Berita

Ilustrasi. (Foto: Artificial Intelligence)

Publika

Bukan Sekadar Badai

SABTU, 06 DESEMBER 2025 | 06:36 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

JARANG ada pejabat tinggi di republik ini yang berani mengucapkan kalimat paling mahal dalam kamus kekuasaan: “Saya salah.” Biasanya, mereka lebih memilih menunggu angin mereda, kamera padam, atau -- kalau perlu -- menyalahkan hujan, angin, bahkan aplikasi cuaca.

Maka ketika Seskab Teddy Indra Wijaya berdiri dan berkata bahwa bencana di Sumatera terjadi “akibat kerusakan lingkungan”, publik serasa melihat gerhana: langka, singkat, tapi membuat orang bertanya-tanya, “Ini serius?” Semua orang percaya gerhana ada, sama seperti bencana.

Pengakuan kesalahan di negeri demokrasi adalah setara dengan ibadah langka. Dalam agama, mengakui dosa itu disebut tobat. Ada bahkan kelas premium bernama taubatan nashuha, tobat yang sempurna --yang bukan hanya menangis, tapi juga berubah.


Nah, kalau kesalahan itu dilakukan oleh pemerintah selama puluhan tahun, siapa yang harus bertobat? Menteri? Direktorat? Atau presiden bersama seluruh anggota kabinet yang pernah menandatangani dokumen penuh janji tapi tanpa rasa bersalah?

Siklon yang melanda Sumatra memang urusan langit, tapi kerusakan lingkungan itu urusan mereka yang tinggal di bumi -- lebih tepatnya urusan kita. Hujan boleh deras tujuh hari tujuh malam, tapi kalau hutan masih tegak, tanah masih perawan, dan sungai masih punya ruang bernapas, air sebesar apa pun bisa diserap.

Sayangnya, Sumatera hari ini seperti rumah bocor yang dipasang AC: masalahnya bukan cuaca, tapi konstruksi yang sudah lama rapuh.

Ketika kayu-kayu gelondongan ikut hanyut seperti kiriman paket ekspres dari hulu, publik tahu ada yang janggal. Apalagi, pihak kepolisian sudah memastikan ada jejak gergaji pada kayu-kayu itu. Siapa yang menggergaji? Kodok?

Air bah pun tidak mungkin mengangkut pohon yang masih berdiri. Yang diangkut adalah pohon yang sudah ditebang: sebagian lapuk, legal, semi-legal, ilegal, setengah-nggak-ngaku, apa pun statusnya. Ia bukti otentik bahwa hutan tidak lagi tebal, melainkan tinggal cerita.

Dan dari podium Halim Perdanakusuma, Seskab Teddy mengakuinya. Ini bukan sekadar badai. Ini badai yang “dibantu” oleh tangan manusia hingga air bahnya mengakibatkan banjir bandang yang tak lagi mampu diserap bumi yang dihancurkan manusia.

Kerusakan lingkungan di Sumatra bukan drama baru. Ia bukan babak pertama, melainkan musim kesekian tahun yang tidak pernah berhenti tayang. Sejak awal 1980-an, hutan-hutan Sumatra mulai terkoyak oleh izin-izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) pada era Orde Baru.

Sepanjang 1990-an, deforestasi di Riau dan Sumatera Selatan menjadi bahan kuliah Studi Bencana. Tahun 2000-an, industri sawit masuk seperti kompetisi bulutangkis: cepat, sistematis, dan penuh sponsor.

Pada 2010-2020, laju deforestasi Sumatra pernah mencapai lebih dari 300 ribu hektare per tahun. Menteri Zulkifli Hasan mengaku hanya meneruskan kebijakan yang sudah ada. Bahkan bilang niatnya baik: membantu dengan memenuhi permintaan pemerintah daerah.

Dia tidak berusaha menghentikan kerusakan yang terjadi. Dia bukan pula hanya membiarkan, tapi mendukung dan meneruskan, terbukti dari sejumlah surat keputusan yang dibuatnya. Jejak digitalnya sulit dibantah, betapa pun dia berusaha cuci-tangan.

Riau saja kehilangan lebih dari 63% hutan alamnya dalam rentang 30 tahun. Di Aceh, pembukaan konsesi tambang dan perkebunan memotong Leuser Ecosystem -rumah gajah, badak, dan harimau- seolah wilayah itu tak lebih dari papan catur.

Sementara di Sumatera Barat, alih fungsi hutan lindung menjadi kebun campuran berjalan halus, diam-diam, seperti rumor politik yang tidak pernah dibantah. Katanya itu, seluruh kebijakan dibuat justru untuk kepastian kepemilikan. Tapi kenapa pemiliknya kemudian oligarki?

Kerusakan lingkungan itu terjadi bukan karena rakyat miskin membawa kapak. Kerusakan itu lahir dari pena pejabat berupa SK, izin, revisi tata ruang, hingga surat rekomendasi yang keluar dengan entengnya seperti nota belanja.

Maka masuklah Balqis Humairah, gadis dengan keberanian setara meteor mini yang menghantam ego pejabat. Komentarnya kadang lebih tajam dari editorial koran nasional. Dan ketika ia menulis soal banjir bandang Sumatra, itu bukan sekadar uneg-uneg medsos, melainkan audit moral yang dibacakan di ruang publik.

Ia mengingatkan SK 673/Menhut-II/2014 dan SK 878/Menhut-II/2014, dua dokumen monumental yang “mengubah nasib” jutaan hektare hutan di Riau. Dua juta hektar dilepas, dialihkan, difungsikan ulang, seakan-akan hutan itu folder kantor yang tinggal click ? rename ? done.

Dan kini, folder itu kembali kepada kita dalam bentuk air bah. Di balik setiap SK, ada pohon tumbang, ada satwa terusir, ada sungai mengerang. Dan ketika banjir bandang menelan ratusan nyawa -- hampir seribu menurut BNPB -- barulah kita sadar bahwa administrasi birokrasi bisa membunuh lebih cepat dari gempa.

Seskab Teddy bilang pemerintah akan investigasi. Baik. Kapolri bilang sudah mulai selidiki kayu gelondongan. Bagus. Tapi penyelidikan yang lebih penting adalah penyelidikan nurani: “mengapa kita membiarkan kerusakan ini menumpuk selama puluhan tahun?”

Di Eropa, satu hektar hutan hilang, parlemen gaduh. Di Jepang, sungai diperlakukan seperti warga negara. Di Kanada, satu pohon masuk dalam kalkulasi karbon nasional. Tetapi di Indonesia? Hutan bisa berubah fungsi seperti mengganti foto profil. Legalitas bisa berubah seperti status hubungan.

Banjir bandang Sumatra bukan sekadar tragedi. Ia adalah khutbah alam dengan naskah ribuan tahun. Ia teguran tanpa pengeras suara, ceramah tanpa undangan. Ia berteriak keras: “Ini bukan bencana alam. Ini kebijakan.”

Itulah sebabnya pengakuan seperti yang keluar dari mulut Seskab Teddy sangat penting. Ia bukan akhir, melainkan awal dari tobat besar-besaran yang harus dilakukan negara. Tobat yang tidak hanya menyesal, tapi membangun kembali.

Karena alam tidak menuntut kita menjadi suci. Alam hanya menuntut kita berhenti sombong. Dan seperti Balqis, yang hanya seorang “gadis bawel internet”, kadang kebenaran memang turun lewat suara yang tidak kita duga.

Pada akhirnya, air bah itu adalah cermin. Dan yang tampak di dalamnya bukan wajah sungai -- melainkan wajah kita sendiri yang penuh dosa.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya