PANCASILA dan penegakan hukum di Indonesia memiliki relasi simbiotik-integral, di mana Pancasila berfungsi sebagai landasan filosofis dan roh konstitusional tertinggi dalam hierarki hukum, sementara penegakan hukum menjadi mekanisme aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Setiap sila Pancasila mengimplikasikan prinsip penegakan hukum spesifik, misalnya: jaminan kebebasan beragama & Hak Asasi Manusia (HAM) (Sila I-II), hukum sebagai pemersatu bangsa (Sila III), partisipasi publik & akuntabilitas (Sila IV), serta perlindungan kaum marginal & keadilan sosial (Sila V).
Implementasinya tercermin dalam pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, namun menghadapi tantangan serius seperti diskriminasi hukum, ketimpangan sanksi, korupsi aparat, serta dilema Undang Undang Cipta Kerja dan hukum siber. Sebagai refleksi 80 tahun Indonesia merdeka, muncul ironi penegakan hukum yang menunjukkan potensi penyimpangan nilai Pancasila, seperti dalam kasus amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Lembong, yang dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat. Strategi penguatan sinergi memerlukan reformasi struktural-kultural (pendidikan hukum berbasis Pancasila, Pancasila Impact Assessment, pemberantasan korupsi elit, serta advokasi masyarakat sipil). Tanpa internalisasi nilai Pancasila, hukum hanya menjadi prosedur tanpa jiwa.
Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka, namun pertanyaan fundamental tetap menggema: apakah hukum kita telah mencerminkan nilai luhur Pancasila? Apakah keadilan telah menjadi ruh dalam proses hukum, atau justru menjadi korban dari permainan elite? Di sinilah pentingnya merefleksikan hubungan antara Pancasila dan penegakan hukum. Pancasila bukan sekadar simbol negara, melainkan basis filosofis yang harus menghidupi seluruh struktur hukum Indonesia.
Kasus-kasus mutakhir seperti amnesti terhadap Hasto Kristiyanto, mantan Sekjen PDIP yang tersandung kasus korupsi dan obstruction of justice, serta abolisi terhadap Thomas Lembong, tokoh bisnis dan eks pejabat publik yang terjerat dugaan korupsi lintas batas dalam sektor digital, memperlihatkan bagaimana hukum mudah dibengkokkan oleh kekuasaan jika tidak ditopang oleh nilai etik. Momentum 80 tahun kemerdekaan harus menjadi cermin untuk mengevaluasi apakah hukum telah menjadi alat keadilan atau hanya sekadar pelengkap administrasi kekuasaan.
Konteks Hubungan Pancasila dan Penegakan Hukum
Hubungan antara Pancasila dan hukum bersifat mutualistik, bukan hierarkis semata. Pancasila memberi arah etis dan semangat batiniah hukum; hukum menjelmakan nilai-nilai itu dalam aturan dan sanksi. Namun dalam praktik, relasi ini seringkali mengalami distorsi. Misalnya, ketika hukum dipolitisasi untuk mengamankan kepentingan elite tertentu, maka prinsip Sila IV tentang musyawarah rakyat dan akuntabilitas, serta Sila V tentang keadilan sosial menjadi terdegradasi.
Dalam kasus Hasto, amnesti yang diberikan tanpa transparansi publik atau alasan rekonsiliasi nasional menjadi anomali dalam sistem hukum. Demikian pula dengan penghapusan proses hukum terhadap Tom Lembong melalui abolisi, padahal indikasi pelanggaran serius telah ditemukan oleh auditor lintas negara. Relasi Pancasila-hukum menjadi tumpul ketika keputusan hukum tidak mencerminkan nilai etik, partisipasi rakyat, dan keberpihakan terhadap keadilan substantif.
Pancasila sebagai Landasan Filosofis Penegakan Hukum
Pancasila mengandung prinsip keadilan yang hidup: bukan sekadar aturan prosedural, melainkan ekspresi dari kesadaran etis bangsa. Sila I dan II menekankan penghormatan terhadap martabat manusia dan hak-hak dasar. Sila III menyatukan seluruh elemen bangsa dalam kesetaraan hukum. Sila IV menuntut partisipasi rakyat dalam proses legislasi dan yudikatif. Sila V menuntut keberpihakan terhadap kelompok rentan dan redistribusi keadilan.
Namun, jika kita melihat pemberian abolisi kepada Tom Lembong tanpa proses pengadilan terbuka, kita melihat kemunduran terhadap prinsip keadilan transaksional dan distributif yang dianut oleh Sila V. Apalagi, tidak ada transparansi mekanisme assessment risiko kerugian negara atau kerusakan sistemik terhadap kepercayaan publik. Hal ini memperlihatkan pengingkaran terhadap nilai-nilai dasar Pancasila sebagai philosophische grondslag sistem hukum nasional.
