Anggota Komisi IV DPR Fraksi Golkar, Robert Joppy Kardinal/Ist
Transparansi atas alokasi pembagian dana Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) terhadap PT. GAG Nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya (PBD) menuai sorotan.
Anggota Komisi IV DPR Robert Joppy Kardinal menerima banyak aduan yang masuk dari masyarakat sekitar tambang yang merasa Program CSR perusahaan yang berlokasi di Pulau Gag ini, tidak memberi dampak signifikan kepada kehidupan masyarakat Papua Barat Daya.
“Soal keterbukaan tentang dana CSR ini harus dibuka transparan. Karena patut diduga, alokasi dan penggunaan dana CSR ini tidak sesuai fakta di lapangan,” kata Robert di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu, 5 Februari 2025.
RK akrab disapa mengingatkan, setiap perusahaan wajib menyisihkan dana perusahaannya untuk program tanggung jawab sosial. Besaran dana CSR adalah minimal 2 sampai 4 persen dari total keuntungan yang diperoleh dalam setahun.
Besarnya anggaran dana CSR tersebut sesuai Peraturan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 47 tahun 2012 tentang TJSL.
“Setiap daerah juga mengeluarkan aturan seberapa besar dana CSR yang harus dikeluarkan, namun tidak melebihi 4 persen,” tegasnya.
Politikus Golkar itu mempertanyakan komitmen komitmen PT GAG Nikel dalam membangun ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas masyarakat dan lingkungan yang bermanfaat, sebagaimana diatur dalam UU PT. Sebab berdasar laporan yang diterimanya dari masyarakat Raja Ampat, PT GAG Nikel tidak melibatkan banyak tenaga kerja lokal sebagai karyawannya.
Padahal PT.GAG Nikel mengekspos bahwa 70 persen karyawannya orang asli. Tapi kenyataannya, tidak sesuai dengan realita yang disampaikan PT.GAG Nikel.
”Kontraktor yang dilibatkan juga kurang melibatkan pengusaha lokal Raja Ampat. Laporan masyarakat Raja Ampat kontraktor yang dipakai PT. GAG Nikel kebanyakan berasal dari luar Papua. Untuk itu, saya minta PT.GAG Nikel harus transparansi berupa keuntungan perusahaan pertambangan tahunannya,” imbuhnya.
Dalam kesempatan itu, RK juga mempertanyakan kebijakan PT GAG Nikel dalam memberdayakan masyarakat lokal dan kontribusi perusahaan tersebut di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan.
Dia pun mengingatkan kewajiban perusahaan tambang mengembangkan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat sekitar sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Migas.
“Jadi kami mendesak pihak perusahaan menyampaikan secara transparan dan terbuka kepada publik,” tuturnya.
Politikus asal Papua itu juga mempersoalkan kebijakan PT. GAG Nikel yang sampai saat ini belum membayarkan kewajiban pajak alat berat kepada Pemprov Papua Barat Daya. Termasuk soal pengelolaan lingkungan yang ditengarai telah mencemari lingkungan.
Dan terakhir, dia meminta agar PT. GAG Nikel lebih perhatian lagi kepada isu-isu lingkungan. Sebab apapun itu, dampak penambangan sudah tentu akan merusak lingkungan, tidak hanya hutan, tetapi juga laut.
“Dengan RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) nikel mencapai 3 juta ton per tahun, tidak ada jaminan terhadap perbaikan lingkungan sehingga bukan hutan saja yang rusak, lautnya pun akan rusak,” bebernya.
Sebagai tindak lanjut atas keluhan masyarakat Papua, RK memastikan akan sesegera mungkin melakukan pemantauan atas operasi kerja perusahaan yang bergerak di bidang usaha pertambangan nikel di Pulau Gag ini.
“Sebagai anggota Komisi IV DPR yang bermitra dengan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, akan melakukan peninjauan langsung ke lapangan bersama dengan pihak kementerian dan terkait lainnya,” pungkasnya.