KERANGKA hukum Pilkada tertuang dalam UU No 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu No 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No 1 Tahun 2015 tentang penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Selain UU Pilkada tersebut, ada juga aturan teknis turunannya yang tersebar dalam Peraturan KPU, Peraturan Bawaslu, Peraturan DKPP, Peraturan Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Agung, serta Peraturan Bersama Ketua Bawaslu, Kapolri, Jaksa Agung tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu.
Dalam Pilkada secara garis besar ada dua kategori masalah hukum yaitu pelanggaran dan semgketa.
Kategori pelanggaran seperti;
1. Pelanggaran Administrasi Pilkada.
2. Pelanggaran tindak pidana pemilihan.
3. Pelanggaran kode etik penyelenggara.
Kategori sengketa adalah;
1. Sengketa proses Pilkada.
2. Sengketa tata usaha negara.
3. Sengketa hasil Pilkada.
Inkonsistensi Penerapan Administrasi dan PidanaDalam beberapa hari terakhir kita dikejutkan dengan Putusan Bawaslu Kabupaten Fakfak yang mengeluarkan rekomendasi kepada KPU Kabupaten Fakfak agar membatalkan pasangan calon bupati nomor urut 1, Untung Tamsil- Yohana Dina Hindom (Utayoh) karena pelanggaran administrasi, yakni melanggar Pasal 71 ayat (3) UU Pilkada. Pasal 71 ayat (3) larangan pejabat menggunakan fasilitas dinas dalam berkampanye.
Sementara di Kota Metro, Lampung, ada calon walikota atas nama Qomaru Zaman yang melakukan pelanggaran Pasal 71 ayat (3), dilakukan pidana denda dengan dihukum membayar Rp6 juta dan tanpa sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon.
Padahal Pasal 71 ayat (3) kampanye menggunakan fasilitas jabatan, ancaman merupakan pelanggaran administrasi yang ancaman hukumannya adalah pembatalan calon.
Ini satu perbuatan yang sama tapi penerapan hukumnya berbeda. Di Fakfak menggunakan pendekatan pelanggaran administrasi pembatalan calon, sedangkan di Kota Metro menggunakan pendekatan pelanggaran pidana denda. Seharusnya administrasi dan pidananya sama-sama dijalankan.
Jika hanya parsial seperti itu, maka penegakan hukum sangat subjektif dan tidak menghadirkan kepastian.
Bisa anda bayangkan perbuatan yang sama tapi mendapat sanksi yang berbeda.
Apakah ini ada unsur kesengajaan? Atau malah kemampuan teknis hukum Bawaslu kurang memadai sehingga rawan terjadinya malapraktik hukum?
Hukum semestinya memberikan kepastian karena setiap kalimat yang termaktub dalam UU itu sudah sangat jelas dan tidak perlu interpretasi lain dalam melaksanakannya.
Bawaslu dan KPU sebagai
leading sector dalam Pilkada selayaknya bersikap sebagai pelaksana UU, bukan interpreter terhadap UU.
*Penulis adalah Managing Partner Ideality Law Firm