Senat Pakistan telah menyetujui amandemen kontroversial terhadap Undang-Undang Pencegahan Kejahatan Elektronik (PECA), sebuah langkah yang semakin memperketat kendali negara atas kebebasan berbicara dan kebebasan pers.
Keputusan ini telah memicu protes luas di berbagai kota besar, dengan jurnalis, aktivis, dan masyarakat sipil bersatu menentang aturan yang mereka anggap sebagai ancaman terhadap hak-hak digital dan demokrasi.
Amandemen undang-undang memperkenalkan hukuman berat, termasuk hukuman penjara hingga tiga tahun dan denda hingga 2 juta rupee Pakistan bagi mereka yang dianggap menyebarkan informasi palsu.
Namun, menurut Presiden Serikat Jurnalis Federal Pakistan (PFUJ), Afzal Butt, definisi informasi palsu dalam undang-undang ini sangat samar, yang menurut para kritikus dapat digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara.
“Undang-undang ini bukan tentang menangani misinformasi; ini tentang mengendalikan informasi yang tidak sejalan dengan narasi resmi,” kata dia, seperti dikutip dari
Geopolitico pada Rabu, 5 Februari 2025.
“Pemerintah telah membungkus tindakan ini sebagai perlindungan terhadap berita palsu, tetapi kenyataannya, ini adalah upaya terang-terangan untuk membungkam pers dan menakut-nakuti jurnalis," kata dia lagi.
Selain itu, pembentukan Badan Investigasi Kejahatan Siber Nasional (NCCIA) dan Otoritas Perlindungan dan Regulasi Media Sosial (SMPRA) semakin memperluas wewenang negara dalam mengawasi dan menyensor konten digital.
Otoritas ini memiliki kekuasaan untuk memblokir konten yang dianggap melanggar hukum atau bertentangan dengan ideologi Pakistan.
“Apa yang kita lihat adalah pergeseran cepat menuju negara penuh pembatasan. Ketika pemerintah memiliki kekuasaan mutlak untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh diungkapkan secara daring, kita kehilangan kebebasan mendasar yang seharusnya dijamin dalam demokrasi," tegasnya.
Penerapan aturan ini terjadi di tengah peringkat Pakistan yang terus memburuk dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia.
Saat ini, negara tersebut berada di peringkat ke-152 dari 180 negara dalam kebebasan pers. Langkah ini semakin menguatkan kekhawatiran komunitas internasional bahwa Pakistan sedang bergerak ke arah otoritarianisme digital.
Dalam protes yang berlangsung di Islamabad, Karachi, dan Lahore pada 31 Januari lalu, jurnalis membawa simbol perlawanan mereka—mengenakan borgol dan rantai—sebagai representasi dari bagaimana kebijakan baru ini mengancam kebebasan pers.
“Ini adalah serangan langsung terhadap hak-hak fundamental kita,” ujar seorang jurnalis senior yang meminta namanya disamarkan.
Serikat Jurnalis Federal Pakistan berjanji untuk meningkatkan protes dan menempuh jalur hukum guna menentang amandemen ini.
Sementara itu, masyarakat sipil dan kelompok hak asasi manusia menyerukan tekanan internasional untuk menuntut reformasi yang menjamin kebebasan berekspresi di Pakistan.