Berita

Ilustrasi/AI

Publika

Politik “Kayyum” Ala Turki

JUMAT, 18 APRIL 2025 | 08:03 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

MARI kita tengok sejenak ke Turki, negeri yang mungkin terasa jauh secara geografis, tapi begitu dekat dalam ikatan kesejarahan dengan kita. Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Turki pekan lalu memperkokoh hubungan kedua negara yang telah lama terjalin sejak era Kekhalifahan Utsmaniyah.

Ketika Turki “bersin”, sebagian dari kita ikut merasa pilek --begitulah kedekatannya. Maka ketika gelombang demonstrasi besar-besaran mengguncang berbagai kota di Turki, kita bertanya: ada apa gerangan? Apalagi penyebabnya “hanya” pencopotan seorang wali kota dengan tuduhan terorisme.

Di sinilah kita berkenalan dengan konsep kayyum atau qayyum, sebuah istilah yang dalam hukum sipil Turki semula digunakan untuk menunjuk wali atas aset orang yang meninggal atau hilang. Namun di tangan pemerintahan Recep Tayyip Erdo?an, kayyum menjelma menjadi alat politik yang efektif.


Kini, ia menjadi mekanisme legal yang memungkinkan pemerintah mencopot walikota yang tidak sejalan, lalu menggantikannya dengan pejabat yang loyal kepada rezim. Sejak 2016, lebih dari 150 walikota hasil pemilu dicopot dengan tuduhan samar terkait terorisme, dan digantikan oleh kayyum yang ditunjuk langsung pemerintah pusat.

Ada yang menyebut ini demokrasi ala sulap. Seorang walikota bisa lenyap seketika, digantikan oleh kayyum --walikota bayangan yang diturunkan dari langit kekuasaan pusat. Kalau ini bukan sihir, maka setidaknya ini seni politik tingkat tinggi --sebuah inovasi dalam pengelolaan hasil pemilu yang mungkin layak dipatenkan.

Fenomena kayyum bukan sekadar anomali, melainkan bagian dari strategi bertahan hidup rezim. Seperti pemain catur yang sadar akan skakmat, langkah darurat pun diambil: papan diputar, pion lawan disingkirkan, dan permainan berlanjut seolah tak terjadi apa-apa --karena hanya satu pihak yang boleh menang.

Padahal kayyum dulunya hanyalah mekanisme hukum untuk mengurus aset orang yang telah tiada atau perusahaan bermasalah. Tapi sejak 2016, fungsinya meluas. Pemerintah, dengan dalih memerangi terorisme, mulai mengganti walikota yang tak sehaluan dengan pusat.

Pendukung kebijakan ini berargumen bahwa langkah ini demi stabilitas nasional. Logikanya sederhana: jika demokrasi melahirkan pemimpin yang salah, maka lebih baik tidak mengambil risiko. Di satu sisi, pemilu tetap digelar. Di sisi lain, hasilnya bisa dianulir kapan saja.

Kebijakan ini menciptakan struktur kekuasaan yang makin sentralistik dan sulit disentuh. Walikota yang dicopot sering kali bahkan tak diberi kesempatan membela diri. Mereka langsung digantikan oleh kayyum yang, kebetulan, lebih ramah terhadap garis kebijakan pemerintah pusat.

Namun keberadaan kayyum bukan hanya soal politik, tapi juga ekonomi. Dengan menempatkan orang kepercayaan di posisi strategis, rezim bisa memperluas jaringan patronase, memastikan proyek-proyek jatuh ke tangan yang “benar”, dan tentu saja, menjaga roda ekonomi-politik tetap berputar.

Yang menarik, semua ini dilakukan tanpa membatalkan pemilu. Rakyat tetap datang ke TPS, mencoblos, dan berharap suara mereka dihitung jujur. Tapi, seperti pemain kasino yang terus kalah, mereka akhirnya sadar: pusatlah yang selalu menang.

Lambat laun, harapan terhadap demokrasi memudar. Mereka hanya punya tiga pilihan: tetap setia pada oposisi meski tahu hasilnya bisa dianulir, berhenti memilih sama sekali, atau berpindah haluan demi kenyamanan hidup.

Pertanyaannya kini: bagaimana masa depan demokrasi Turki dalam sistem seperti ini? Akankah rakyat terus bermain dalam permainan dengan aturan yang berubah-ubah? Ataukah mereka akan menemukan cara baru untuk menuntut hak mereka?

Sejarah mengajarkan, demokrasi tak bisa dibungkam selamanya -- cepat atau lambat, suara rakyat akan menemukan jalannya kembali. Namun untuk saat ini, demokrasi di Turki tampaknya masih berlangsung, meskipun pengendali kayyum yang memegang kunci alarmnya.

*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al Quran





Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya