Menteri Luar Negeri RI, Sugiono selama gelaran rapat Komisi I DPR RI, di Jakarta, hari Senin, 2 Desember 2024/Repro
Isu penafsiran terhadap joint development yang disepakati Presiden RI, Prabowo Subianto dan Presiden Tiongkok, Xi Jinping bulan lalu kembali mencuat dalam rapat Komisi I DPR RI pada Senin, 2 Desember 2024.
Sejumlah anggota Komisi I kembali mempertanyakan posisi Indonesia setelah penandatanganan joint statement untuk bekerja sama dengan Tiongkok di wilayah klaim tumpang tindih atau overlapping claims.
Beberapa pengamat hukum internasional menilai
joint development tersebut berbahaya karena berarti Indonesia telah mengakui memiliki sengketa wilayah dengan Tiongkok. Begitu juga dengan klaim sembilan garis putus-putus Beijing yang memasukkan Natuna dalam klaimnya.
Padahal sebelumnya Indonesia tidak pernah mengaku memiliki
overlapping claims dengan Tiongkok, apalagi mengaku klaim nine dash line di Laut China Selatan.
Menteri Luar Negeri RI, Sugiono yang hadir secara langsung dalam rapat tersebut menjelaskan bahwa kesepakatan joint development yang tertulis pada
joint statement Prabowo dan Xi tidak menyebutkan sedikitpun tentang klaim
nine dash line."Kita tidak menyebutkan kita mengakui apapun. Teksnya itu seperti itu, tidak ada persepsi lebih dari itu kenapa karena memang belum ditentukan kerja samanya," tegas Menlu.
Sugiono memastikan bahwa kepentingan dan kedaulatan Indonesia merupakan yang paling diutamakan saat bekerja sama dengan negara lain.
Oleh sebab itu, saat membuat joint statement dengan Tiongkok, pemerintah RI akan berpegang pada prinsip-prinsip saling menghormati dan sesuai dengan aturan hukum internasional.
"Komitmen Indonesia pada semua perjanjian internasional yang ada itu tetap berlaku, kemudian ratifikasi dan implementasi perjanjian bilateral yang ada juga masih tetap berlaku kemudian Indonesia secara konsisten tetap memegang UNCLOS," kata dia.