Berita

Julius Ibrani/Net

Publika

Reformasi Lembaga Hukum dan Militer Bukan dengan Menambah Kewenangan

OLEH: JULIUS IBRANI*
MINGGU, 09 FEBRUARI 2025 | 01:42 WIB

WORLD Justice Project (WJP) meletakkan Indonesia pada urutan ke-68 untuk Indeks Rule of Law tahun 2024. Urutan ini menurun 2 poin dari tahun 2023 yang ada di urutan 66 atau mengalami penurunan 0,53 poin.

Laporan ini menunjukkan, dari 8 dimensi Rule of Law, 6 di antaranya mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, termasuk pada dimensi criminal justice.

Situasi ini tentu tidak luput dari kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini. Ragam kasus yang terjadi selama ini menunjukkan kecenderungan yang kuat bagaimana lembaga penegak hukum seharusnya memperbaiki dan mengevaluasi diri untuk memberikan keadilan kepada masyarakat.

Pada akhir 2024, publik Indonesia dikejutkan dengan kejadian terbongkarnya kasus penimbunan uang dan harta senilai hampir Rp1 triliun oleh seorang mantan pejabat di Mahkamah Agung, Zarof Ricar.

Dua bulan sebelum itu, peristiwa OTT terjadi kepada 3 orang hakim yang menyidangkan Ronald Tanur di Pengadilan Negeri Surabaya. Di saat yang sama, Pemerintah Indonesia menaikkan gaji hakim yang katanya tidak berubah sejak beberapa tahun terakhir.  

Sebelumnya, Kejaksaan Agung juga dihebohkan dengan kasus korupsi yang melibatkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Kasus Jaksa Pinangki ini menjadi salah satu contoh nyata penyalahgunaan wewenang di Indonesia. Pinangki terbukti menerima suap sebesar 500 ribu Dolar AS, atau setara dengan Rp 8,1 miliar dari Djoko Tjandra, buronan kasus korupsi Bank Bali, sebagai imbalan untuk mengatur kepulangannya ke Indonesia dan mengurus fatwa bebas di Mahkamah Agung. Kasus ini jelas telah mencoreng integritas Kejaksaan Agung sebagai lembaga penegak hukum.

Terkait lembaga Kepolisian, ramai belakangan ini adalah kasus pemerasan penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) di JIExpo Kemayoran.

Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri kemudian menahan 18 anggota polisi yang diduga terlibat dalam kasus pemerasan tersebut, termasuk pejabat dari Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, dan Polsek Metro Kemayoran. Kasus ini jelas merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang oleh anggota kepolisian.

Lain halnya dengan ketiga lembaga penegak hukum yang disebutkan di atas, institusi TNI yang bukan sebagai lembaga penegak hukum, juga sempat mendapat sorotan tajam dari publik, yaitu terkait dengan kasus korupsi Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas).

Kasus ini menjadi heboh lantaran penetapan tersangka oleh KPK terhadap Kepala Basarnas yang tertangkap tangan tengah menerima suap, dianulir oleh KPK setelah sejumlah perwira TNI menyambangi gedung anti rasuah tersebut. Salah seorang pimpinan KPK bahkan sempat meminta maaf karena telah menetapkan prajurit TNI aktif tersebut sebagai tersangka karena lupa berkoordinasi dengan institusi TNI.

Alih-alih melakukan pembenahan dengan memperkuat pengawasan, lembaga-lembaga tersebut di atas justru terlihat tengah berlomba-lomba untuk menambah kewenangannya. Hal ini dapat dilihat melalui sejumlah draft RUU yang sudah dibahas oleh DPR pada periode lalu dan ditunda pengesahannya maupun RUU yang diusulkan untuk dibahas dalam periode legislasi 2025-2029. Di antaranya adalah draft RUU Polri, RUU TNI, dan RUU Kejaksaan.

Draft RUU Polri sejatinya mendapatkan kritik tajam dalam pembahasan oleh DPR periode sebelumnya bersama dengan draft RUU TNI karena mengandung beberapa pasal yang kontroversial. Dalam draft RUU Polri yang ditolak pada periode legislasi sebelumnya juga bermaksud menambah kewenangan lembaga tersebut, yaitu kewenangan melakukan pemblokiran terhadap konten digital yang dianggap membahayakan kepentingan nasional.

Kewenangan dan tugas ini sebenarnya telah ada di kementerian terkait (Kominfo), dan dilakukan ketika ada keputusan hukum atau permintaan penyidik bahwa sebuah situs telah melanggar hukum.

Dalam draft RUU TNI yang beredar tahun lalu, terdapat usulan pasal yang memperluas kewenangan TNI menjadi lembaga penegak hukum.

Pasal 8 huruf b dalam DIM RUU tersebut menyebutkan “Angkatan Darat bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional”.

Hal ini tidak hanya bertentangan dengan Konstitusi dan raison d'etre TNI, tetapi dapat merusak sistem penegakan hukum (criminal justice system) di Indonesia. Draft RUU TNI itu juga ingin memperluas jabatan sipil yang dapat diduduki oleh anggota militer aktif.

Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan dalam draft tersebut justru memundurkan kembali agenda reformasi TNI dan mengembalikan Dwifungsi ABRI.

Di sisi yang lain, DPR juga memasukkan revisi UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI ke dalam Prolegnas 2025, dengan salah satu alasannya untuk menindaklanjuti Putusan MK Nomor 20/PUU-XXI/2023 yang menganulir kewenangan Kejaksaan untuk mengajukan PK.

Bila mengacu pada RUU yang beredar saat ini, revisi tersebut justru diarahkan untuk memperluas kewenangan Kejaksaan dan sekaligus juga tumpang tindih dengan kewenangan instansi lainnya, serta berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Salah satu yang sangat riskan, RUU Kejaksaan memperkuat imunitas jaksa yang dijustifikasi UU dengan dalih perlindungan kepada jaksa.

Situasi-situasi sebagaimana disebutkan di atas, tentu seharusnya menjadi perhatian DPR dan para pengambil kebijakan. Harus diakui bahwa situasi penegakan hukum saat ini perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan.

Namun, pertanyaannya di tengah kondisi yang demikian apakah pantas lembaga-lembaga tersebut meminta penambahan atau perluasan kewenangan?

Lembaga penegak hukum maupun militer dengan kewenangan yang ada sekarang saja sudah berulang kali menyalahgunakan kewenangannya sehingga terjadi praktik korupsi, kekerasan dan penyimpangan lainnya. Apalagi jika ditambah kewenangan-kewenangan lagi dalam RUU yang mereka ajukan (RUU Polri, RUU Kejaksaan, RUU TNI) maka akan menjadi jadi potensial penyalahgunaan kewenangannya.

Apalagi jika mereka disalahgunakan oleh rezim yang berkuasa untuk mempertahankan rezim yang berkuasa maupun untuk kepentingan pemenangan politik dalam pemilu, maka penambahan kewenangan itu dalam beragam RUU yang ada hanya akan menambah kerusakan penegakkan hukum dan demokrasi di Indonesia. Yang kita butuhkan saat ini adalah membangun akuntabilitas dan transparansi (good governance) dengan salah satu cara memperkuat lembaga lembaga independen yang ada untuk mengawasi mereka.

Selama ini lembaga independen yang ada (Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPK, dan lainnya) hanya memiliki kewenangan terbatas, sehingga fungsi pengawasan tidak efektif dan akuntabilitas publik lemah.

