Berita

Logo Polri. (Foto: Istimewa)

Publika

Delegitimasi Kapolri

OLEH: R HAIDAR ALWI
MINGGU, 14 SEPTEMBER 2025 | 06:37 WIB

WACANA reformasi kepolisian kembali mencuat. Publik digiring untuk percaya bahwa "reformasi Polri" adalah jawaban atas berbagai gejolak sosial, ekonomi, HAM, dan dinamika politik.

Namun, jika diperhatikan lebih seksama, jargon reformasi sering dijadikan kedok untuk tujuan yang lebih pragmatis: mendelegitimasi Kapolri dan membuka jalan pergantian pimpinan.

Fenomena ini berbahaya. Aparat kepolisian adalah institusi penting dalam menjaga stabilitas negara. Bila kepemimpinannya terus dijadikan alat tawar-menawar politik, maka yang hancur bukan hanya figur seorang jenderal, tetapi juga legitimasi lembaga penegak hukum dan kepercayaan masyarakat yang sudah rapuh.


Upaya delegitimasi biasanya diawali dengan isu personalisasi. Sebuah kejadian insidental yang tidak mewakili keseluruhan kinerja institusi dibesar-besarkan menjadi bukti kegagalan menyeluruh. Dari sini, narasi pun diarahkan: Kapolri gagal, maka harus diganti.

Strategi ini cerdik karena menyentuh emosi masyarakat. Gambar lebih mudah dijadikan kambing hitam daripada membahas kompleksitas kelembagaan. Namun di sinilah letak masalahnya. Jika reformasi hanya dipersonalisasi, maka esensi perbaikan struktural hilang sama sekali. 

Pergantian Kapolri tidak otomatis memperbaiki pola rekrutmen, sistem pengawasan, atau tata kelola anggaran. Yang berubah hanyalah nama, bukan mekanisme.

Ironisnya lagi, kampanye delegitimasi kerap dibungkus seolah datang dari masyarakat sipil independen. Padahal, tak jarang para aktor di baliknya punya afiliasi politik yang kuat. Reformasi dijadikan retorika normatif untuk mewujudkan agenda sesungguhnya: perebutan pengaruh atas institusi penegak hukum.

Muncul pula gagasan pembentukan "komisi" atau "tim independen". Gagasan itu bagus di atas kertas, tetapi jika figur-figurnya partisan, maka hasilnya tidak lebih dari rekomendasi politis. Reformasi yang berorientasi sistemik berubah menjadi instrumen delegitimasi personal.

Delegitimasi semacam ini membawa risiko besar bagi demokrasi dan keamanan negara.

Pertama, erosi kepercayaan masyarakat. Jika publik terus diberi narasi negatif yang terfokus pada figur, maka institusi akan kehilangan legitimasi. Padahal, kepercayaan adalah modal utama aparat keamanan.

Kedua, politisasi berlebihan terhadap penegakan hukum. Kapolri yang dicopot atau diangkat karena tekanan politik akan kehilangan independensi. Polisi bisa berubah menjadi perpanjangan tangan kelompok politik, bukan penegak hukum netral.

Ketiga, instabilitas keamanan. Pergantian mendadak di tengah gejolak sosial menciptakan risiko kekosongan komando. Aparat di lapangan kehilangan arah, sementara elite sibuk bertengkar soal siapa yang pantas memimpin.

Keempat, reformasi semu. Jika yang dipermasalahkan hanya bersifat figuratif, maka permasalahan struktural tidak akan pernah tersentuh. Isu seperti pengawasan internal, budaya organisasi, dan kualitas pendidikan kepolisian terus terabaikan. 

Publik hanya menjadi penonton drama politik tanpa pernah mendapat kepolisian yang benar-benar lebih profesional.

Reformasi Polri adalah kebutuhan riil dan harus terus diperjuangkan. Tetapi menjadikan reformasi sebagai kedok untuk mendeligitimasi Kapolri adalah pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi itu sendiri. 

Masyarakat perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam perangkap retorika yang indah di permukaan tetapi tidak akan berdampak pada kepentingan di balik layar.

Perubahan sejati tidak akan lahir dari pergantian figur yang dipaksakan oleh tekanan politik. Reformasi hanya akan bermakna bila diarahkan pada pembenahan sistem, peningkatan akuntabilitas, dan penguatan independensi aparatur. 

Tanpa itu, kita hanya akan terus mengulangi siklus lama: reformasi semu, pergantian Kapolri, dan masalah tetap ada.

Penulis adalah Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI)



Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

UPDATE

Laksdya Erwin Tinjau Distribusi Bantuan di Aceh Tamiang

Selasa, 23 Desember 2025 | 03:55

Jembatan Merah Putih

Selasa, 23 Desember 2025 | 03:40

Kongres Perempuan 1928 Landasan Spirit Menuju Keadilan Gender

Selasa, 23 Desember 2025 | 03:13

Menko AHY Lepas Bantuan Kemanusiaan Lewat KRI Semarang-594

Selasa, 23 Desember 2025 | 02:55

Membeli Damai dan Menjual Perang

Selasa, 23 Desember 2025 | 02:32

Komdigi Gandeng TNI Pulihkan Infrastruktur Komunikasi di Aceh

Selasa, 23 Desember 2025 | 02:08

Rocky Gerung: Kita Minta Presiden Prabowo Menjadi Leader, Bukan Dealer

Selasa, 23 Desember 2025 | 01:45

DPRD Minta Pemkot Bogor Komitmen Tingkatkan Mutu Pendidikan

Selasa, 23 Desember 2025 | 01:27

Kebijakan Mualem Pakai Hati Nurani Banjir Pujian Warganet

Selasa, 23 Desember 2025 | 01:09

Pemilihan Kepala Daerah Lewat DPRD Bikin Pemerintahan Stabil

Selasa, 23 Desember 2025 | 00:54

Selengkapnya