ALANGKAH riuhnya jagat per-NU-an minggu ini, sampai-sampai para jemaah masjid kelas kampung yang biasanya ribut soal sound system toa, kini ikut berdebat geopolitik Timur Tengah.
Penyebabnya bukan karena tiba-tiba ada dari mereka yang hafal piagam PBB atau fasih menyebut Resolusi 242. Tapi, itu karena kabarnya Syuriyah NU meminta Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Tsaquf angkat koper dari kursi jabatannya.
Temukan lebih banyak
Alasan Syuriyah agak dramatis bahwa Yahya Tsaquf dianggap tak bermoral karena menjalin hubungan dengan mesin pembunuh Benjamin Netanyahu. Tak cuma itu, dia juga mengangkat orang asing “orangnya” Netanyahu jadi penasehat NU.
Alasan Syuriyah agak dramatis bahwa Yahya Tsaquf dianggap tak bermoral karena menjalin hubungan dengan mesin pembunuh Benjamin Netanyahu. Tak cuma itu, dia juga mengangkat orang asing “orangnya” Netanyahu jadi penasehat NU.
Tentu saja, kata Yahya, itu dia lakukan untuk mengkomunikasikan usaha perdamaian. Tapi seperti biasa, publik kita adalah mahasiswa abadi dimana apa saja boleh dibahas, walau buku referensinya belum pernah dibaca.
Dan NU, sebagai ormas Islam yang tersebar di mana-mana, ya jangan salahkan kalau gaduhnya dari penjaga kios pulsa depan pesantren hingga ibu-ibu di pasar ikut menegang.
Rapat Syuriyah itu konon berlangsung khidmat, dengan suasana khas organisasi lama. Tasbih berjalan, kiai duduk rapi, para senior berdehem berirama, dan mikrofon tak ikut mati meski giliran dipegang orang yang tak sependapat.
Satu keputusan kabarnya disepakati bahwa ketua umum diminta mengundurkan diri karena langkah diplomasi ke Israel dianggap mencederai marwah umat dan menyalahi visi-misi organisasi.
Tidak ada yang tahu berapa gelas kopi yang tertuang dalam proses perdebatan itu. Tapi yang jelas, tidak sedikit jamaah jauh di luar ruangan langsung merasa seperti analis CIA yang komentarnya yakin, datanya entah dari mana.
Di titik ini, kita hanya bisa menunduk sebentar menyimak betapa politik dan moral kalau sudah bersilang urat, bisa membuat meja rapat serasa medan tempur. Makin ribut lagi karena pak Yahya menegaskan tak akan mundur.
Meskipun, di tengah kemelut, ada saja warga netizen yang bilang, “Ah, ribut-ribut NU itu cuma sandiwara saja, cari perhatian, atau sekalian pemanasan sebelum nanti muktamar.”
Di saat hiruk-pikuk itu menyebar, memori sejarah mendadak muncul seperti notifikasi di layar ponsel yaitu bukankah dulu almarhum Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), saat masih memimpin PBNU, juga menjalin komunikasi dengan Shimon Peres, bahkan Yitzhak Rabin sebelum dibunuh?
Waktu itu publik juga heboh, tapi polanya berbeda. Mungkin karena zamannya lain, tokohnya lain, konteksnya lain. Dan jangan lupa, media sosial belum ada, jadi tak ada yang bisa bikin twit panjang layaknya ahli diplomasi lintas benua.
Tapi alasan dan inti gerakannya sama yaitu “mengupayakan perdamaian” dengan mengusut akar konflik kepada pihak yang paling menentukan. Langsung menembus pusat gerakan yang kebetulan juga cari mitra di negeri muslim terbesar dunia.
Bedanya, Shimon Peres yang ditemui Gus Dur adalah ikon dove atau merpati diplomasi yang (konon) percaya pada solusi dua negara, Israel dan Palestina.
Sedangkan Benyamin Netanyahu yang ditemui Yahya Tsaquf adalah hawk atau elang yang lebih suka terbang rendah sambil mencengkeram apa pun yang bergerak.
Anda tahu, Simon Peres yang kabarnya mati pelan-pelan adalah bapak di balik Perjanjian Oslo, sekalipun Oslo itu sendiri banyak lubang.
Ia percaya Palestina harus punya pemerintahan sendiri, walau versinya sering membuat rakyat Palestina merasa seperti menempati rumah sendiri tapi harus lapor dulu ke tuan tanah jika ingin buka pintu dapur.
Namun, pada eranya, diplomasi tetap ada, pengakuan tetap diusahakan, dan masa depan -setidaknya waktu itu- masih punya nama.
Netanyahu sebaliknya, mengembangbiakkan permukiman di tanah pendudukan tak sah seperti tanaman hidroponik. Namun bukan sayuran yang tumbuh, melainkan tembok, pos militer, dan pagar pengaman.
Solusi dua negara baginya seperti diet ketat yang diklaim, tapi tidak pernah benar-benar dijalankan. Ia tak pernah terus-terang menerima atau menolak solusi eksistensi dua negara Israel dan Palestina secara berdampingan.
Saking konsistennya kedua PM Israel dengan ideologi masing-masing, dunia menyebut Peres pragmatic dove dan Netanyahu ideological hawk. Yang satu membangun meja perundingan, yang satu lagi meratakan hampir seluruh wilayah Gaza tanpa sisa, bersama penghuninya.
Jadi ketika diplomasi NU memasuki Israel zaman Shimon Peres, ia berada di era ketika kata peace masih punya nomor telepon untuk dihubungi. Perdamaian masih jadi jualan yang laku bahkan menggema di arena perpolitikan Tanah Air.
Tetapi ketika diplomasi itu memasuki Israel era Netanyahu, ia menembus medan yang bahkan GPS moral internasional pun sering kehilangan sinyal. Anda pasti belum hilang ingatan bagaimana ganasnya mesin perang Netanyahu membumi-hanguskan Palestina sehingga nyamuk pun enggan hidup.
Ini bukan soal siapa benar siapa salah. Bukan pula soal menilai Gus Dur lebih suci sejalan niat Simon Peres. Atau Yahya Tsaquf lebih berani namun dinilai tak bermoral oleh sesama ulama seperti mereka menilai Netanyahu.
Yang sedang kita lihat adalah dua bab sejarah dengan cuaca berbeda. Yang satu hujan rintik yang masih menyisakan harapan pelangi, yang satu badai topan dengan tenda kemanusiaan beterbangan.
Maka kalau hari ini ada yang ingin membandingkan kedua peristiwa itu, ya biarkan saja publik berpikir sendiri. Jangan buru-buru menyimpulkan, karena sejarah tidak pernah berjalan dalam cetakan silikon.
Kadang seorang tokoh bisa jadi jembatan, kadang bisa jadi bara, dan keduanya baru bisa dinilai setelah api padam dan jembatan dilewati. Bahwa ada sejumlah ulama ingin bikin penilaian, kita doakan semoga niat mereka tulus.
Justru tragedi paling berharga dalam hidup adalah saat kita menyadari bahwa apa yang dulu kita banggakan ternyata salah arah, dan apa yang dulu kita benci ternyata menjadi pelajaran.
Barangkali yang perlu kita renungkan bukan siapa yang benar, tetapi mengapa diplomasi selalu lahir dari luka, dan kenapa setiap upaya perdamaian selalu berubah menjadi perdebatan.
Pada akhirnya, bangsa ini tidak kekurangan orang pintar untuk berkomentar, hanya kekurangan yang mau membaca sampai tuntas sebelum berkomentar. Termasuk, membaca sejarah yang bisa memberi konteks lebih sempurna.
Dan kalau ada hikmah dari keributan NU hari ini, mungkin itu justru di situ yaitu barangkali perbedaan itu tidak untuk dihapus, tapi untuk saling mengingatkan bahwa moral tidak hanya teriakannya yang penting, tapi juga arah terbangnya.
Entah kita memilih merpati atau elang, hanya sejarah yang akan menghitung apakah sayap itu membawa damai atau kehancuran.