LOKASI pengembangan proyek strategis nasional berupa swasembada pangan seluas 1 hingga 2 juta hektare dan swasembada bioenergi seluas 1 juta hektare di Pulau Papua, maupun pengerahan ribuan personel TNI Polri yang bertugas dengan keahlian pembangunan pertanian dalam arti luas, ternyata terkesan mendapat resistensi dari Dewan Gereja Papua, green peace, Walhi, sebagian pemangku kepentingan tanah ulayat dan tanah adat, maupun mahasiswa demonstran yang menolak program transmigrasi. Istilah mereka adalah Papua bukanlah tanah kosong.
Seperti biasanya yang mereka sampaikan adalah, Papua memerlukan tenaga kesehatan dan dokter, maupun guru secara sepihak, namun menolak transmigrasi. Menolak kegiatan transmigrasi, sekalipun program transmigrasi yang lama sudah mereka terima sejak bergabung dengan NKRI.
Mereka terkesan menolak proyek strategis nasional, yang menggunakan kekuatan Perusahaan swasta oligarki konglomerasi dan pengerahan TNI Polri untuk membuka jutaan hektar hutan untuk pembangunan lumbung pangan dan lumbung bioenergi besar-besaran, modern, secara singkat untuk perealisasian program kerja dalam 3-4 tahun saja ke depan.
Mereka meyakini bahwa Papua adalah sumber paru-paru dunia yang terakhir. Surga di dunia. Implikasinya adalah setiap pembukaan hutan untuk dijadikan proyek strategis nasional sebagai upaya swasembada pangan padi sawah, maupun swasembada bioenergi singkong, tebu, dan kelapa sawit, itu mereka anggap sebagai perusakan alam, kekayaan sumber daya alam hayati, dan biodiversity.
Merusak lumbung pangan masyarakat lokal sebagai penghasil makanan sagu, ubi, air bersih, babi hutan, dan sumber pangan maupun obat-obatan untuk penduduk lokal bagaikan hypermarket gratis.
Ini adalah soal persaingan antara kegiatan lumbung pangan lokal, yang berbeda kepentingan dengan lumbung pangan nasional, bahkan terhadap konsep lumbung pangan dunia menurut sudut pandang kepentingan Kabinet Merah Putih.
Kesan kegagalan lumbung pangan di Merauke tempo dulu, maupun lahan gambut sejuta hektar dan belum berhasilnya perealisasi pengembangan lumbung pangan di Kalimantan dan Sumatera pada tahap awal tahun-tahun pendahuluan maa proyek telah semakin menguatkan resistensi mereka.
Dampak negatif panen yang masih gagal, terjadinya banjir-banjir dan kekeringan di lingkungan terdekat pada pengembangan tahun awal-awal lumbung pangan terkesan telah menjadi mimpi buruk yang menakutkan mereka. Pesimisme berkembang. Lumbung pangan dan lumbung energi yang memperburuk perubahan iklim, jika gagal.
Mereka merasa bahwa Papua hanya senantiasa diambil sumberdaya alam saja, namun terasa dijajah tanpa kegiatan pemberdayaan. Itu, walaupun sebenarnya Papua telah dibangun menggunakan model pembangunan otonomi khusus.
Sebenarnya banyak sekali pelajar dan mahasiswa bukan hanya dapat belajar dan kuliah di Papua, juga di berbagai kota-kota pusat pengembangan pendidikan lainnya di Indonesia, maupun di luar negeri atas bantuan dan beasiswa dari pemerintah pusat.
Banyak sekali putra-putra pribumi Papua menjabat di pemerintahan dan berbagai organisasi tanpa dikecualikan, termasuk bekerja di TNI Polri, maupun menjabat di pemerintahan pusat sebagai Menteri.
Banyak sekali pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada Pulau Papua, sebagaimana pembangunan yang dipraktekkan di provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, seperti jalan, jalan tol, jembatan, sekolah dan lain sebagainya.
Data realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Papua Barat pada seluruh pemerintah kabupaten/kota sebesar Rp614,92 miliar, sedangkan pendapatan transfer pemerintah pusat sebesar Rp12,61 triliun pada tahun 2021. Demikian pula untuk provinsi Papua mempunyai PAD sebesar Rp1,95 triliun da pendapatan transfer pemerintah pusat sebesar Rp34,02 triliun tahun 2021.
Artinya, dari perimbangan keuangan, yang terjadi bukanlah Papua dijajah oleh pemerintah pusat, melainkan transfer keuangan dari pemerintah pusat amat sangat jauh lebih banyak diberikan kepada pemerintah daerah di semua kabupaten/kota dalam Provinsi Papua Barat dan Papua.
Pemerintah pusat-lah yang sesungguhnya sangat mencintai pembangunan di Papua dan Papua Barat, sekalipun pemerintah pusat dicap keras sebagai penjajah yang opinikan terkesan bertindak bengis dan kejam, pelanggar HAM, pelanggar HAM berat, maupun mengeruk segala sumber daya alam dari Pulau Papua.
Pasal 33 dalam UUD 1945 Amandemen satu naskah mengatakan bahwa pada ayat (3) menyebutkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Di sinilah letak pangkal persoalan perbedaan yang bersifat paling mendasar, sehingga mereka menolak program proyek strategis nasional untuk swasembada pangan dan energi di Papua, karena para pemangku kepentingan tanah hak ulayat dan tanah adat setempat meyakini bahwa mereka yang lahir di bumi Papua adalah para pemilik dan penguasa tunggal atas sumberdaya alam, sedangkan UUD menyatakan dikuasai oleh negara.
Atas perbedaan-perbedaan tersebut, seringkali yang dipersoalkan adalah partisipasi kepemilikan dan penguasaan tanah berikut sumberdaya alam pada masyarakat lokal sejak sebelum integrasi dengan NKRI, dimana mereka ingin ikut memiliki tanah kelahirannya.
Mereka ingin kaya, sejahtera, dan ikut menikmati hasil-hasil pembangunan nasional tanpa merasa terpinggirkan, ingin berpartisipasi dalam Pembangunan, jika tidak, maka mereka menuntut kemerdekaan, karena menganggap mereka hendak dimusnahkan. Sungguh persoalan yang terkesan bersifat naif dan berada di luar UUD 1945 Amandemen Satu Naskah.
Masyarakat Papua menghendaki adanya perlindungan yang lebih besar dan menolak untuk dipersaingkan secara bebas tanpa batas dan perlindungan ekstra, dibandingkan penduduk dari daerah lainnya di Indonesia yang terkesan telah lebih dahulu kuat, maju, dan berkembang dibandingkan kemajuan peradaban masyarakat asli pribumi Papua.
Mereka menyadari berpotensi kalah bersaing, sehingga mereka meminta perlindungan secara khusus untuk membangun peradaban ke masa depan yang lebih baik. Juga supaya nantinya tidak takut punah. Hal itu, karena tidak mudahnya untuk melakukan akulturasi budaya, terlebih untuk membangun pernikahan campuran antar etnis dan antar bangsa.
Sungguh tidak mudah, walaupun tetap terbuka adanya pernikahan campuran antar etnis, sebagaimana yang terjadi pada akulturasi budaya etnis-etnis lainnya di Indonesia.
Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan Pengajar di Universitas Mercu Buana