Kami menilai, para pengambil kebijakan selayaknya melakukan refleksi atas carut-marut penegakan hukum di Indonesia. Para pengambil kebijakan, seperti pemerintah dan DPR RI seharusnya memperkuat semaksimal mungkin lembaga-lembaga pengawas yang telah tersedia, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM, Komnas Perempuan. Justru sangat salah dan keliru jika saat ini lembaga-lembaga inti (TNI, Polri, Kejaksaan), difasilitasi untuk berlomba memperluas kewenangan.

Atas dasar hal tersebut di atas, kami mendesak agar reformasi sistem penegakan hukum ini dapat diarahkan pada dua hal, yaitu:

Pertama, mengevaluasi sistem pengawasan internal bagi masing-masing lembaga penegak hukum. Pengawasan internal masing-masing lembaga penegak hukum ini dinilai masih cenderung melakukan praktik impunitas atas nama esprit de corps lembaga masing-masing. Pengawasan internal yang lemah tentunya cenderung melonggarkan praktik jahat atau pelanggaran dilakukan oleh masing-masing oknum anggota penegak hukum.

Kedua, memperkuat pengawasan eksternal terhadap masing-masing lembaga penegak hukum, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM, Komnas Perempuan untuk dapat mengawasi, memproses, dan melakukan penindakan bagi para penegak hukum menyalahi kode etik atau melakukan pelanggaran.

Perlu dipastikan bahwa lembaga pengawas external ini dapat bekerja secara efektif yang dilengkapi dengan kewenangan yang memadai dan sumberdaya yang cukup.

Kami memandang bahwa Pemerintah dan DPR seharusnya memperkuat sistem pengawasan yang telah ada saat ini untuk menjadi fokus pembenahan penegakan hukum di Indonesia, baik pengawasan internal maupun eksternal. Pemerintah dan DPR seharusnya memperkuat Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian RI, KPK, Komnas HAM , Komnas Perempuan untuk membantu memastikan penegakan hukum menjadi lebih baik dibandingkan lembaga penegak hukum dan militer berlomba-lomba memperluas kewenangan.

Reformasi penegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan membangun akuntabilitas dengan memperkuat lembaga pengawas independen. Kami mendesak pada DPR dan pemerintah untuk menghentikan dan menolak pembahasan RUU Polri, RUU Kejaksaan dan RUU TNI.

*Penulis adalah Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI)

Populer

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Jokowi Kena Karma Mengolok-olok SBY-Hambalang

Jumat, 07 Februari 2025 | 16:45

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Alfiansyah Komeng Harus Dipecat

Jumat, 07 Februari 2025 | 18:05

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

Pengamat: Bahlil Sengaja Bikin Skenario agar Rakyat Benci Prabowo

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:20

UPDATE

Dirjen Anggaran Kemenkeu Jadi Tersangka, Kejagung Didesak Periksa Tan Kian

Sabtu, 08 Februari 2025 | 21:31

Kawal Kesejahteraan Rakyat, AHY Pede Demokrat Bangkit di 2029

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:55

Rocky Gerung: Bahlil Bisa Bikin Kabinet Prabowo Pecah

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:53

Era Jokowi Meninggalkan Warisan Utang dan Persoalan Hukum

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:01

Tepis Dasco, Bahlil Klaim Satu Frame dengan Prabowo soal LPG 3 Kg

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:50

Dominus Litis Revisi UU Kejaksaan, Bisa Rugikan Hak Korban dan tersangka

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:28

Tarik Tunai Pakai EDC BCA Resmi Kena Biaya Admin Rp4 Ribu

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:16

Ekspor Perdana, Pertamina Bawa UMKM Tempe Sukabumi Mendunia

Sabtu, 08 Februari 2025 | 18:41

TNI AL Bersama Tim Gabungan Temukan Jenazah Jurnalis Sahril Helmi

Sabtu, 08 Februari 2025 | 18:22

Penasehat Hukum Ungkap Dugaan KPK Langgar Hukum di Balik Status Tersangka Sekjen PDIP

Sabtu, 08 Februari 2025 | 17:42

Selengkapnya