Berita

Prof Eddy O.S. Hiariej/Ist

Hukum

Pakar UGM: Perlu Reformasi Hukum Acara Pidana Demi Perlindungan HAM dan Transparansi Proses Hukum

KAMIS, 23 JANUARI 2025 | 22:20 WIB | LAPORAN: DIKI TRIANTO

Pakar Hukum Universitas Gajahmada (UGM) Prof Eddy O.S. Hiariej menyoroti beberapa aspek penting terkait reformasi hukum acara pidana di Indonesia. Menurutnya, perlindungan hak asasi manusia menjadi hal penting dalam hukum acara pidana.

"Filosofi utama hukum acara pidana harus berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia dan menghindari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum (APH)," ujar Prof Eddy O.S. Hiariej dalam webinar pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), Kamis, 23 Januari 2025.

Menurut Prof Eddy, hukum acara pidana harus bersifat keresmian dengan pengaturan yang ketat. Ia juga menegaskan pentingnya tiga prinsip utama yang harus dijunjung tinggi dalam KUHAP.

Pertama tertulis, sehingga aturan hukum tidak multitafsir, kedua jelas, agar tidak menimbulkan kebingungan dalam penerapan.

"Dan ketiga tidak dapat diinterpretasikan selain dari yang tertulis, demi menghindari kerugian bagi pelapor, terlapor, saksi, tersangka, terdakwa, hingga narapidana," tuturnya.

Ia juga menyoroti perlunya perubahan paradigma dari Crime Control Model yang mengedepankan asas praduga bersalah, untuk menuju Due Process Model yang lebih melindungi hak asasi manusia.

Di luar itu, Prof Eddy mendukung adanya diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana. Dalam hal ini memposisikan polri sebagai penyidik utama.

Selain Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bertindak sebagai penyidik pendukung dan peran jaksa sebagai penuntut umum sekaligus eksekutor dalam penelusuran dan perampasan aset.

Ia juga menekankan pentingnya keberadaan advokat sejak tahap penyelidikan. Hal ini bertujuan untuk memastikan pengawasan yang lebih baik dalam proses hukum.

Penguatan peran advokat juga diperluas dalam konteks praperadilan guna melindungi kepentingan saksi, tersangka, terdakwa, hingga narapidana.

Pengawasan terhadap perolehan barang bukti menjadi poin kritis yang disorot oleh Prof Eddy. Menurutnya, pengumpulan barang bukti harus dilakukan secara transparan dan dapat diawasi oleh pihak-pihak terkait.

Selain itu, ia mengusulkan adanya dua jenis putusan tambahan di pengadilan, yakni putusan pemaafan hakim, untuk kasus yang layak mendapatkan pertimbangan khusus dan putusan tindakan, terkait dengan keadilan restoratif (restorative justice).

Namun, ia menekankan bahwa keputusan terkait restorative justice harus melalui proses penetapan hakim dan terregistrasi, baik oleh polisi, jaksa, maupun hakim.

Sementara dalam pembahasan soal Mahkamah Agung (MA), Prof Eddy menyampaikan kritik terhadap kemungkinan putusan MA yang lebih berat dibandingkan putusan pengadilan sebelumnya.

"Putusan MA tidak boleh lebih berat dari putusan sidang pembuktian sebelumnya, kecuali dalam kondisi tertentu," tegasnya.

Ia juga menyoroti soal peninjauan kembali (PK), yang menurutnya harus diperketat. PK adalah upaya luar biasa, bukan sebagai peradilan tingkat empat'.

Selain juga mengingatkan pentingnya asas hukum pidana yang memberikan kepastian hukum.

"Proses pidana harus ada akhirnya," ujarnya.

Sebagai penutup, Prof Eddy menekankan peran lembaga pemasyarakatan (lapas) sebagai akhir dari rantai sistem peradilan pidana.

Pihaknya berharap reformasi RKUHAP dapat menguatkan peran lapas, sehingga tidak hanya menjadi tempat penahanan, tetapi juga berfungsi sebagai tempat pembinaan dan reintegrasi sosial.

Sekedar diketahui, webinar digelar untuk memberikan pandangan mendalam tentang kebutuhan mendesak akan reformasi hukum acara pidana di Indonesia.

Dengan berbagai masukan dari para ahli seperti Prof. Eddy O.S. Hiariej, diharapkan RKUHAP yang baru mampu menghadirkan sistem hukum yang lebih adil, manusiawi, dan akuntabel.

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Buntut Pungli ke WN China, Menteri Imipas Copot Pejabat Imigrasi di Bandara Soetta

Sabtu, 01 Februari 2025 | 19:25

Aero India 2025 Siap Digelar, Ajang Unjuk Prestasi Dirgantara

Sabtu, 01 Februari 2025 | 19:17

Heboh Rupiah Rp8.100 per Dolar AS, BI Buka Suara

Sabtu, 01 Februari 2025 | 19:13

Asas Dominus Litis, Hati-hati Bisa Disalahgunakan

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:35

Harga CPO Menguat Nyaris 2 Persen Selama Sepekan

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:18

Pramono: Saya Penganut Monogami Tulen

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:10

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Vihara Amurva Bhumi Menang Kasasi, Menhut: Kado Terbaik Imlek dari Negara

Sabtu, 01 Februari 2025 | 17:45

Komisi VI Sepakati RUU BUMN Dibawa ke Paripurna

Sabtu, 01 Februari 2025 | 17:11

Eddy Soeparno Gandeng FPCI Dukung Diplomasi Iklim Presiden Prabowo

Sabtu, 01 Februari 2025 | 16:40

Selengkapnya