Ilustrasi. (Foto: ANTARA/Olha Mulalinda)
Penerapan tarif ekspor oleh Presiden AS Donald Trump melalui kebijakan American First berdampak cukup besar terhadap pasar produk perikanan di Indonesia.
Pada April 2025 lalu, Trump mengeluarkan kebijakan tarif resiprokal sebesar 10 persen secara global. Sejak awal pengumuman tarif 10 persen, perusahaan dengan komoditas Tuna Loin yang memasarkan produknya ke Amerika Serikat telah menghentikan produksinya. Penerapan tarif tersebut berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pekerja pengolahan ikan di Indonesia.
Merespons hal tersebut, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia melaksanakan survei terbatas terkait Pengaruh Tarif Trump terhadap Ekonomi Perikanan Indonesia pada 22 Juli-6 Agustus 2025.
Survei ini diikuti berbagai pelaku usaha, pemangku kepentingan, dan praktisi terkait. Dari survei yang telah dilakukan, ditemukan 82,5 persen responden setuju bahwa pasar produk ekspor perikanan Indonesia sangat bergantung kepada Amerika Serikat.
Bergantungnya pasar produk ekspor perikanan ini kemudian berdampak pada beberapa komoditas seperti udang, tuna, tongkol, dan cakalang. Peningkatan tarif ekspor ini, menurut responden berdampak pada penurunan kinerja ekspor, gangguan terhadap rantai pasok, serta penurunan minat terhadap pasar investasi.
Menurut Human Rights Manager DFW Indonesia, Luthfian Haekal, terdampaknya beberapa komoditas perikanan untuk diekspor berdampak pula pada serapan pekerja di pabrik pengolahan ikan.
“Dalam survei yang juga dilakukan oleh DFW pada tahun 2025, menemukan bahwa penerapan tarif ekspor Trump berdampak pada penghentian beberapa pekerja pengolahan ikan di beberapa daerah di Indonesia. Di Bitung misalnya terdapat perusahaan dengan produk Tuna Loin melakukan PHK terhadap sekitar 60-80 pekerjanya,” ujar Haekal dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Rabu, 27 Agustus 2025.
Untuk itu, lanjut dia, sangat diperlukan adanya strategi diversifikasi pasar ekspor bagi produk perikanan Indonesia. Salah satu strategi yang dinilai berpotensi untuk dilakukan menurut para pelaku usaha yang menjadi responden dalam survei ini adalah penguatan kerja sama dengan negara anggota BRICS.
“Di sisi lain, 72,5 persen responden juga menilai bahwa saat ini pemerintah telah mendampingi pelaku usaha untuk diversifikasi pasar ekspor. Beberapa negara yang bisa dijadikan tujuan diversifikasi pasar ekspor antara lain: China, Eropa, dan Uni Emirat Arab. Diversifikasi pasar ekspor dilakukan untuk mengurangi risiko guncangan pasar tunggal,” jelas Haekal.
“Pemerintah setidaknya harus melakukan penguatan struktur ekspor. Penguatan tersebut bisa dilakukan melalui perluasan pasar ekspor non-AS dengan perjanjian dagang bilateral/multilateral di kawasan alternatif dan melakukan fasilitasi promosi produk perikanan di negara dengan tarif rendah atau nol tarif,” tambahnya.
Selain diversifikasi pasar ekspor, Haekal juga mengungkapkan tarif Trump merupakan momentum untuk mengembangkan barang substitusi impor -mayoritas responden 87.5 persen mendukung. Dalam pengembangan substitusi impor sebagai kerangka ekonomi sirkular, daya ekonomi warga merupakan titik utama.
Namun, tantangan dalam pengembangan substitusi impor merupakan daya beli masyarakat yang dianggap masih kurang memenuhi (62,5 persen).
“Mayoritas pengusaha juga menganggap daya beli masyarakat masih kurang. Sekitar 58 persen dari 19 pelaku usaha yang berhasil dijangkau, menilai daya beli masyarakat masih belum mampu untuk membeli barang yang diproduksi oleh pelaku usaha,” terang Haekal.
Berdasarkan survei DFW, tarif Trump juga berdampak pada ketimpangan neraca dagang yang lebih menguntungkan AS dibandingkan Indonesia. Mayoritas sebesar 67,5 persen responden mengaitkan ketimpangan neraca dagang tersebut dengan kemungkinan kenaikan inflasi di Indonesia. Kenaikan inflasi dikarenakan produk yang diekspor dengan harga yang lebih tinggi akibat tarif ke Amerika sebesar 19 persen, sementara tarif produk impor dari Amerika yang masuk ke Indonesia sebesar 0 persen.
Pada pertengahan kuartal 2025, Trump mengirimkan surat kepada beberapa negara termasuk Indonesia dengan penetapan tarif sebesar 32 persen. Seiring perkembangan waktu, Trump menetapkan penurunan tarif dari 32 persen menjadi 19 persen ke Indonesia lebih rendah 1 persen dari produk asal Vietnam.
Tarif tersebut berdampak terhadap kondisi ekonomi perikanan di Indonesia mengingat AS telah menjadi tujuan utama pasar produk perikanan di Indonesia dengan nilai mencapai 1,90 miliar Dolar AS pada 2024 atau sekitar 32 persen dari total ekspor produk perikanan.