Berita

Kawasan transmigrasi/Ist

Publika

Transmigrasi 2.0: A Green Strategy for a Changing World

MINGGU, 15 JUNI 2025 | 14:36 WIB | OLEH: R. MUHAMMAD ZULKIPLI*

“The greatest shortcoming of the human race is our inability to understand the exponential function.”
- Albert A. Bartlett

DULU, transmigrasi adalah mimpi. Mimpi untuk memindahkan manusia, membuka tanah, dan membangun peradaban. Dalam narasi besar pembangunan nasional, ia hadir sebagai jawaban atas ketimpangan wilayah dan ledakan penduduk. Namun mimpi itu -- seperti halnya banyak mimpi pembangunan lain -- tidak kebal dari tantangan zaman.

Hari ini, transmigrasi dihadapkan pada tantangan baru: bukan sekadar soal relokasi, tapi bagaimana menjadi bagian dari solusi atas krisis iklim, ketimpangan ekologi, dan ketidakadilan spasial yang lebih dalam. Di sinilah konsep “transmigrasi hijau” menemukan relevansinya.

Hari ini, transmigrasi dihadapkan pada tantangan baru: bukan sekadar soal relokasi, tapi bagaimana menjadi bagian dari solusi atas krisis iklim, ketimpangan ekologi, dan ketidakadilan spasial yang lebih dalam. Di sinilah konsep “transmigrasi hijau” menemukan relevansinya.

Saya percaya, transmigrasi bisa menjadi laboratorium pembangunan berkelanjutan -- jika kita berani memaknai ulang tujuan dan pendekatannya. Kita tidak lagi bicara soal pemukiman yang sekadar fungsional, tapi ekosistem yang resilien, hidup berdampingan dengan alam, dan menjadi model ekonomi hijau lokal.

Sebagai bagian dari masyarakat yang ikut mendorong percepatan kawasan transmigrasi sebagai kawasan ekonomi baru di era Presiden Prabowo Subianto, saya melihat bahwa saatnya transmigrasi menjadi panggung untuk strategi hijau Indonesia. Bukan hanya karena idealisme, tapi karena rasionalitas ekonomi dan geopolitik menuntutnya.

Wilayah-wilayah transmigrasi menyimpan potensi energi terbarukan, pangan berkelanjutan, dan bioekonomi berbasis komunitas. Tapi potensi itu tak akan jadi kekuatan kalau masih terjebak pada pendekatan lama yang menyepelekan daya dukung tanah, air, dan ruang hidup lokal.

Saya pernah menyimak paparan dari rekan-rekan akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) di salah satu calon kawasan transmigrasi. Yang paling menarik adalah rencana detail yang disampaikan oleh Dr. Aceng Hidayat, Dekan Sekolah Vokasi ITB. 

Menurut saya, gagasan tersebut berpotensi mentransformasi Kawasan Ekonomi Transmigrasi Terpadu (KETT) menjadi tidak sekadar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, tetapi juga kawasan yang berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan iklim yang tengah kita hadapi.

Kolaborasi strategis seperti yang sedang dirintis antara IPB dan Kementerian Transmigrasi dalam Program Transmigrasi Patriot juga menjadi harapan baru. Tak hanya dalam aspek riset dan inovasi, tetapi juga dalam menumbuhkan semangat baru bagi generasi muda untuk mengabdi dan membangun dari pinggiran negeri. (Lihat: pasca.ipb.ac.id, ipb.ac.id/news, transmigrasi.go.id)

Dalam banyak perjalanan ke kawasan transmigrasi, saya menyaksikan langsung: bahwa masyarakat lokal dan transmigran sebenarnya siap. Yang mereka butuhkan hanyalah arah, keyakinan, dan kebijakan yang berpihak pada kelestarian. Di sinilah tanggung jawab negara dan kita semua diuji.

Transmigrasi hijau bukan hanya soal konservasi. Ia juga membuka jalan bagi lahirnya produk-produk premium dan organik yang akan diburu oleh pasar global, terutama kalangan menengah atas yang kini semakin sadar akan pola hidup sehat dan keberlanjutan. 

Komoditas tropis seperti cokelat, bawang, dan rempah-rempah yang ditanam di kawasan transmigrasi Sulawesi dan kawasan timur lainnya, bisa diproses dengan standar pecinta makanan sehat (healthy food) dunia.

Lebih dari itu, Indonesia berpotensi melahirkan produk daging setara Kobe dan Wagyu dari hewan-hewan endemik seperti kerbau rawa dan sapi lokal yang dipelihara secara alami di kawasan transmigrasi. 

Dengan pendekatan ini, Kawasan Transmigrasi akan menjadi sentra produksi komoditas hijau yang bukan hanya memberi nilai ekonomi tinggi, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia di mata dunia.

Inilah wajah baru diplomasi kita: soft power Indonesia yang tumbuh dari tanah dan semangat gotong royong. Ketika dunia mencari pangan sehat, ramah iklim, dan adil social -- jawaban itu bisa lahir dari kawasan transmigrasi.

Dan mungkin, transmigrasi hijau bukan sekadar program teknokratik, tetapi tindakan politik yang mempertemukan keadilan sosial dengan keberlanjutan ekologis. Inilah strategi baru: memindahkan manusia untuk memulihkan bumi.

Karena itu, sudah sepatutnya kita mengamini dan meneladani apa yang pernah disampaikan dalam forum dunia oleh salah satu putra terbaik bangsa:

“Green development is not a cost. It is an investment in peace, stability, and future prosperity.”
- Dr. Agus Harimurti Yudhoyono (World Water Forum 2024, Bali)



Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya