Dua raksasa perusahaan sumber daya alam asal Australia, BHP Group dan Rio Tinto, kini tengah menghadapi gugatan hukum terkait pelecehan seksual.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen mereka untuk mempromosikan keberagaman dan meningkatkan keterlibatan perempuan di perusahaan.
Joshua Aylward, pengacara yang mewakili para penggugat, menyatakan bahwa banyak korban akan bergabung dalam gugatan ini untuk mengungkapkan kenyataan tentang pelecehan seksual yang sistematis yang telah terjadi di kedua perusahaan tersebut selama dua dekade terakhir, sebagaimana dilaporkan oleh ABC Australia.
ABC melaporkan bahwa salah satu korban mengatakan seorang rekan kerja laki-laki mengirimkan pesan tidak senonoh, foto, dan video. Seorang perempuan lain mengatakan seorang rekan kerja melontarkan komentar yang menghina secara seksual kepadanya.
Menurut para perempuan itu, ketika mereka melaporkan pelecehan tersebut, mereka tidak mendapatkan bantuan profesional, dan dalam beberapa kasus bahkan diberhentikan.
Gugatan itu diajukan oleh perempuan yang bekerja di pertambangan dan tempat lain yang dioperasikan oleh BHP dan Rio Tinto. Kedua perusahaan menerima gugatan class action tersebut pada akhir Desember.
Lokasi pertambangan merupakan tempat kerja yang keras dan didominasi oleh laki-laki, dengan suhu melebihi 40 derajat Celcius di musim panas. Di BHP, 37,1 persen karyawannya adalah perempuan, naik dari 24,5 persen pada tahun 2019.
Ini bukan pertama kalinya BHP dan Rio Tinto menghadapi tuntutan pelecehan seksual.
Pada tahun 2021, BHP mengungkapkan bahwa 73 kasus pelecehan seksual telah dilaporkan dalam dua tahun hingga akhir Juni tahun itu, dan 48 orang dipecat atau dihukum dengan cara lain. Perusahaan mengumumkan rencana untuk menginvestasikan 300 juta dolar Australia (sekitar Rp3 triliun) untuk mempromosikan langkah-langkah keselamatan di tempat kerja.
Hingga saat ini, perusahaan telah menginvestasikan 500 juta Dolar AS untuk langkah-langkah seperti menambah personel keamanan dan kamera di perumahan karyawan di Australia.
Sementara Rio Tinto mengatakan dalam survei budaya perusahaan tahun 2022 bahwa 28,2 persen karyawan perempuan dan 6,7 persen karyawan laki-laki telah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Rudapaksa dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya dilaporkan oleh 21 perempuan.
Korban pelecehan seksual sering kali takut bahwa jika mereka berbicara, mereka akan dirugikan di tempat kerja atau menjadi sasaran rumor yang tidak diinginkan. Beberapa memilih untuk tidak melaporkan insiden sebagai akibatnya, yang berkontribusi pada trauma psikologis yang mendalam.
Pengacara para wanita tersebut mengatakan BHP dan Rio Tinto menggunakan perjanjian kerahasiaan untuk mencegah para korban berbicara di tempat kerja, menurut laporan Reuters. Kedua perusahaan membantah hal ini.
“Pelecehan seksual tidak memiliki tempat di tempat kerja kami atau di mana pun,” kata juru bicara BHP kepada Nikkei.
“Kami menanggapi semua laporan dengan serius dan mengambil tindakan disiplin yang tegas, termasuk pemutusan hubungan kerja, jika kami menemukan perilaku yang tidak pantas telah terjadi," ujarnya.
Rio Tinto mengatakan tidak menoleransi segala bentuk pelecehan seksual atau pelecehan berbasis seks, seraya menambahkan bahwa mereka menanggapi semua masalah tentang keselamatan di tempat kerja dengan sangat serius.