Berita

Ilustrasi. (Foto: Shutterstock)

Publika

Arsitek Ekonomi Selatan-Selatan

KAMIS, 27 NOVEMBER 2025 | 02:32 WIB

UPAYA memperkuat posisi Indonesia dalam arsitektur ekonomi Selatan-Selatan, khususnya dalam relasi dengan Afrika, membutuhkan pendekatan strategis yang bersifat struktural, multidimensional, dan jangka panjang. Solusi tidak cukup berhenti pada peningkatan frekuensi pertemuan tingkat tinggi atau forum bisnis, tetapi harus dibangun melalui rekayasa kebijakan yang mampu mengintegrasikan diplomasi, industri, keuangan, logistik, dan penguatan institusi. 
 
Dalam kerangka diplomasi ekonomi, Indonesia perlu merumuskan strategi yang tidak hanya berorientasi pada perluasan pasar, tetapi juga pada pengembangan jaringan produksi lintas kawasan yang dapat memberikan nilai tambah bagi kapabilitas industri nasional. Untuk itu, penting bagi Indonesia untuk merancang Indonesia-Africa Geoeconomic Strategy 2035 sebagai dokumen arah kebijakan yang memandu interaksi ekonomi jangka panjang di tingkat negara maupun pelaku usaha.

Solusi pertama yang perlu dikembangkan adalah pembentukan kerangka kerja komprehensif yang memberikan kepastian regulasi bagi investor, baik dari Indonesia maupun Afrika. Mekanisme ini dapat diwujudkan melalui Indonesia-Africa Comprehensive Economic and Investment Framework yang mencakup pengaturan mengenai perlindungan investasi, harmonisasi standar produk, percepatan perizinan, serta skema pembiayaan bilateral melalui lembaga keuangan yang memiliki mandat khusus untuk pembiayaan pembangunan Selatan-Selatan. Kehadiran kerangka formal ini sangat penting mengingat banyak pelaku usaha Indonesia yang masih ragu memasuki pasar Afrika karena risiko regulasi. Dengan adanya kerangka komprehensif, kepastian hukum dapat diperkuat dan biaya risiko dapat ditekan.
 

 
Solusi kedua adalah pembangunan infrastruktur keuangan yang memadai untuk mendukung ekspansi investasi dan perdagangan. Indonesia perlu mempertimbangkan pendirian Indonesia-Africa Exim Fund, sebuah fasilitas pembiayaan yang dapat bekerja sama dengan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI/EximBank) dan lembaga pembiayaan Afrika seperti African Development Bank. Keberadaan fund ini akan menyediakan instrumen pembiayaan yang lebih beragam seperti project financing, export credit, political risk insurance, dan skema kemitraan publik-swasta. 
 
Model seperti ini telah berhasil diterapkan oleh India melalui Indian Exim Bank Lines of Credit dan oleh Turki melalui Turkish Development and Investment Bank, yang terbukti memperluas kehadiran industri nasional mereka di Afrika. Dengan langkah serupa, perusahaan Indonesia dapat memiliki landasan finansial yang lebih kuat untuk memasuki sektor-sektor bernilai tinggi seperti infrastruktur energi, manufaktur alat berat, agritech, dan industri strategis.
 
Solusi ketiga berkaitan dengan diplomasi industri dan pembangunan rantai pasok. Indonesia perlu menyusun strategi industrialisasi yang memadukan keunggulan komparatif masing-masing kawasan. Dalam kasus ini, Indonesia memiliki keunggulan dalam manufaktur, agritech, industri strategis, dan teknologi pengolahan komoditas, sementara Afrika memiliki potensi bahan mentah, pasar besar, dan ruang industrialisasi awal yang luas. Integrasi kedua keunggulan ini dapat diwujudkan melalui pendirian Joint Industrial Zones atau Special Economic Partnership Areas yang melibatkan BUMN dan pelaku usaha swasta Indonesia. 
 
Dengan membangun pabrik pengolahan minyak sawit, pupuk, obat-obatan, atau alat berat di Afrika, Indonesia dapat mengurangi biaya logistik, memperkuat nilai tambah produksi, dan memperluas jangkauan distribusi kawasan. Model kerja sama ini dapat mengambil inspirasi dari keberhasilan Turki yang membangun Turkey-Africa Special Economic Zones di Ethiopia dan Senegal, yang berhasil meningkatkan kehadiran industri Turki hingga 300 persen dalam kurun waktu satu dekade.
 
