Persoalan sengketa penggunaan pastori atau rumah jabatan pendeta Gereja Toraja Jemaat Samarinda Baru di Jalan Air Terjun, Kelurahan Mangkupalas, Kecamatan Samarinda Seberang, Kalimantan Timur, memasuki babak baru setelah mediasi yang difasilitasi Polres Samarinda bersama tokoh adat.
Mediasi tersebut menghasilkan kesepakatan sementara untuk menetralkan Gedung pastori yang terletak tidak jauh dari Gereja Toraja. Langkah ini, sembari menunggu pertemuan lanjutan pada 26 Agustus 2025 di Polresta Samarinda yang akan melibatkan seluruh pihak dengan membawa dokumen resmi.
Pendeta yang saat ini memimpin Jemaat Gereja Toraja Samarinda Baru, Daniel Mila Pakau menuturkan bahwa sejak dirinya diteguhkan pada 29 Oktober 2023, ia belum pernah menempati rumah jabatan yang secara resmi diperuntukkan bagi pendeta.
Selama hampir dua tahun, ia harus bersabar menghadapi kenyataan bahwa gedung pastori dikuasai oleh pihak lain.
Beberapa kali mediasi digelar, bahkan melibatkan aparat kepolisian, Badan Pekerja Sinode (BPS), tokoh oikumene, hingga pemerintah setempat, namun gagal.
Dalam mediasi terakhir yang difasilitasi kepolisian, disepakati bahwa seluruh patok dan tulisan larangan di sekitar area gereja dibersihkan, sementara kunci pastori diserahkan kepada pihak netral yang dipercaya kedua belah pihak, namun gagal.
“Kami sangat bersyukur. Walaupun panjang dan melelahkan, akhirnya ada kesepakatan. Legalitas jelas pastori adalah rumah jabatan pendeta,” ujar Daniel dalam keterangan tertulis, Rabu 20 Agustus 2025.
Ia menegaskan, jemaat tidak pernah menganggap pihak lain sebagai musuh.
“Saya selalu katakan, mereka adalah saudara. Kami hanya ingin hak gereja dihormati. Gereja adalah rumah kasih, bukan tempat perpecahan,” tambahnya.
Sementara Kuasa hukum Jemaat Gereja Toraja Samarinda Baru, Fensensius Tolayuk, menegaskan bahwa hasil mediasi yang digelar aparat kepolisian bukanlah keputusan final yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Menurutnya, posisi Gereja sangat jelas, hibah tanah dan bangunan sah secara hukum, sehingga tidak ada satupun dalil hukum yang benar bagi pihak tertentu menempati rumah jabatan pendeta untuk menguasai, menempati aset tersebut secara pribadi atau secara melawan hukum.
Dia juga menepis tudingan bahwa penerima hibah, yakni Samuel Baan, menguasai aset secara personal. Menurutnya, hibah tersebut adalah milik Organisasi Gereja Toraja, bukan individu.
“Tujuan hibah jelas: membangun dan memelihara rumah ibadah gereja. Tidak ada unsur kepentingan pribadi di dalamnya,” tegasnya.
Terpisah, Samuel Baan, penerima kuasa hibah sekaligus salah satu pendiri jemaat, memaparkan kronologi panjang berdirinya gereja ini.
Ia menjelaskan, pada 2012, sebanyak 52 orang jemaat membentuk persekutuan doa dan melaksanakan ibadah perdana pada 25 Maret 2012. Melihat kebutuhan tempat ibadah permanen, tiga orang tokoh salah satunya dr. Feri menghibahkan tanah seluas 7.130 meter persegi untuk dijadikan lokasi gereja.
Tanah tersebut dilepaskan dan dihibahkan secara resmi, terdaftar di Kecamatan Samarinda Seberang. Surat pertama Nomor 590/228/KSS/VIII/2012, dilepaskan 19 Juni 2012 dan dihibahkan 3 Agustus 2012. Surat kedua Nomor 590/212/KSS/VII/2013, dilepaskan 19 Juni 2013 dan dihibahkan 9 Juli 2013.
Proses hibah dilanjutkan dengan pengurusan surat hibah resmi dan penerbitan IMB pada 2015. Dengan dasar legalitas itu, jemaat mengajukan proposal bantuan ke Pemerintah Provinsi Kaltim. Hasilnya, pada 2016, keluar bantuan pembangunan sebesar Rp4 miliar.
“Dana itu tidak mungkin dicairkan kalau hibahnya cacat. Gereja ini dibangun resmi oleh pemerintah, berarti sah secara hukum,” kata Samuel.
Pembangunan gereja rampung pada 2017, dan ibadah perdana dilaksanakan pada April tahun itu. Gedung lama kemudian difungsikan sebagai pastori, atau rumah jabatan yang biasanya diberi kepada pimpinan daerah.
Situasi mulai berubah pada 2021, ketika terjadi pergantian pendeta. Menurut Samuel, gaya kepemimpinan pendeta baru, Intan, menimbulkan gesekan dengan jemaat dan majelis.
“Banyak jemaat merasa tersinggung, ada yang tidak dilayani doa. Majelis sudah menasihati, klasis turun tangan, bahkan Badan Pekerja Sinode Wilayah pun ikut, tapi tidak dihiraukan. Akhirnya BPS pusat menarik kembali Pendeta Intan dari jemaat ini,” paparnya.
Namun, peristiwa itu memunculkan dualisme jemaat. Sebagian kecil jemaat tetap mendukung pendeta lama dan menguasai pastori. Dari 26 majelis, hanya tiga yang keluar, sementara mayoritas tetap bersama majelis resmi Jemaat Samarinda Baru.
Konflik pun berlanjut. Pihak yang pro pendeta lama menolak menyerahkan kunci pastori, bahkan sempat memasang patok, menanam pisang, hingga menghalangi penggunaan alat berat untuk mengatasi longsor di area belakang gereja.
“Pendeta yang diteguhkan pada 2023 akhirnya tidak bisa menempati pastori, padahal itu rumah jabatan resmi. Beliau harus tinggal di rumah jemaat atau kantor kecil seadanya,” ujar Samuel.
Atas kondisi itu, majelis bersama kuasa hukum melayangkan somasi resmi ke pemerintah daerah, Kapolri, DPR RI, hingga Presiden. Langkah ini ditempuh untuk memastikan bahwa perjuangan jemaat sah dan legal.
Puncaknya, pada 19 Agustus 2025, aparat kepolisian bersama tokoh adat memfasilitasi mediasi. Kesepakatan sementara tercapai, gedung pastori dinyatakan netral hingga pertemuan resmi di Polres Samarinda pada 26 Agustus mendatang.
Pendeta, kuasa hukum, dan Samuel Baan sepakat bahwa penyelesaian damai adalah jalan terbaik, namun bukan damai sesaat.