Berita

Ilustrasi pembatalan presidential threshold/Ist

Publika

Selamat Tinggal Ambang Batas 20 Persen!

KAMIS, 02 JANUARI 2025 | 17:00 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

INILAH kado tahun baru 2025 bagi bangsa Indonesia. Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya ambang batas 20 persen untuk pencalonan presiden dihentikan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang dibacakan hari ini, Kamis 2 Januari 2025. 

Keputusan yang mengguncang dunia politik ini disambut beragam reaksi, mulai dari tepuk tangan meriah, hingga decak kagum —dan tentu saja, gumaman skeptis dari sudut ruang rapat partai-partai besar. Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo terkait perkara 62/PUU-XXI/2023, di Gedung MK, Jakarta Pusat. 

MK mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut. Bayangkan, tidak ada lagi partai kecil yang harus menjual "gengsi" demi tiket koalisi. Tidak ada lagi drama membangun koalisi demi angka ajaib 20%. Semua partai kini bisa mengajukan calon presiden, bahkan partai yang dulu hanya menjadi "penggembira" di arena demokrasi.

Selama dua dekade terakhir, ambang batas 20 persen telah menjadi momok demokrasi. Diklaim untuk menyederhanakan politik, nyatanya ambang batas ini lebih efektif menyederhanakan pilihan rakyat—hingga seringkali hanya dua opsi tersisa: "kotak merah" atau "kotak biru." Tidak heran, Pilpres lebih sering menyerupai final liga sepak bola daripada pesta demokrasi.

Sebagai perbandingan, banyak negara lain tidak mengenal konsep presidential threshold setinggi ini. Di Amerika Serikat, siapa saja yang berhasil memenuhi syarat administratif dan dukungan akar rumput dapat mencalonkan diri.

Di Prancis, calon presiden hanya butuh dukungan 500 pejabat publik dari total 47.000 untuk maju. Di Indonesia? Anda perlu menguasai 20 persen kursi DPR. Sebuah sistem demokrasi yang eksklusif, tapi atas nama rakyat, tentu saja.

Putusan MK ini adalah jawaban atas kritik lama terhadap efek ambang batas yang mematikan kompetisi dan menciptakan polarisasi. Dengan hanya dua pasangan calon yang bersaing, masyarakat terbelah dalam kubu-kubu sengit yang tak jarang melampaui logika rasional. Bahkan, polarisasi ini terus berlanjut hingga ke dapur keluarga, mengubah perdebatan nasi goreng vs bubur menjadi debat "kandidat A vs kandidat B."

MK menyebutkan bahwa mempertahankan ambang batas berpotensi melahirkan calon tunggal di Pilpres, skenario yang lebih menakutkan dibandingkan polarisasi. Tentu, memilih antara satu pasangan calon dan "kotak kosong" adalah level demokrasi yang hanya dimimpikan oleh otoritarianisme terselubung.

Namun, mari kita berhenti sejenak dari perayaan. Putusan ini membuka pintu bagi semua partai peserta pemilu untuk mengajukan pasangan calon. Dalam teori, ini berarti rakyat dapat memilih dari banyak kandidat. Tetapi dalam praktiknya?

Apa jadinya jika 30 partai politik mengusung 30 pasangan calon? Kita mungkin harus menyiapkan mental untuk debat kandidat marathon yang berlangsung hingga subuh.

Selain itu, sanksi bagi partai yang tidak mengusung calon presiden juga menjadi sorotan. MK menyarankan kepada DPR dan pemerintah dalam merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 untuk memasukkan klausul ini. Apakah ini upaya halus untuk memastikan partai-partai serius berkompetisi, atau sekadar mekanisme untuk memaksa mereka "bermain di lapangan"? Waktu yang akan menjawab.

Langkah MK ini adalah momen monumental dalam sejarah demokrasi Indonesia, tetapi sekaligus membawa tantangan besar. Jika tidak diatur dengan baik, demokrasi tanpa ambang batas bisa berubah menjadi "festival demokrasi liar," di mana rakyat kebingungan memilih di tengah banjir janji kampanye.

Namun, di balik segala kritik, satu hal pasti: kita sedang menyaksikan babak baru dalam politik Indonesia. Mungkin, kado tahun baru ini adalah awal dari demokrasi yang lebih inklusif dan kompetitif. Atau, seperti yang biasa terjadi, kita hanya mengganti satu masalah dengan masalah baru yang lebih kreatif.

Selamat datang di 2025! Tahun di mana "20 persen" tidak lagi menjadi angka keramat dalam demokrasi kita.

Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Melalui Rembug Ngopeni Ngelakoni, Luthfi-Yasin Siap Bangun Jateng

Minggu, 02 Februari 2025 | 05:21

PCNU Bandar Lampung Didorong Jadi Panutan Daerah Lain

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:58

Jawa Timur Berstatus Darurat PMK

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:30

Dituding Korupsi, Kuwu Wanasaba Kidul Didemo Ratusan Warga

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:58

Pelantikan Gubernur Lampung Diundur, Rahmat Mirzani Djausal: Tidak Masalah

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:31

Ketua Gerindra Banjarnegara Laporkan Akun TikTok LPKSM

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:57

Isi Garasi Raffi Ahmad Tembus Rp55 Miliar, Koleksi Menteri Terkaya jadi Biasa Saja

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:39

Ahli Kesehatan Minta Pemerintah Dukung Penelitian Produk Tembakau Alternatif

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:18

Heboh Penahanan Ijazah, BMPS Minta Pemerintah Alokasikan Anggaran Khusus Sekolah Swasta

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:58

Kecewa Bekas Bupati Probolinggo Dituntut Ringan, LIRA Jatim: Ada Apa dengan Ketua KPK yang Baru?

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:42

Selengkapnya