Berita

Ilustrasi/Ist

Publika

Perubahan Tatib DPR, Ancaman Demokrasi dan Krisis Konstitusional

Oleh: Noor Azhari*
KAMIS, 06 FEBRUARI 2025 | 12:33 WIB

MEMPERHATIKAN perkembangan situasi politik akhir-akhir ini, kita dibuat tercengang dengan adanya perubahan mendadak Tata Tertib (Tatib) DPR yang menuai kontroversi yang dapat dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap parlemen. Perubahan Tatib tersebut dinilai melanggar prinsip hukum, konstitusi, dan etika legislatif. Selain menunjukkan lemahnya tata kelola pemerintahan, tindakan tersebut juga berpotensi merusak kredibilitas lembaga legislatif di mata publik. Pada perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, situasi seperti ini pernah berujung pada dikeluarkannya dekrit pembubaran parlemen.

Perubahan Tata Tertib DPR yang memberi kewenangan lebih besar kepada lembaga legislatif untuk mengevaluasi pejabat publik yang proses penetapannya melalui fit and proper test di DPR menjadi pemicu utama polemik ini. Sebab, pada perubahan Tatib ini, DPR dapat memiliki kewenangan mengganti Panglima TNI, Kapolri, pimpinan KPK bahkan Hakim MK dan semua pejabat negara yang penetapannya melalui proses fit and proper test di DPR. Selain itu, ketergesaan dalam mengubah aturan tanpa konsultasi publik yang memadai menunjukkan adanya upaya pembenaran atas tindakan yang sebelumnya melanggar tata tertib. Tidak hanya menciptakan preseden buruk, hal ini juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai tujuan dan motivasi di balik perubahannya. 

Pada konteks teori hukum, situasi ini dapat dilihat dari perspektif teori Pemisahan Kekuasaan oleh Montesquieu, yang menekankan pentingnya menjaga independensi setiap cabang kekuasaan. DPR yang seolah mengambil alih peran eksekutif dengan kewenangan tambahan tersebut jelas bertentangan dengan prinsip ini. Selain itu, teori Negara Hukum (Rechtsstaat) yang menjadi landasan Indonesia mengharuskan bahwa segala kebijakan pemerintah harus sesuai dengan hukum dan konstitusi, bukan demi kepentingan politik jangka pendek.


Dasar hukum yang terabaikan dalam perubahan Tata Tertib DPR ini antara lain Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip di atas mengharuskan segala peraturan yang dibuat oleh lembaga negara harus sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan hierarki peraturan yang harus diikuti, di mana tata tertib lembaga negara tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.

Pendapat Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Profesor Palguna bahkan menyatakan bahwa perubahan Tata Tertib DPR secara tergesa-gesa berpotensi melanggar prinsip pemisahan kekuasaan serta merusak tatanan hukum nasional. Jika tidak segera dikoreksi, hal ini dapat menciptakan instabilitas politik yang serius.

Sejarah pernah mencatat bahwa ketegangan antara eksekutif dan legislatif dapat berujung pada krisis konstitusional yang membahayakan keberlanjutan pemerintahan. Dekrit pembubaran parlemen pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Pada 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk membubarkan Konstituante setelah terjadi kebuntuan politik yang berkepanjangan. 

Situasi serupa kembali terjadi pada 2001, ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeluarkan dekrit untuk membubarkan DPR dan memberlakukan keadaan darurat. Langkah tersebut justru berakhir pada jatuhnya pemerintahan Gus Dur akibat perlawanan politik yang kuat.

Melihat perkembangan saat ini, muncul kekhawatiran apakah Indonesia akan kembali terjebak dalam siklus sejarah yang sama?. Perubahan aturan yang dilakukan demi membenarkan tindakan sebelumnya bisa dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap konstitusi. Jika tindakan seperti ini dibiarkan, bukan tidak mungkin krisis politik akan kembali mengancam stabilitas pemerintahan dan perekonomian nasional.

Pertanyaannya, apakah Wakil Ketua DPR yang memimpin rapat dalam penetapan Tatib DPR kontroversi tersebut yang bergelar Profesor Hukum dengan peran yang sangat dominan di pemerintahan saat ini telah menemukan teori baru dalam hukum tata negara sehingga merasa berhak mengubah Tata Tertib secara sepihak? Atau, langkah ini merupakan bentuk kepentingan politik yang mengorbankan supremasi hukum demi tujuan tertentu? Bagaimanapun, langkah ini harus ditelaah secara serius oleh lembaga pengawas konstitusi untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran yang merusak prinsip negara hukum.

Jika dibiarkan berlarut-larut, situasi ini bisa memicu eskalasi politik yang lebih besar. Rakyat tentu tidak ingin demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah selama lebih dari dua dekade Reformasi kembali hancur akibat ulah segelintir elit politik. Selain itu, biaya politik yang telah dikeluarkan melalui proses pemilu yang demokratis akan menjadi sia-sia jika krisis politik kembali mengancam keberlangsungan pemerintahan.

Para anggota DPR, dari fraksi manapun anda dipilih, ingat anda berada dan duduk di parlemen Senayan, sebabnya atas pilihan dan kepercayaan rakyat Indonesia. Sehingga, dengan jelas anggota DPR harus segera mengembalikan kepercayaan publik dengan bersikap transparan dan berpedoman pada konstitusi. 

Perubahan Tata Tertib seharusnya tidak dilakukan secara tergesa-gesa, apalagi untuk mengamankan kepentingan tertentu. Supremasi hukum harus dijaga sebagai pilar utama demokrasi agar sejarah kelam dekrit pembubaran parlemen tidak lagi terulang di masa depan.

*Penulis adalah Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI)

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya