Berita

SPBU Shell di wilayah Jakarta Selatan. (Foto: RMOL)

Politik

Segera Reformasi Tata Kelola Energi di Tengah Kelangkaan BBM Non Subsidi

JUMAT, 19 SEPTEMBER 2025 | 13:10 WIB | LAPORAN: AHMAD ALFIAN

Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) non subsidi di sejumlah SPBU selain Pertamina yang menimbulkan antrean panjang dan pompa kosong disorot Ketua DPP PKS Bidang Energi, Lingkungan Hidup, dan Perubahan Iklim, Agus Ismail.

“Pertanyaan mendasar, apakah ini sekadar gangguan distribusi atau tanda rapuhnya tata kelola energi nasional? Pola ini berulang, karena pada awal 2025 gejala serupa juga terjadi. Artinya, ada masalah struktural yang belum diatasi,” tegas Agus Ismail lewat keterangan resminya yang diterima redaksi di Jakarta, Jumat, 19 Septemner 2025.

Dia menjelaskan bahwa meski deregulasi sektor hilir sudah berlangsung dua dekade, pasokan BBM non subsidi masih bersumber dari Pertamina. Badan usaha swasta yang diharapkan menjadi alternatif justru bergantung pada BUMN energi ini sebagai importir utama.


Dia menilai imbauan pemerintah agar SPBU swasta berkolaborasi dengan Pertamina justru mempertegas dominasi tunggal. 

“Pertamina memang tulang punggung energi, tetapi menjadikan swasta sekadar pembeli stok bukanlah solusi. Alih-alih mendorong kompetisi sehat, kebijakan ini justru mempersempit ruang gerak swasta,” jelasnya.

Lebih lanjut, Agus menyoroti aturan impor yang hanya diberlakukan enam bulan sekali sejak Februari 2025. Kebijakan ini, menurutnya, justru menambah beban administratif dan ketidakpastian bagi pelaku usaha. Dampaknya, masyarakat kembali kesulitan membeli BBM non subsidi setiap periode tertentu.

“Upaya Menteri ESDM dalam menyikapi lonjakan permintaan akibat pembatasan BBM subsidi sebaiknya disertai perhitungan kebutuhan yang akurat dan buffer stok yang memadai. Jika tidak, masyarakat akan terus menanggung akibatnya, antrean panjang, harga lebih mahal, hingga kepanikan energi yang berulang,” ungkap Agus Ismail.

Menurut Agus, kelangkaan BBM non subsidi bukan sekadar isu teknis, melainkan alarm bagi arah kebijakan energi nasional. Publik berhak mengetahui data impor, distribusi, dan realisasi kuota agar tumbuh kepercayaan bahwa kebijakan energi dikelola secara adil dan efisien.

“UU Migas yang baru diperlukan demi kedaulatan nasional, mengurangi ketergantungan impor, dan memastikan regulasi yang berpihak kepada kepentingan masyarakat. Hal ini berbeda dengan UU Migas 2001 yang cenderung liberal,” pungkas Agus Ismail.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya