Berita

Mantan Presiden Soeharto. (Foto: Istimewa)

Publika

MPR Tak Lagi Berwenang Cabut TAP

Kebohongan Konstitusional di Balik Nama Soeharto

SABTU, 15 NOVEMBER 2025 | 05:07 WIB

PERNYATAAN Ketua MPR periode 2019-2024 Bambang Soesatyo yang menyebut pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 sudah bersifat final adalah bentuk penyesatan publik. 

Ungkapan itu menggiring opini seolah-olah MPR masih memiliki kewenangan konstitusional untuk mengubah Ketetapan MPR, padahal sejak amandemen UUD 1945 tahun 2002, kewenangan itu telah dihapus. Secara hukum, MPR tidak lagi dapat membuat, mengubah, apalagi mencabut TAP MPR.

Setelah empat kali amandemen, MPR tak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Kedudukannya kini sejajar dengan DPR, DPD, Presiden, MA, MK, dan BPK. Kewenangannya terbatas pada mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden, serta memberhentikan Presiden sesuai mekanisme konstitusi. 


Tidak ada satu pun pasal dalam UUD hasil amandemen yang memberi MPR hak untuk mencabut Ketetapan yang dibuat pada masa sebelum reformasi.

Perlu ditegaskan, produk hukum MPR saat ini bukan lagi “Ketetapan” (TAP), melainkan “Keputusan MPR” yang bersifat administratif dan internal. TAP MPR adalah produk hukum konstitusional dengan kedudukan di atas undang-undang. 

Sedangkan Keputusan MPR tak memiliki kekuatan hukum mengikat di luar lembaga itu sendiri. Karena itu, apa yang disebut sebagai “pencabutan nama Soeharto” sejatinya hanyalah keputusan politik internal, bukan tindakan konstitusional yang mengubah dokumen hukum negara.

TAP MPR XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tetap sah secara hukum. 

Ketetapan itu masih berlaku terbatas sebagaimana diatur dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003, yang menegaskan bahwa setiap TAP hanya dapat dicabut dengan TAP MPR lainnya. 

Tidak ada dasar hukum yang memungkinkan sebuah “rapat gabungan fraksi dan DPD” menggantikan mekanisme konstitusional tersebut. 

Maka, klaim Bambang Soesatyo bahwa MPR telah mencabut nama Soeharto adalah tidak berdasar, dan bisa dikategorikan sebagai manipulasi politik berbaju hukum.

Dengan membungkus keputusan politik internal sebagai “pencabutan TAP MPR”, publik disesatkan untuk percaya bahwa MPR masih memiliki kekuasaan super seperti sebelum reformasi.

Ini bukan sekadar kesalahan istilah, melainkan bentuk kebohongan konstitusional yang berpotensi merusak kesadaran hukum publik. Di tengah masyarakat yang makin skeptis terhadap lembaga politik, manipulasi semacam ini justru memperlebar jarak antara lembaga negara dan rakyat.

Motif di balik langkah ini mudah dibaca. Menghapus nama Soeharto dari teks TAP berarti menghapus jejak pertanggungjawaban moral terhadap masa Orde Baru. 

Langkah itu sekaligus membuka jalan bagi wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, seolah sejarah bisa dibersihkan lewat sidang paripurna. 

Ini bukan upaya rekonsiliasi, melainkan pengaburan sejarah. Sebab rekonsiliasi sejati hanya lahir dari pengakuan dan pertanggungjawaban, bukan dari penghapusan jejak dosa politik.

Bahaya terbesar dari langkah ini adalah preseden yang diciptakan. Jika MPR bisa mengubah produk hukum konstitusional tanpa dasar hukum, maka di masa depan lembaga-lembaga politik bisa saja mengutak-atik sejarah dan hukum sesuka hati. Di titik itulah, cita-cita reformasi—yang menjunjung supremasi konstitusi—kembali dipermainkan.

Reformasi lahir untuk menghentikan kekuasaan yang menipu rakyat dengan bahasa hukum. Dua puluh enam tahun kemudian, MPR justru mengulang kesalahan yang sama: membungkus kepentingan politik dengan kata “keputusan konstitusional”. 

Ketika hukum dijadikan alat propaganda, maka yang runtuh bukan hanya kebenaran sejarah, tapi juga kepercayaan publik terhadap negara.

Agung Nugroho
Direktur Jakarta Institute

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya