Ilustrasi gedung MPR/DPR. (Foto: Antara)
Ilustrasi gedung MPR/DPR. (Foto: Antara)
GUGATAN lima mahasiswa -Ahmad Rizky Akbar, Nadya Pramesti, Bagus Wirayudha, Citra Maharani, dan Leonardus Ardi Prakoso- terhadap Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) tengah menjadi perhatian publik. Mereka meminta Mahkamah Konstitusi menafsirkan ulang mekanisme pemberhentian antarwaktu (PAW) agar tidak hanya menjadi kewenangan partai politik, tetapi juga memberi ruang bagi rakyat sebagai pemilih untuk mengusulkan pemberhentian anggota DPR.
Inisiatif ini terasa penting karena menyentuh persoalan mendasar dalam demokrasi Indonesia: sejauh mana rakyat memiliki kontrol terhadap wakil yang mereka pilih? Selama ini, setelah pemilu selesai, ruang partisipasi politik warga mengecil drastis. Rakyat hanya menjadi penonton, sementara partai politik memegang kendali penuh atas nasib kader yang duduk di kursi legislatif.
Padahal, prinsip representasi demokratis menempatkan rakyat sebagai pemegang mandat. Ketika seorang anggota DPR terlibat pelanggaran etika, mengabaikan konstituen, atau menunjukkan konflik kepentingan, masyarakat tidak memiliki saluran formal untuk memberikan koreksi. Mekanisme PAW yang seluruhnya berada di tangan partai membuat akuntabilitas publik tereduksi.
Populer
Senin, 01 Desember 2025 | 02:29
Minggu, 30 November 2025 | 02:12
Senin, 24 November 2025 | 17:20
Jumat, 28 November 2025 | 00:32
Kamis, 27 November 2025 | 05:59
Jumat, 28 November 2025 | 02:08
Jumat, 28 November 2025 | 04:14
UPDATE
Jumat, 05 Desember 2025 | 06:04
Jumat, 05 Desember 2025 | 06:00
Jumat, 05 Desember 2025 | 05:33
Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02
Jumat, 05 Desember 2025 | 05:00
Jumat, 05 Desember 2025 | 04:35
Jumat, 05 Desember 2025 | 04:28
Jumat, 05 Desember 2025 | 04:03
Jumat, 05 Desember 2025 | 03:17
Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03