Struktur Normatif dan Hierarki Hukum Pancasila
Dalam struktur hukum Indonesia, Pancasila menempati posisi sebagai sumber dari segala sumber hukum (Tap MPR No. XX/MPRS/1966). Artinya, setiap produk hukum maupun tindakan hukum harus mengandung semangat Pancasila. Penafsiran konstitusional juga menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib mempertimbangkan nilai Pancasila dalam uji materi.
Namun, realitas membuktikan bahwa banyak keputusan hukum bersifat teknokratis atau politis semata, bukan berdasarkan moral etik Pancasila. Hal ini tampak dari selektivitas pemberian keistimewaan hukum kepada elite, padahal TAP MPR, UUD 1945, dan yurisprudensi MK mengamanatkan keadilan sebagai asas utama. Proses-proses seperti clemency, abolisi, atau amnesti seharusnya memiliki standar etik yang transparan dan taat konstitusi, bukan hanya pertimbangan kekuasaan.
Studi Kasus: Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong
Hasto Kristiyanto, dalam penyidikan kasus korupsi yang melibatkan intervensi dalam penyidikan (obstruction of justice), diberi amnesti oleh Presiden dengan dalih stabilitas politik pasca Pemilu 2024. Namun langkah ini menuai kritik karena tidak didahului musyawarah DPR yang sehat dan minim partisipasi publik. Dalam perspektif Sila IV dan V, tindakan ini mencederai kepercayaan rakyat dan memberi kesan bahwa hukum tunduk pada kompromi kekuasaan.
Sementara itu, Thomas Lembong, seorang politikus, bankir, ekonom Indonesia dan Menteri Perdagangan RI tahun 2015-2016. Sejak 27 Juli 2016 hingga 23 Oktober 2019, beliau menjabat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dilaporkan terlibat dalam kasus dugaan korupsi dalam kasus korupsi impor gula. Namun alih-alih menjalani proses pengadilan, ia mendapatkan abolisi dengan alasan kontribusi terhadap diplomasi digital nasional. Tidak ada transparansi publik terkait hasil audit BPK, tidak ada klarifikasi dari KPK, dan tidak ada keterbukaan proses pengambilan keputusan abolisi. Ini melanggar prinsip Sila II dan V: ketidaksetaraan dalam perlakuan hukum dan hilangnya keadilan substantif. Kedua kasus ini menunjukkan bahwa prinsip equality before the law dalam sistem hukum Indonesia masih menghadapi tantangan struktural.
Dampak Degradasi Etik terhadap Legitimasi Hukum
Ketika nilai-nilai Pancasila diabaikan, hukum kehilangan legitimasi sosial. Masyarakat tidak hanya kehilangan kepercayaan, tetapi juga menjadi sinis terhadap proses hukum. Hal ini berdampak pada naiknya politik identitas, perpecahan sosial, serta delegitimasi lembaga-lembaga negara. Jika ketidaksetaraan dalam penegakan hukum terus dibiarkan, hukum hanya akan menjadi formalitas prosedural yang tidak memiliki kekuatan moral.
Sebaliknya, ketika nilai Pancasila dihidupkan, hukum tidak hanya menciptakan ketertiban tetapi juga memberikan rasa keadilan. Ini terbukti dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang mengacu pada keadilan sosial dalam membatalkan regulasi diskriminatif, serta advokasi masyarakat adat yang mulai memperoleh pengakuan legal.
Strategi Penguatan Sinergi Pancasila dan Hukum
Untuk menyelamatkan hukum dari jebakan formalisme elitis, dibutuhkan transformasi nilai. Beberapa strategi kunci:
1. Pendidikan hukum berbasis Pancasila wajib diterapkan dalam kurikulum nasional fakultas hukum.
2. Setiap produk legislasi wajib melalui Pancasila Impact Assessment untuk mengukur keberpihakan sosial dan keberlanjutan moral.
3. Pembentukan lembaga etik independen untuk meninjau pemberian abolisi dan amnesti.
4. Penguatan mekanisme partisipatif publik dalam pengambilan keputusan hukum berskala nasional.
5. Pelibatan masyarakat sipil dan media sebagai pengawas hukum berbasis nilai Pancasila.
Dengan strategi ini, hukum tidak hanya kuat secara formal, tetapi juga bermartabat secara substansial.
Delapan puluh tahun kemerdekaan Indonesia harus menjadi momentum introspeksi atas praktik hukum yang sering kali menjauh dari nilai-nilai Pancasila. Kasus Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong menjadi cermin kegagalan internalisasi nilai-nilai keadilan dalam praktik hukum nasional. Tanpa komitmen etik yang kuat terhadap sila-sila Pancasila, hukum Indonesia akan terus dipertanyakan legitimasinya.
Pancasila harus kembali ditegakkan bukan sekadar sebagai dokumen simbolik, tetapi sebagai
soul of the law, jiwa dari seluruh sistem hukum Indonesia. Hanya dengan itu, hukum dapat berfungsi sebagai alat pembebas, bukan penindas; sebagai pelindung rakyat, bukan pelayan elite.
*Penulis adalah Purnawirawan TNI AL, pemerhati hukum dan kebangsaan