Solusi keempat adalah memperkuat diplomasi logistik melalui pembukaan jalur pelayaran dan penerbangan langsung yang mendukung efisiensi perdagangan Indonesia-Afrika. Pemerintah Indonesia dapat bekerja sama dengan Pelindo, Garuda Indonesia, dan perusahaan logistik swasta untuk merancang Indonesia-Africa Maritime Corridor yang menghubungkan pelabuhan utama Indonesia seperti Tanjung Priok dan Tanjung Perak dengan pelabuhan strategis Afrika seperti Durban, Mombasa, dan Port Said. 
 
Kehadiran koridor ini dapat menurunkan biaya logistik, mempercepat arus barang, dan membuka peluang bagi Indonesia untuk menjadi pusat distribusi produk Asia Tenggara menuju Afrika. Diplomasi logistik juga mencakup penguatan mutual recognition agreements yang mengharmonisasi standar dan prosedur bea cukai, sehingga mengurangi hambatan teknis perdagangan.
 
Solusi berikutnya berkaitan dengan pembangunan kapasitas sumber daya manusia dan pertukaran teknologi. Indonesia dapat memperluas program beasiswa dan pelatihan teknis melalui skema Indonesia-Africa Scholarship yang fokus pada bidang teknik, kesehatan, teknologi pertanian, dan industri strategis. Hal ini sejalan dengan kebutuhan Afrika akan tenaga profesional terlatih dan kebutuhan Indonesia untuk membangun jejaring alumni yang memperkuat hubungan jangka panjang. 
 
Selain itu, perlu dikembangkan program pelatihan industri dan technology transfer melalui kemitraan antara BUMN Indonesia, perusahaan swasta, dan lembaga pendidikan Afrika. Pendekatan ini akan memperkuat legitimasi diplomasi ekonomi dengan memperluas manfaat pembangunan bagi masyarakat Afrika.
 
Solusi terakhir adalah konsolidasi institusi domestik yang berperan dalam diplomasi ekonomi. Pemerintah perlu menyusun mekanisme koordinasi nasional yang mengintegrasikan Kemlu, Kemendag, Kementerian Investasi, Kementerian BUMN, dan Kadin Indonesia ke dalam Indonesia-Africa Economic Task Force. Tim ini bertugas memastikan tindak lanjut dari forum-forum bisnis dan kunjungan tingkat tinggi, sekaligus memantau progres proyek prioritas dan menyelesaikan isu teknis yang menghambat kerja sama. Konsolidasi ini penting mengingat diplomasi ekonomi memerlukan kesinambungan yang tidak selalu dapat diwujudkan jika koordinasi antarinstansi berjalan secara sektoral.
 
Dengan demikian, solusi-solusi strategis ini menunjukkan bahwa penguatan arsitektur ekonomi Selatan-Selatan tidak dapat dilakukan secara ad hoc, tetapi harus melalui pendekatan terintegrasi yang menempatkan kepentingan jangka panjang Indonesia sebagai bagian dari transformasi global yang sedang berlangsung. 
 
Penguatan Instrumen Diplomasi Ekonomi Konkret Indonesia-Afrika

Implementasi strategi kemitraan Indonesia-Afrika membutuhkan kerangka aksi yang dapat dijalankan secara bertahap, operasional, dan berorientasi hasil, sehingga memperkuat posisi Indonesia sebagai arsitek normatif sekaligus aktor implementatif dalam arsitektur ekonomi Selatan-Selatan. Langkah operasional pertama adalah menginstitusionalisasi Indonesia-Africa High Level Dialogue and Business Forum sebagai platform reguler dua tahunan dengan dukungan Sekretariat Permanen yang beranggotakan perwakilan lintas kementerian seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal, sehingga forum tidak hanya bersifat ad hoc tetapi menjadi policy hub yang mampu menyusun agenda strategis, menyelaraskan prioritas, dan memantau komitmen yang dihasilkan. Institusionalisasi ini harus disertai mekanisme pelaporan berbasis indikator kinerja seperti peningkatan two-way trade, jumlah proyek pembangunan bersama, dan nilai realisasi investasi Indonesia di Afrika dalam sektor energi, digital, dan teknologi agroindustri. 

Langkah kedua adalah memasukkan Afrika secara sistematis dalam country strategy paper Indonesia melalui pendekatan whole-of-government, yang mengarah pada koordinasi antara perwakilan diplomatik, badan promosi dagang, perusahaan BUMN strategis seperti PT INKA dan PT PAL, serta sektor swasta yang membutuhkan kejelasan arah kebijakan dalam ekspansi jangka panjang. Dengan demikian, visi politik Indonesia dapat diterjemahkan dalam program ekonomi yang bersifat terukur, mulai dari pembukaan rute logistik baru (misalnya konsolidasi jalur ekspor pelabuhan Tanjung Priok-Durban), hingga pembentukan pilot project kawasan industri agro-teknologi di Afrika Timur.

Langkah ketiga berfokus pada penguatan instrumen pembiayaan pembangunan melalui sinergi blended finance, skema sovereign wealth fund, dan fasilitas kredit ekspor yang didukung Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Aksi ini sangat relevan karena negara-negara Afrika menghadapi kesenjangan pendanaan infrastruktur sebesar lebih dari USD 100 miliar per tahun, sementara Indonesia memiliki kapasitas industri strategis yang tidak terserap secara optimal di pasar domestik sehingga membutuhkan pasar eksternal baru. 

Penguatan instrumen pembiayaan akan meningkatkan daya saing proyek Indonesia, terutama di sektor kereta api, pertahanan, pembangkit listrik, serta smart agriculture, sekaligus mengurangi ketergantungan negara-negara Afrika pada pendanaan dari aktor eksternal seperti Tiongkok, Uni Eropa, atau negara G7. Di tingkat normatif, Indonesia dapat mempromosikan standar pembiayaan berkelanjutan yang selaras dengan Indonesia Taxonomy for Sustainable Finance edisi 2022, sehingga diplomasi ekonomi Indonesia berkontribusi dalam membentuk tata kelola investasi global yang lebih inklusif. 

Langkah keempat adalah memanfaatkan diplomasi digital untuk menciptakan Indonesia-Africa Innovation Network, yaitu jaringan kolaboratif universitas, lembaga penelitian, dan perusahaan rintisan teknologi dari kedua kawasan, terutama dalam bidang agritech, fintech inklusif, dan kesehatan digital. Jaringan ini penting karena ekonomi Afrika bergerak cepat menuju digitalisasi, sementara Indonesia memiliki ekosistem start-up terbesar kelima di dunia pada 2024 dan pengalaman integrasi digital yang relevan bagi negara berkembang lain.

Langkah kelima menekankan pentingnya pembangunan kapasitas sumber daya manusia melalui technical assistance, pertukaran pejabat, dan pelatihan sektoral yang dapat dilaksanakan melalui Lembaga Administrasi Negara, Bappenas, dan mitra akademik seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Teknologi Bandung. Penguatan SDM merupakan fondasi bagi keberlanjutan strategi, karena transformasi struktural Afrika membutuhkan peningkatan kemampuan regulasi, reformasi birokrasi, dan keahlian teknis di sektor energi terbarukan, manajemen fiskal, dan pemanfaatan teknologi industri. 

Dengan demikian, Indonesia dapat memainkan peran katalitik dalam menciptakan jaringan developmental states yang saling menopang di Selatan-Selatan. Pada tingkat politik-diplomatik, aksi ini memperkuat klaim Indonesia sebagai negara middle power yang mampu memberikan manfaat nyata kepada mitra globalnya. Keseluruhan aksi tersebut tidak hanya mencerminkan perluasan kapasitas diplomasi ekonomi, tetapi juga menjadi kontribusi terukur Indonesia dalam pembentukan arsitektur ekonomi Selatan-Selatan yang lebih mandiri, setara, dan berbasis solidaritas pembangunan.

Meneguhkan Peran Indonesia sebagai Arsitek Ekonomi Selatan-Selatan

Kemitraan Indonesia-Afrika bukan sekadar perluasan hubungan ekonomi antar dua kawasan, tetapi merupakan proyek strategis yang menentukan arah reposisi Indonesia dalam tatanan global pasca-pandemi, ketika dinamika kekuatan dunia mengalami pergeseran struktural yang signifikan. Di tengah melemahnya multilateralisme tradisional, meningkatnya rivalitas kekuatan besar, serta ketimpangan global yang semakin dalam, Indonesia berada pada posisi yang unik untuk memproyeksikan kepemimpinan normatif dan teknokratik yang berpijak pada pengalaman historis Konferensi Asia-Afrika 1955 serta capaian ekonomi modern sebagai negara dengan PDB terbesar ke-16 dunia pada 2024. 

Seluruh argumentasi dalam naskah ini menegaskan bahwa Indonesia memiliki modal politik, kapasitas institusional, dan kemampuan ekonomi untuk mengambil peran sebagai arsitek dalam arsitektur ekonomi Selatan-Selatan, terutama melalui penguatan kerja sama dengan Afrika yang merupakan kawasan dengan laju pertumbuhan tercepat dan potensi demografis terbesar pada abad ke-21.

Konteks geopolitik global menunjukkan bahwa masa depan ekonomi dunia tidak lagi ditentukan secara eksklusif oleh negara-negara di belahan Utara, tetapi semakin ditentukan oleh kemampuan negara-negara Selatan untuk membangun tata kelola baru yang lebih adil dan berorientasi solidaritas. Indonesia dapat menjadi motor penggerak arsitektur tersebut melalui diplomasi ekonomi yang berpijak pada desain strategis jangka panjang, penguatan kapasitas domestik, serta kemitraan setara yang berorientasi saling menguntungkan. Analisis masalah dalam naskah ini menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan struktural, instrumen kebijakan yang belum terintegrasi, dan kapasitas kelembagaan yang masih perlu diperkuat. 

Namun, seluruh tantangan tersebut dapat diatasi melalui solusi yang menggabungkan reformasi internal, perluasan instrumen pembiayaan, integrasi pasar, dan diplomasi teknologi. Aksi strategis yang diuraikan pada halaman sebelumnya memberikan kerangka implementasi konkret yang dapat segera dioperasionalkan oleh pemerintah, sektor swasta, dan komunitas epistemik Indonesia.

Dengan demikian, penguatan kemitraan Indonesia-Afrika merupakan langkah historis dalam membangun masa depan yang lebih inklusif bagi negara-negara berkembang, sekaligus memperkuat legitimasi Indonesia dalam forum global seperti G20, Non-Aligned Movement, dan BRICS+. Arsitektur ekonomi Selatan-Selatan yang ingin dibangun tidak hanya mencerminkan visi ekonomi, tetapi juga refleksi filosofis atas amanat konstitusional Indonesia untuk berperan dalam menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 

Pada akhirnya, Afrika adalah kawasan masa depan, dan Indonesia tidak hanya ingin menjadi mitra pasif, tetapi menjadi katalis yang ikut membangun masa depan tersebut secara setara, strategis, dan berkelanjutan.
 
Dr. Surya Wiranto, SH MH
Purnawirawan Laksamana Muda TNI, sehari-hari sebagai Penasehat Indopacific Strategic Intelligence (ISI), dan Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Pasca Sarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan, Kadep Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, dan Executive Director, Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS). Kegiatan lain sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator Firma Hukum Legal Jangkar Indonesia. 


Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Usut Tuntas Bandara Ilegal di Morowali yang Beroperasi Sejak Era Jokowi

Senin, 24 November 2025 | 17:20

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

UPDATE

Duka Banjir di Sumatera Bercampur Amarah

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:04

DKI Rumuskan UMP 2026 Berkeadilan

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:00

PIER Proyeksikan Ekonomi RI Lebih Kuat pada 2026

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:33

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

Kemenhut Cek Kayu Gelondongan Banjir Sumatera Pakai AIKO

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:00

Pemulihan UMKM Terdampak Bencana segera Diputuskan

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:35

Kaji Ulang Status 1.038 Pelaku Demo Ricuh Agustus

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:28

Update Korban Banjir Sumatera: 836 Orang Meninggal, 509 Orang Hilang

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:03

KPK Pansos dalam Prahara PBNU

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:17

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Selengkapnya