Berita

Ilustrasi dermawan (AI/AT)

Publika

Kita Bangsa Dermawan

JUMAT, 29 NOVEMBER 2024 | 06:12 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

BAYANGKAN sebuah negeri di mana beramal adalah aktivitas sehari-hari yang hampir setara dengan menyeruput kopi pagi. Ya, selamat datang di Indonesia! Negeri ini, menurut World Giving Index (WGI) 2024, dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia untuk ketujuh kalinya secara berturut-turut. 

Dengan skor 74, sembilan dari sepuluh warganya rutin menyisihkan uang untuk amal, dan enam dari sepuluh rela mengorbankan waktu mereka demi membantu orang lain. Dengan skor 74, Indonesia berada di puncak, diikuti Kenya (63), dan Singapura (61). Negara 10 besar lainnya: Gambia, Nigeria, Amerika Serikat, Ukraina, Australia, Uni Emirat Arab (UAE), dan Malta.

Sebaliknya, Polandia menempati posisi terakhir, selain Jepang dan Kamboja. Peningkatan terbesar dicatat oleh Maroko, di mana donasi naik 800% akibat gempa bumi pada 2023. Sementara itu, Azerbaijan mengalami penurunan terburuk, jatuh 65 peringkat ke posisi 119. Secara keseluruhan, skor rata-rata dunia 40, menunjukkan semangat memberi tetap hidup di berbagai negara.

World Giving Index (WGI) disusun oleh Charities Aid Foundation (CAF) melalui survei global yang menanyakan tiga tindakan utama: menyumbang uang, menjadi sukarelawan, dan membantu orang lain dalam sebulan terakhir. Data dikumpulkan dari 145.000 responden di 142 negara melalui wawancara langsung atau telepon, dan skor 0-100 dihitung dengan mengambil rata-rata persentase jawaban positif. 

Dan, itulah fakta wajah kita, bangsa dermawan terbesar di dunia. Tapi, tunggu dulu. Apakah gelar ini benar-benar menggambarkan cinta kasih, ataukah sekadar cerminan bagaimana kita berkompetisi soal “siapa yang lebih dermawan?” Di era modern ini, aplikasi  seperti Gopay, OVO, ShopeePay, seluruh bank, menyediakan dompet digital bersedekah dengan satu klik. Jangan lupa, Baznas atau Dompet Dhuafa telah memelopori gerakan zakat dan infak, mengisi ruang layar ponsel kita.

Pertanyaan abadi, apakah kedermawanan ini sifat bawaan atau hasil pembentukan lingkungan? Dalam budaya yang sarat dengan nilai gotong-royong, wajar jika membantu sesama dianggap sebagai bagian dari identitas kolektif bangsa Indonesia. Namun, beberapa skeptis mungkin mengatakan, ini lebih tentang "pencitraan sosial" di masyarakat di mana pujian dari tetangga lebih penting dari keikhlasan.

Selain itu, pendidikan agama di Indonesia memainkan peran besar. Dari usia dini, anak-anak diajarkan tentang zakat, infak, sedekah, dan bagaimana “harta di dunia hanyalah titipan.” Dengan begitu banyak pengingat bahwa berbuat baik akan membuka jalan ke surga, siapa yang bisa menolak dorongan untuk bersedekah?

Namun, lingkungan juga memainkan peran besar. Bencana alam seperti gempa bumi, banjir, dan gunung meletus secara tragis telah menjadi “guru” empati bagi kita. Seringkali, momen-momen inilah yang memicu ledakan kedermawanan. Ambil contoh, lonjakan sumbangan di Maroko setelah gempa pada 2023, yang meningkat 800%. Begitu pula di Indonesia, di mana budaya spontanitas memberi bantuan telah menjadi ritual nasional.

Di zaman serba digital, bahkan kedermawanan pun ikut terotomatisasi. Lewat aplikasi keuangan, beramal kini semudah memesan pizza. Tapi di balik kemudahan ini, muncul harapan semoga ini benar-benar dorongan hati, bukan sekadar efek dari notifikasi. Kita sadar, dalam sistem di mana berderma hanya satu klik, perlu terus diingatkan bahwa Tuhan menghitung amal bukan berdasar banyaknya uang derma, tapi nilai ketakwaan dan keikhlasan.

Kita mungkin bangga, di satu sisi, skor tinggi Indonesia di indeks kedermawanan menunjukkan bagaimana semangat gotong-royong masih hidup di tengah tekanan modernitas. Di sisi lain, kita juga mugkin sedih, fakta ini juga menjadi cermin yang menggambarkan ketimpangan sosial yang masih merajalela.

Bayangkan, di negara yang dikenal sebagai “paling dermawan,” masih ada puluhan juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Apakah gelar ini menunjukkan keberhasilan kolektif, atau justru menyoroti kegagalan sistemik? Jika kita begitu dermawan, mengapa ketimpangan masih menjadi momok?

Kedermawanan seharusnya tidak hanya menjadi aktivitas individu, tetapi juga strategi kolektif. Selain membantu sesama, kita perlu mendorong kebijakan yang lebih inklusif dari negara, memastikan bahwa kesejahteraan bukan sekadar soal derma, tetapi hak asasi. Hingga saat itu tiba, mungkin kita harus terus berderma -tentu karena hati yang tulus, bukan hanya karena notifikasi yang mengingatkan.

Jadi, selamat kepada Indonesia atas gelarnya. Semoga kita terus menjadi dermawan, bukan hanya karena kita mampu, tetapi karena kita ikhlas untuk peduli memberi dan membantu sesama, dengan atau tanpa notifikasi.

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

Legislator PKS Soroti Deindustrialisasi Jadi Mimpi Buruk Industri

Rabu, 20 November 2024 | 13:30

UPDATE

Jokowi Tak Serius Dukung RK-Suswono

Jumat, 29 November 2024 | 08:08

Ferdian Dwi Purwoko Tetap jadi Kesatria

Jumat, 29 November 2024 | 06:52

Pergantian Manajer Bikin Kantong Man United Terkuras Rp430 Miliar

Jumat, 29 November 2024 | 06:36

Perolehan Suara Tak Sesuai Harapan, Andika-Hendi: Kami Mohon Maaf

Jumat, 29 November 2024 | 06:18

Kita Bangsa Dermawan

Jumat, 29 November 2024 | 06:12

Pemerintah Beri Sinyal Lanjutkan Subsidi, Harga EV Diprediksi Tetap Kompetitif

Jumat, 29 November 2024 | 05:59

PDIP Akan Gugat Hasil Pilgub Banten, Tim Andra Soni: Enggak Masalah

Jumat, 29 November 2024 | 05:46

Sejumlah Petahana Tumbang di Pilkada Lampung, Pengamat: Masyarakat Ingin Perubahan

Jumat, 29 November 2024 | 05:31

Tim Hukum Mualem-Dek Fadh Tak Gentar dengan Gugatan Paslon 01

Jumat, 29 November 2024 | 05:15

Partisipasi Pemilih Hanya 55 Persen, KPU Kota Bekasi Dinilai Gagal

Jumat, 29 November 2024 | 04:56

Selengkapnya