titik rawan blackout komunikasi dan menyiapkan cadangan jaringan untuk setiap kategori bencana. Kedua, platform informasi nasional yang mengintegrasikan data dukcapil, data kependudukan desa, sensor cuaca dan hidrologi, citra udara, hingga laporan masyarakat dalam satu dashboard darurat yang dapat diakses BNPB secara real-time. Ketiga, protokol interoperabilitas komunikasi nasional, mulai dari jaringan seluler, radio, satelit, hingga jalur digital khusus untuk first responders. Keempat, kewajiban operator telekomunikasi untuk menyediakan mobile BTS, jaringan satelit cadangan, dan recovery point yang dapat dikerahkan dalam hitungan jam. Dan kelima, pendidikan publik serta pelatihan teknis lintas-instansi agar komunikasi darurat tidak hanya menjadi alat, tetapi menjadi budaya.

Semua ini bukan wacana futuristik. Ini sudah menjadi praktik baku di negara-negara maju dan negara yang sering mengalami bencana. Dan Indonesia tidak punya alasan untuk menunda. Bencana sudah datang setiap tahun. Yang kurang bukan pengalaman, tetapi kemampuan untuk mengonsolidasikan informasi secara nasional. Kita tidak dapat lagi membiarkan hilangnya data dan terputusnya komunikasi menjadi alasan terhambatnya penyelamatan warga.

Maka, inilah saatnya Kementerian Komunikasi dan Digital menegaskan peran strategisnya. Komdigi harus hadir sebagai penjamin tunggal kelancaran komunikasi nasional dalam situasi darurat. Komdigi harus menjadi penjaga agar negara selalu memiliki mata, telinga, dan data yang bekerja bahkan ketika alam sedang tidak bersahabat. Komdigi harus memastikan bahwa tidak ada bencana yang membuat negara buta. Karena saat negara buta, rakyat menjadi korban.

Jika mandat ini diambil, Indonesia akan memasuki era baru manajemen bencana: era ketika tidak ada lagi wilayah yang tidak diketahui kondisinya, tidak ada lagi warga yang tidak terdata, dan tidak ada lagi penanganan bencana yang berjalan tanpa informasi. Semua itu dimulai dari satu keputusan penting: menjadikan komunikasi dan data sebagai pilar utama keselamatan publik, dan menempatkan Kementerian Komunikasi dan Digital sebagai arsitek utama sistem tersebut.

Jika aplikasi deteksi dini bencana milik BMKG telah bekerja, maka seluruh pemangku kepentingan sebenarnya memiliki golden time—waktu emas—untuk bertindak cepat sebelum situasi berubah menjadi fatal. Namun peringatan dini hanya berguna jika ditopang oleh kehandalan data, informasi, dan komunikasi yang bekerja tanpa jeda, terhubung lintas lembaga, dan dapat segera diterjemahkan menjadi tindakan penyelamatan. Inilah sebabnya keandalan sistem informasi dan komunikasi harus menjadi pilar utama tata kelola bencana: karena dengan arsitektur data yang solid, sinyal peringatan BMKG langsung diteruskan ke pusat komando, pemerintah daerah, aparat lapangan, hingga masyarakat tanpa kehilangan waktu berharga. Setiap menit yang terselamatkan dapat mencegah korban jiwa, dan korban jiwa wajib dicegah—bukan sibuk dihitung setelah bencana terjadi.

Inilah reformasi yang mendesak, logis, dan sepenuhnya dapat dieksekusi. Dan inilah mandat yang memang sudah saatnya menjadi peran strategis Kementerian Komdigi.


Penlis adalah Konsultan dan Praktisi IT, Ketua Bidang Kajian Kebijakan Nasional IA-ITB, Mahasiswa Magister Komunikasi Krisis Universitas Pancasila




Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Komisi V DPR: Jika Pemerintah Kewalahan, Bencana Sumatera harus Dinaikkan jadi Bencana Nasional

Sabtu, 06 Desember 2025 | 12:14

Woman Empower Award 2025 Dorong Perempuan Mandiri dan UMKM Berkembang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 12:07

Harga Minyak Sentuh Level Tertinggi di Akhir Pekan

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:58

BNI Dorong Literasi Keuangan dan UMKM Naik Kelas Lewat Partisipasi di NFHE 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:44

DPR: Jika Terbukti Ada Penerbangan Gelap, Bandara IMIP Harus Ditutup!

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:24

Banjir Aceh, Untungnya Masih Ada Harapan

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:14

Dana Asing Masuk RI Rp14,08 Triliun di Awal Desember 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:08

Mulai Turun, Intip Harga Emas Antam Hari Ini

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:03

Netflix Beli Studio dan Layanan Streaming Warner Bros 72 Miliar Dolar AS

Sabtu, 06 Desember 2025 | 10:43

Paramount Umumkan Tanggal Rilis Film Live-Action Kura-kura Ninja Terbaru

Sabtu, 06 Desember 2025 | 10:35

Selengkapnya