ADA dua pendekatan berbeda dalam partisipasi politik anak muda. Yaitu politik anak muda yang berfokus pada idealisme murni, serta anak muda berpolitik yang mencoba mencapai perubahan melalui sistem politik formal. Kedua pendekatan ini memiliki perbedaan mendasar yang sangat mencolok, terutama dalam hal mempertahankan nilai-nilai perjuangan mereka di tengah realitas politik yang kompleks.
Politik Anak Muda: Idealisme yang Murni
Politik anak muda pada umumnya hadir dalam bentuk gerakan-gerakan sosial dan advokasi yang digerakkan oleh kepedulian terhadap isu-isu spesifik. Mereka cenderung berpartisipasi dalam gerakan nonkonvensional yang tidak terikat oleh sistem politik formal. Gerakan ini biasanya berlandaskan idealisme yang kuat, menuntut perubahan yang nyata tanpa kompromi, dan seringkali dilakukan di luar struktur partai atau lembaga politik resmi.
Salah satu gerakan anak muda yang mewakili idealisme ini adalah Jeda untuk Iklim, yang didirikan untuk meningkatkan kesadaran akan krisis iklim di Indonesia. Gerakan ini didorong oleh semangat untuk mempertahankan lingkungan hidup dan menuntut pemerintah agar mengambil tindakan nyata.
Aktivis muda yang terlibat dalam gerakan ini menolak kompromi dan mendesak perubahan yang nyata demi keberlanjutan lingkungan, sebagai bentuk komitmen terhadap nilai yang mereka yakini.
Dalam konteks ini kemudaan ditafsirkan sebagai kecenderungan untuk melakukan perubahan dan pembaruan ke arah yang lebih baik. Muda bukan lagi soal usia melainkan kemauan berpikir progresif, inovatif, mempertanyakan status quo serta memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan. Dengan demikian politik anak muda cenderung idealis, nonkompromi, pro perubahan dengan berpegang pada nilai-nilai keadilan dan kesetaraan.
Anak Muda Berpolitik: Pragmatisme yang Mengorbankan NilaiSebaliknya, anak muda berpolitik adalah mereka yang terjun ke dalam sistem formal, seperti partai politik atau pemerintahan, menjadi relawan dalam pemenangan pemilu. Mereka biasanya berdalih memperjuangkan isu-isu perubahan dari dalam.
Mereka sering berkata bahwa perubahan dapat dicapai melalui jalur formal, sehingga mereka bergabung dengan partai politik, menjadi relawan, mencalonkan diri dalam pemilu, atau menjadi bagian dari lembaga legislatif.
Namun, faktanya mereka kesulitan menjaga idealisme di tengah tekanan untuk menyesuaikan diri dengan budaya politik yang kerap didominasi oleh kepentingan praktis, kompromi, dan bahkan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai awal yang mereka perjuangkan.
Banyak yang berpendapat bahwa realitas politik Indonesia membuat idealisme yang semula mereka bawa mudah terkikis. Ketika menghadapi tekanan dari partai atau kebutuhan untuk memenangkan suara, anak muda yang berpolitik sering kali terbawa arus dan akhirnya terjebak dalam pragmatisme ekstrem.
Dalam kondisi ini, idealisme mereka tergantikan oleh kepentingan jangka pendek, hingga mereka menghalalkan segala cara untuk meraih posisi atau kepentingan politik.
Fenomena ini bisa terlihat pada beberapa politisi muda Indonesia yang awalnya lantang mengkritik sistem yang korup atau tidak adil. Namun ketika mereka bergabung dengan partai politik, mereka harus mengikuti garis partai yang mungkin tidak sejalan dengan prinsip mereka.
Tekanan untuk mengikuti agenda partai, tuntutan elektabilitas, hingga dorongan untuk "main aman" di dunia politik formal sering kali mengarahkan mereka pada praktik-praktik kompromistis, atau bahkan pada langkah-langkah yang bertentangan dengan nilai ideal mereka sendiri. Akibatnya, anak muda yang berpolitik menjadi bagian dari sistem lama yang sering kali mereka kritik di awal.
Anak Muda di PilkadaDalam Pilkada kita bisa melihat fenomena yang sama. Sekelompok anak muda mendukung kandidat calon kepala daerah. Demi alasan kemenangan mereka menutup mata dan hati pada realitas kepemiluan yang hanya "seolah-olah" pemilu.
Bagaimana tidak pada tataran isu kita bisa melihat bagaimana primordialisme dimainkan sedemikian rupa untuk menggalang dukungan. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat perubahan, kesetaraan dan keadilan. Sebab alih-alih menggaungkan ketiga hal tersebut, justru yang terjadi membangun sentimen kedaerahan yang itu merusak nilai-nilai demokrasi.
Bicara tentang aturan main pelanggaran pemilu dianggap hal yang wajar dan biasa. Mereka bahkan berusaha melegitimasi politik sinterklas, politik uang dengan berbagai argumentasi absurd semata demi kemenangan.
Artinya tak ada hari ini politik anak muda. Apa yang terjadi hari ini sekelompok anak muda gamang berpolitik, tanpa nilai, tanpa gagasan. Mereka sibuk bicara kemajuan, bicara perubahan tapi sambil berjalan mundur.
Penulis adalah Direktur Kerja Bareng Collaborative Hub