Berita

Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi RMOL)

Publika

Klarifikasi Hukum Atas Putusan MK 114/2025

SENIN, 17 NOVEMBER 2025 | 15:46 WIB

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 telah memicu interpretasi publik yang keliru seolah-olah membatasi secara total penempatan anggota Polri dalam jabatan di luar struktur kepolisian. Naskah akademik ini bertujuan untuk melakukan tafsir otoritatif dan analisis komprehensif terhadap ruang lingkup serta implikasi normatif dari putusan tersebut. Melalui pendekatan analisis hukum doktrinal, kajian ini menyimpulkan bahwa putusan tersebut sama sekali tidak melarang penempatan anggota Polri aktif pada jabatan di luar institusi, melainkan sekadar membatalkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Norma inti dalam batang tubuh pasal yang mensyaratkan pengunduran diri atau pensiun untuk jabatan sipil tetap berlaku, sementara penempatan pada jabatan non-sipil yang memiliki relevansi fungsional dengan tugas kepolisian, seperti di Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masih dimungkinkan bagi anggota Polri yang masih aktif. Rekomendasi kebijakan difokuskan pada kebutuhan harmonisasi regulasi dan penyusunan pedoman teknis untuk mencegah misinterpretasi di masa depan serta memastikan kepastian hukum dalam tata kelola penugasan personel Polri.

Konteks Permasalahan


Dinamika penempatan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam berbagai jabatan strategis di luar institusi kepolisian telah lama menjadi perhatian dalam wacana tata kelola pemerintahan dan birokrasi di Indonesia. Praktik ini didasarkan pada kerangka hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 28 ayat (3), yang menyatakan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun. Namun, penjelasan pasal tersebut memuat frasa tambahan yang menjadi sumber polemik, yakni “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”, yang menciptakan ambiguitas hukum dan celah bagi interpretasi yang memperlonggar syarat utama tersebut. 

Ambiguitas inilah yang kemudian mendorong permohonan pengujian materiil (judicial review) terhadap Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri tersebut ke Mahkamah Konstitusi, yang berujung pada diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Putusan ini, dalam perjalanannya, justru menimbulkan misinterpretasi di tingkat publik dan sebagian kalangan birokrasi, yang memahami putusan ini sebagai larangan menyeluruh bagi anggota Polri aktif untuk menduduki posisi apa pun di lembaga lain. 

Oleh karena itu, diperlukan suatu kajian akademis yang mendalam untuk mengurai kekisruhan penafsiran ini, menempatkan putusan pada proporsi hukum yang sebenarnya, dan menganalisis dampak riilnya terhadap praktik penempatan anggota Polri ke depan, dengan mempertimbangkan pula keberadaan regulasi pendukung seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) serta Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020.

Ruang Lingkup dan Konstruksi Putusan MK 114/2025

Pemahaman yang akurat terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 harus berangkat dari penelaahan yang cermat terhadap objek yang diuji dan amar putusan itu sendiri. Permohonan pengujian yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi tidak serta merta menguji keseluruhan Pasal 28 ayat (3) UU Polri, melainkan secara spesifik dan terbatas pada bagian Penjelasan dari pasal tersebut. Konstruksi hukum ini fundamental karena membedakan antara norma utama yang terdapat dalam batang tubuh pasal dengan penjelasan yang berfungsi sebagai alat bantu interpretasi. Amar putusan Mahkamah Konstitusi dengan jelas menyatakan bahwa frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Implikasi hukum langsung dari amar ini adalah dicoretnya frasa pengecualian tersebut dari penjelasan pasal, sehingga yang berlaku adalah bunyi normatif Pasal 28 ayat (3) secara murni tanpa tambahan yang dapat melemahkan esensinya. 

Penting untuk ditegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak membatalkan atau menyentuh norma yang terkandung dalam batang tubuh pasal, yang tetap menyatakan “dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun”. Dengan demikian, klaim bahwa putusan ini merupakan pelarangan total adalah tidak berdasar secara hukum, karena yang dilakukan MK adalah membersihkan penjelasan dari unsur yang dianggap merusak kepastian hukum dan menyimpang dari maksud normatif batang tubuhnya. Kesalahan persepsi publik ini kemungkinan besar muncul dari ketidakpahaman terhadap teknis beracara di Mahkamah Konstitusi dan perbedaan hierarki antara batang tubuh dan penjelasan dalam sebuah undang-undang.

Lebih lanjut, analisis terhadap ratio decidendi atau pertimbangan hukum yang mendasari putusan ini mengungkap tiga pilar argumen utama yang dibangun oleh Majelis Hakim. Pertama, asas kepastian hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjadi landasan utama, di mana frasa dalam penjelasan dinilai menciptakan ketidakpastian dan multi-tafsir karena seolah-olah membuka jalan bagi pemanjangan syarat “mengundurkan diri atau pensiun” melalui mekanisme “penugasan Kapolri”. 

Kedua, Mahkamah Konstitusi menegaskan prinsip hukum bahwa sebuah penjelasan pasal tidak boleh mengatur substansi yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan batang tubuh pasal yang dijelaskannya; fungsi penjelasan semata-mata adalah memperjelas, bukan menambah atau mengurangi makna normatif. Ketiga, putusan ini juga mempertimbangkan konsistensi dengan Pasal 30 UUD 1945 tentang fungsi pertahanan dan keamanan negara, di mana penempatan anggota Polri pada jabatan sipil murni yang tidak relevan dengan fungsi kepolisian dapat berpotensi mengaburkan prinsip netralitas, profesionalisme, dan konsentrasi pada tugas utama kepolisian. 

Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa dalam putusan ini terdapat dissenting opinion atau pendapat berbeda yang diajukan oleh tiga hakim konstitusi, yang berargumen bahwa persoalan yang diangkat Pemohon sebenarnya adalah masalah implementasi dan penyelewengan di tingkat operasional, bukan masalah inkonstitusionalitas norma, sehingga menurut mereka permohonan seharusnya tidak dikabulkan. Keberadaan dissenting opinion ini justru memperkuat analisis bahwa ruang lingkup putusan sangat sempit dan tidak dimaksudkan untuk melakukan perubahan besar-besaran terhadap sistem penugasan anggota Polri yang telah berjalan.

Diferensiasi Krusial: Jabatan Sipil versus Jabatan Non-Sipil 

Salah satu inti dari misunderstanding terhadap Putusan MK 114/2025 adalah kegagalan untuk membedakan secara tegas antara jenis jabatan yang dapat diduduki oleh anggota Polri. Putusan tersebut, pada hakikatnya, memperkuat diferensiasi antara jabatan sipil (civilian position) dan jabatan non-sipil atau jabatan negara yang bersifat teknis penegakan hukum. Norma dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri, setelah pembersihan frasa dalam penjelasannya, secara eksplisit hanya mewajibkan syarat pengunduran diri atau pensiun bagi anggota Polri yang akan menduduki jabatan sipil. Untuk jabatan non-sipil, khususnya yang memiliki sangkut paut langsung dengan fungsi, tugas, dan keahlian kepolisian, anggota Polri yang masih aktif tetap dapat ditugaskan tanpa harus melepaskan statusnya. 

Konstruksi hukum ini sangat logis dan sejalan dengan semangat Pasal 30 UUD 1945 yang mengatur kerja sama antar komponen pertahanan dan keamanan negara. Jabatan-jabatan di lembaga seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada posisi-posisi tertentu, secara substantif bukanlah jabatan sipil murni, melainkan jabatan penegakan hukum yang memerlukan keahlian teknis kepolisian, seperti penyelidikan, penyidikan, dan intelijen.

Penempatan anggota Polri aktif pada lembaga-lembaga tersebut sebenarnya merupakan bentuk sinergi dan integrasi dalam sistem keamanan nasional, di mana keahlian spesifik Polri dialokasikan untuk mendukung pencapaian tujuan lembaga mitra tersebut. Sebagai contoh, keterlibatan perwira Polri dalam BNPT sangat krusial untuk operasi kontra-terorisme, sementara di Bakamla, keahlian Polri dalam penegakan hukum di laut sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, penafsiran sistemik terhadap Pasal 28 ayat (3) UU Polri pasca putusan MK harus membaca pasal tersebut dalam konteks yang lebih luas, yakni dengan merujuk pada undang-undang sektoral yang membentuk lembaga-lembaga seperti BNN dan BNPT, yang seringkali secara tegas mengatur kemungkinan penempatan personel TNI dan Polri. 

Dengan demikian, Putusan MK 114/2025 justru berfungsi sebagai korektor yang menjinakkan penafsiran yang terlampau longgar terhadap penjelasan pasal, sekaligus sebagai penegas batas normatif yang telah ada: untuk karir di jalur sipil murni dalam birokrasi pemerintahan, seorang anggota Polri harus memutuskan statusnya terlebih dahulu, namun untuk tugas negara di bidang penegakan hukum yang lebih luas, keahlian seorang anggota Polri aktif tetap dapat dimanfaatkan tanpa hambatan. Distingsi inilah yang menjadi kunci untuk memahami bahwa putusan ini bukanlah hambatan, melainkan penataan ulang untuk memulihkan maksud legislatif awal dan memastikan profesionalisme kedua domain, sipil dan kepolisian.

Harmonisasi dengan Rezim Hukum Lain

Sebuah analisis yang komprehensif harus pula memeriksa hubungan antara Putusan MK 114/2025 dengan rezim hukum lain yang mengatur kepegawaian negara, khususnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Pertanyaan kritis yang muncul adalah apakah putusan yang membatalkan frasa dalam penjelasan UU Polri ini secara otomatis membatalkan atau mempengaruhi keabsahan skema penugasan anggota Polri sebagai pejabat ASN yang diatur dalam UU ASN. Jawaban hukumnya adalah tidak. 

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat spesifik dan hanya membatalkan norma tertentu dalam undang-undang tertentu yang diujinya. UU ASN, yang merupakan produk hukum yang lebih baru dan komprehensif, tetap berlaku secara penuh. UU ASN secara eksplisit membuka ruang bagi penempatan bukan hanya PNS, tetapi juga anggota TNI dan Polri, dalam Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) utama dan madya, serta jabatan ASN strategis lainnya, melalui mekanisme penugasan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Oleh karena itu, secara hukum administratif, skema penugasan anggota Polri untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam lingkungan instansi pemerintah, yang dilakukan melalui mekanisme formal sesuai UU ASN dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 jo. PP 17/2020 tentang Manajemen PNS, tetap sah dan konstitusional. Putusan MK 114/2025 tidak menyentuh atau membatalkan ketentuan-ketentuan dalam UU ASN tersebut. Yang terjadi justru adalah adanya kebutuhan untuk melakukan harmonisasi interpretasi. Seorang anggota Polri yang ditugaskan sebagai, misalnya, Direktur Jenderal di suatu kementerian berdasarkan UU ASN, pada dasarnya tidak lagi tunduk pada logika “penugasan Kapolri” yang longgar dalam penjelasan UU Polri, melainkan tunduk pada rezim penugasan khusus dalam UU ASN yang memiliki legitimasi dan prosedurnya sendiri. 

Dengan kata lain, UU ASN telah menciptakan lex specialis untuk hal ini. Namun, untuk menjaga konsistensi dan kepastian hukum, diperlukan pedoman teknis lintas lembaga yang menjembatani kedua rezim hukum ini. Pedoman tersebut harus menjelaskan bagaimana syarat “mengundurkan diri atau pensiun” dalam UU Polri yang telah dimurnikan itu berinteraksi dengan mekanisme “penugasan” dalam UU ASN, sehingga tidak terjadi tumpang-tindih atau kontradiksi dalam implementasinya. Inilah yang menjadi tantangan berikutnya pasca putusan, yaitu memastikan bahwa semua regulasi turunan, termasuk Peraturan Kapolri (Perkap) dan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur detail penugasan, segera diselaraskan agar tidak lagi merujuk atau bersandar pada frasa penjelasan UU Polri yang telah dibatalkan tersebut.

Rekomendasi Kebijakan dan Langkah Aksi Strategis

Berdasarkan analisis mendalam terhadap Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025 dan interaksinya dengan sistem hukum nasional, dapat dirumuskan beberapa rekomendasi kebijakan dan langkah aksi strategis bagi Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Rekomendasi ini ditujukan untuk mengisi kekosongan penafsiran, mencegah polemik berulang, dan menciptakan kepastian hukum dalam tata kelola penugasan anggota Polri. Pertama, dan yang paling mendesak, adalah inisiasi revisi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Dalam revisi ini, DPR dan Pemerintah perlu memasukkan definisi yang eksplisit dan limitatif mengenai “jabatan di luar kepolisian” yang mensyaratkan pengunduran diri atau pensiun, serta “jabatan yang memiliki sangkut paut dengan fungsi kepolisian” yang dapat diisi oleh anggota Polri aktif. Definisi ini harus dirumuskan dengan cermat, melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dan disusun dalam batang tubuh undang-undang, bukan dalam penjelasan, untuk menghindari pengulangan masalah yang sama.

Kedua, sebagai langkah jangka menengah, Pemerintah perlu segera menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai pedoman teknis lintas lembaga. Perpres ini harus mengatur tata cara dan kriteria penugasan anggota Polri (dan TNI) pada jabatan-jabatan di lingkungan instansi pemerintah, baik yang termasuk dalam kategori jabatan ASN strategis berdasarkan UU ASN maupun jabatan non-sipil di lembaga penegak hukum seperti BNN dan BNPT. 

Perpres ini akan berfungsi sebagai payung hukum operasional yang menyelaraskan ketentuan UU Polri pasca putusan MK dengan ketentuan UU ASN, sehingga memberikan kejelasan prosedural bagi semua pihak yang terlibat. Ketiga, Kapolri perlu meninjau dan merevisi seluruh Peraturan Kapolri (Perkap) yang mengatur tentang penugasan anggota di luar institusi, untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun ketentuan di dalamnya yang masih merujuk atau bersandar pada frasa “penugasan Kapolri” sebagai pengecualian dari syarat pensiun, mengingat frasa tersebut telah tidak berlaku lagi. Keempat, sebagai langkah preventif untuk masa depan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) bersama-sama dengan Sekretariat Kabinet dan Polri perlu menyusun sebuah Daftar Jabatan yang bersifat Sipil dan Non-Sipil sebagai acuan nasional. Daftar ini, yang dapat diperbarui secara berkala, akan menjadi panduan objektif bagi Presiden, Kapolri, dan pimpinan lembaga lainnya dalam mengajukan atau menerima penugasan anggota Polri, sehingga menghilangkan subjektivitas dan potensi politisasi dalam proses penugasan tersebut.

Penutup

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 harus dipahami secara tepat sebagai sebuah penegasan dan pemurnian norma hukum, bukan sebagai sebuah pelarangan yang bersifat revolusioner. Putusan ini, dengan membatalkan frasa dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri, pada hakikatnya mengembalikan konsistensi dan kepastian hukum dengan menegaskan bahwa untuk karir di jalur sipil murni, seorang anggota Polri harus memutuskan statusnya terlebih dahulu. Sementara itu, ruang bagi anggota Polri aktif untuk berkontribusi pada jabatan-jabatan strategis non-sipil di lembaga-lembaga penegak hukum lainnya tetap terbuka lebar, sejalan dengan semangat integrasi sistem keamanan nasional. Misinterpretasi yang terjadi di publik justru mengaburkan esensi kemajuan hukum dari putusan ini. 

Tantangan ke depan terletak pada kapasitas Pemerintah dan DPR untuk merespons putusan ini dengan langkah-langkah legislatif dan administratif yang konkret, melalui revisi UU Polri, harmonisasi regulasi turunan, dan penyusunan pedoman teknis yang jelas. Dengan demikian, putusan MK ini tidak akan berakhir sekadar sebagai putusan di atas kertas, melainkan dapat menjadi katalis bagi terciptanya tata kelola penugasan personel keamanan yang lebih tertib, adil, dan berorientasi pada profesionalisme serta kepentingan bangsa yang lebih luas.


Adv. Dr. Surya Wiranto, SH MH
Purnawirawan Laksamana Muda TNI, sehari-hari sebagai Penasehat Indopacific Strategic Intelligence (ISI), dan Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Pasca Sarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan, Kadep Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, dan Executive Director, Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS). Kegiatan lain sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator Firma Hukum Legal Jangkar Indonesia. 


Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Usut Tuntas Bandara Ilegal di Morowali yang Beroperasi Sejak Era Jokowi

Senin, 24 November 2025 | 17:20

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

UPDATE

Duka Banjir di Sumatera Bercampur Amarah

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:04

DKI Rumuskan UMP 2026 Berkeadilan

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:00

PIER Proyeksikan Ekonomi RI Lebih Kuat pada 2026

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:33

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

Kemenhut Cek Kayu Gelondongan Banjir Sumatera Pakai AIKO

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:00

Pemulihan UMKM Terdampak Bencana segera Diputuskan

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:35

Kaji Ulang Status 1.038 Pelaku Demo Ricuh Agustus

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:28

Update Korban Banjir Sumatera: 836 Orang Meninggal, 509 Orang Hilang

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:03

KPK Pansos dalam Prahara PBNU

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:17

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Selengkapnya