APARAT keamanan dari negeri yang digembar-gemborkan sebagai land of freedom ternyata saat ini begitu paranoid terhadap segala label muslim. Bukan cuma wajah kearab-araban yang dicurigai sebagai calon teroris, melainkan tampilan busana pun bisa memantik curiga. Itu dampak sejak peristiwa 9/11 di New York lebih dari dua dekade silam. Perilaku Islamofobia merebak di negeri berjuluk bumi kebebasan itu.
Masa remaja seorang muslim menjadi tak nyaman. Sorot mata penuh curiga dari warga tak ramah selalu tertuju pada perempuan berhijab atau pria berwajah non-Kaukasoid berjenggot. Puncak kecurigaan adalah tuduhan dan penangkapan tanpa alasan dan bukti. Aparat hanya ingin memenuhi hasrat mempersekusi sampai mengkriminalisasi. Seperti peristiwa seorang siswa bernama Ahmed Mohamed di sebuah sekolah di Irving, Texas.
Mohamed harus berurusan dengan aparat setempat usai seorang guru melaporkannya karena Mohamed membawa jam digital buatannya ke dalam kelas. Sang guru paranoid mengira jam digital itu perangkat bom, lalu dilaporkanlah Mohamed ke polisi. Begitu tiba di lokasi, polisi langsung memborgol Mohamed dan membawanya ke rumah tahanan remaja. Menurut penulis buku ini, respons aparat tak proporsional dan berlebihan.
Aparat atau pihak sekolah tidak akan melakukan langkah itu jika yang membawa jam digital buatan tersebut adalah remaja kulit putih. Perlakuan rasial, diskriminatif, dan mempersekusi itu hanya berdasar kecurigaan tanpa bukti. Begitupula, perlakuan aparat bandara di AS yang kerap curiga hanya berdasar identitas agama. Jika di kartu identitas tertulis Islam atau muslim, maka bagi aparat, itu sudah indikasi teroris. Bagi aparat, ini perkara ideologi.
Menurut teoritisi budaya, Stuart Hall, saat bukti-bukti reaksi sekaligus ancaman dari aparat begitu nyata, maka itulah saat terjadinya perpindahan ideologis. Dari ideologi kebebasan menjadi ideologi kepanikan. Negara yang berwujud aparat panik tingkat dewa. Semua warga gampang dituduh, dipojokkan bahkan dipersekusi.
Tak ada lagi kebebasan warga. Tak ada lagi ruang pembuktian. Yang ada hanyalah kebebasan aparat yang melibas warga atas nama ideologi kepanikan. Bagi aparat, perilaku warga menjadi sumber ancaman utama.
Dalam konteks AS, sumber ancaman utama itu adalah remaja muslim. Kondisi panik aparat dampak dari serangan teroris di masa lalu telah mendorong aparat dan sebagian besar warga kulit putih berimajinasi. Bahwa serangan teroris berikutnya bakal muncul dari remaja muslim. Oleh karena itu, remaja muslim harus diawasi, wajib dicurigai, bahkan dipersekusi lalu dijebloskan ke penjara remaja. Situasi ini berlangsung bertahun-tahun sejak usai 9/11 bahkan memuncak pada masa kepresidenan Trump.
Shenila Khoja-Moolji, penulis buku ini, Gurubesar Sosiologi Universitas Georgetown, AS. Ia melakukan observasi mendalam terhadap berbagai peristiwa tragis yang dialami remaja muslim, sang tertuduh calon teroris. Ia menyebut aparat sedang mengubah remaja tertuduh menjadi proto-teroris. Proses konstruksi menjadi proto-teroris ini, tegas Khooja-Moolji, adalah proses rasialisasi. Remaja muslim dicap sebagai najis atau ancaman sekaligus aparat benar-benar mengabaikan prasangka tak bersalah.
Untuk memperkuat argumennya, Shenila Khoja-Moolji merujuk ke tesis Gilles Deleuze dan Felix Guattari, juga pada Miriam Ticktin, Antropolog The City University of New York (CUNY). Miriam Ticktin berpendapat bahwa politik imajinasi ketidakbersalahan (
innocence) bisa terlihat dari pencarian ''ruang kemurnian''. Sedangkan Tesis Deleuze dan Guattari menyebut bahwa ras merupakan nama lain dari ketidakmurnian yang sengaja dimunculkan oleh sebuah sistem dominasi.
Dengan dua kerangka teoritik itu, Shenila Khoja-Moolji kemudian menjabarkan, bahwa rasialisasi terhadap muslim di AS memang sengaja ditujukan kepada para remaja muslim. Setelah aparat melabeli seorang remaja muslim sebagai proto-teroris, maka label itu melekat sepanjang hayat sang remaja. Label ini kian menguat seiring dengan pembingkaian (
framing) budaya yang berlangsung di AS saat ini.
Framing remaja muslim laki-laki sebagai proto-teroris secara politis dimanfaatkan sedemikian rupa oleh oknum elit politik AS. Bukan saja bertujuan memojokkan warga muslim AS, melainkan juga framing itu berguna untuk menjustifikasi kenaikan anggaran keamanan dan militer, terutama untuk memberi alasan bahwa situasi domestik butuh kenaikan anggaran pengawasan.
Akhirulkalam, sebutan proto-teroris ini sesungguhnya sempat menguat juga di Indonesia. Oknum-oknum elite politik dari partai politik tertentu yang memandang ormas-ormas muslim tertentu di Indonesia berkecenderungan radikal beberapa tahun silam lalu menuding para anggota ormas tersebut sebagai ''proto-teroris''.
Tujuan pelabelan ini juga di antaranya untuk menaikkan anggaran keamanan dan pengawasan serta biaya buzzers untuk menakut-nakuti warga agar jangan coba-coba kritis kepada pemerintah.
Penulis adalah akademisi dan periset