Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat/Ist
RENCANA Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 mengundang kritik tajam, terutama dari kalangan pengusaha dan masyarakat kelas menengah.
Kebijakan ini, meskipun bertujuan untuk memperbaiki penerimaan negara, justru berpotensi menciptakan dampak negatif yang luas bagi perekonomian.
Beban Baru bagi Kelas Menengah dan Pekerja dengan Gaji UMRKelas menengah dan pekerja dengan pendapatan setara UMR adalah kelompok yang paling terdampak.
Dengan tarif PPN yang lebih tinggi, hampir semua barang dan jasa akan mengalami kenaikan harga, termasuk kebutuhan pokok.
Dalam situasi ini, daya beli kelompok ini akan tergerus, memaksa mereka untuk mengurangi konsumsi barang-barang penting. Ketika daya beli menurun, konsumsi domestik—kontributor terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia—akan ikut melemah.
Peningkatan biaya hidup akan semakin terasa berat karena pendapatan kelas menengah tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan.
Dalam banyak kasus, gaji UMR bahkan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Tambahan beban dari kenaikan PPN ini akan menciptakan tekanan psikologis dan ekonomi yang besar bagi masyarakat.
Risiko Inflasi dan Dampaknya pada EkonomiKenaikan tarif PPN hampir pasti memicu inflasi, yang merupakan ancaman besar bagi stabilitas ekonomi. Inflasi yang tinggi tidak hanya merugikan masyarakat tetapi juga sektor usaha kecil dan menengah (UKM).
Dengan biaya produksi dan operasional yang meningkat akibat kenaikan PPN, UKM harus memilih antara menaikkan harga produk mereka atau mengorbankan margin keuntungan.
Kedua pilihan ini dapat memengaruhi keberlanjutan usaha mereka dan berujung pada potensi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Lebih jauh lagi, inflasi yang dipicu oleh kenaikan PPN juga bisa menghambat investasi. Investor mungkin ragu untuk menanamkan modalnya di pasar yang kurang stabil, mengingat daya beli yang menurun dan prospek ekonomi yang melambat.
Kebijakan Tidak Tepat SasaranSalah satu alasan utama kenaikan PPN adalah untuk meningkatkan penerimaan negara. Namun, argumen ini patut dipertanyakan.
Alih-alih membebankan masyarakat dengan pajak yang lebih tinggi, pemerintah seharusnya berfokus pada memperluas basis pajak dan memperbaiki efisiensi penerimaan pajak.
Masih banyak potensi penerimaan pajak yang belum digarap secara optimal, terutama dari sektor-sektor ekonomi besar yang selama ini belum terjangkau secara maksimal.
Selain itu, pemerintah perlu mengevaluasi pengeluaran negara yang tidak produktif.
Penggunaan anggaran untuk proyek-proyek mercusuar yang kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat seharusnya dikurangi. Reformasi fiskal yang fokus pada efisiensi anggaran akan lebih efektif daripada sekadar menaikkan pajak.
Menghancurkan Kepercayaan MasyarakatKebijakan ini juga berisiko menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, masyarakat berharap pemerintah hadir dengan solusi yang memudahkan kehidupan mereka, bukan justru membebani dengan tambahan pajak.
Ketidakpuasan ini dapat memunculkan resistensi sosial yang lebih besar, sebagaimana terlihat dari banyaknya penolakan yang sudah bermunculan.
Rekomendasi: Cari Alternatif KebijakanSebagai alternatif, pemerintah dapat mempertimbangkan langkah berikut:
Pertama, memperluas basis pajak. Fokus pada sektor ekonomi informal dan digital yang masih banyak belum terjangkau pajak.
Kedua, efisiensi belanja negara, yakni dengan mengurangi pengeluaran untuk proyek-proyek tidak prioritas.
Ketiga, kebijakan pajak progresif. Bebankan pajak lebih besar pada golongan ekonomi atas, bukan membebani seluruh masyarakat secara merata.
Kenaikan PPN menjadi 12 persen adalah kebijakan yang tidak bijak di tengah kondisi ekonomi yang sedang berusaha pulih.
Pemerintah perlu mencari solusi yang lebih inovatif dan adil untuk memperbaiki keuangan negara tanpa menekan masyarakat kelas menengah, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Jangan sampai kebijakan ini justru menjadi bumerang yang melemahkan daya saing ekonomi Indonesia di masa depan.
Penulis adalah Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta