Berita

Karangan bunga karya seni satir yang dipasang BEM FISIP Unair/Ist

Publika

Karangan Bunga Satire

SENIN, 28 OKTOBER 2024 | 11:23 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

DUNIA kampus dan media sosial geger. Seperti diduga, pihak kampus akhirnya mengambil tindakan keras membekukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas  Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair). Tak ada proses dialog, tanpa kata babibu, langsung saja main sikat.

Lembaga mahasiswa tersebut dibekukan gara-gara aksi sederhana yang nyeleneh: menempatkan karangan bunga bertuliskan satire. 

Lewat “bunga politik,” para mahasiswa BEM FISIP Unair ini mengekspresikan pandangan mereka mengenai pemerintahan baru yang belum lama dilantik. 

Hanya saja, respons yang didapat bukannya diskusi, melainkan tindakan sewenang-wenang, pembekuan lembaga mahasiswa.

Kasus ini dengan jelas menampar ekspektasi kita akan kampus sebagai “menara gading” demokrasi dan pemikiran kritis. 

Kita pun bertanya: Apakah kampus tidak lagi menyediakan tempat bagi mahasiswa untuk mengembangkan jiwa kritis dan memupuk kesadaran sosial? 

Apakah karangan bunga ini, seperti yang diungkapkan oleh Presiden BEM, Tuffahati Ullayyah, benar-benar ancaman yang sedemikian mengerikan bagi stabilitas universitas?

Secara ironis, pembekuan lembaga tempat mahasiswa bergiat justru menggarisbawahi kondisi kampus yang semakin menjauhi kebebasan akademik. 

Robert C. Post, seorang pakar hukum dari Universitas Yale, AS, menegaskan di Harvard Magazine edisi terbaru bahwa kebebasan akademik bukanlah sekadar kebebasan berbicara.

Kebebasan akademik lebih luas dari itu: bertujuan mendorong eksplorasi intelektual, riset yang objektif, dan perdebatan yang substansial dalam rangka mencari kebenaran. Kampus seharusnya menjadi tempat untuk bertanya dan mempertanyakan, bukan sekadar tempat “iya-iya” dan setuju tanpa pertanyaan.

Pandangan Post menyingkap paradoks kebebasan akademik di era ini. Di satu sisi, mahasiswa diharapkan untuk mengembangkan sikap kritis, namun di sisi lain, ruang gerak mereka malah dipersempit, bahkan diberangus, dengan standar “netralitas” yang sempit dan penuh dengan tekanan politik.

Kebebasan akademik, menurut Post, seharusnya berbasis pada kompetensi, bukan netralitas yang kaku. Dalam pandangannya, tidak ada masalah jika seorang akademisi atau mahasiswa menyuarakan pendapat yang pro atau kontra, asalkan disampaikan dengan argumen yang terstruktur dan berbasis pengetahuan.

Kasus pembekuan BEM ini bukan sekadar perkara karangan bunga dan selembar surat pembekuan, tetapi lebih dalam dari itu. 

Menurut Post, universitas memiliki peran vital dalam demokrasi karena menjadi ruang perdebatan publik dan pembentukan opini yang bebas. 

Kampus adalah benteng terakhir bagi lahirnya ide-ide baru yang kadang bertentangan dengan arus dominan, tetapi yang justru itulah yang diperlukan untuk menjaga demokrasi tetap hidup.


Apa yang terjadi ketika benteng terakhir ini runtuh? Dengan menekan BEM FISIP, pihak fakultas atau universitas tampaknya menyiapkan diri untuk berubah menjadi institusi yang seragam, di mana mahasiswa dan dosen seolah dipaksa untuk mengiyakan status quo.

Bahkan media sosial turut memberi gambaran reaksi publik yang gelisah. Banyak yang mempertanyakan standar etika yang diterapkan: mengapa kritik verbal dibungkam, tetapi tindakan yang mungkin lebih serius kerap dibiarkan?

Post mengingatkan bahwa prinsip “netralitas” seharusnya tidak diartikan sebagai pembungkaman suara kritis. Sebaliknya, standardisasi seharusnya didasarkan pada kompetensi: kemampuan untuk menyampaikan pendapat dengan berbasis data dan riset yang jelas.

Hal ini sangat krusial dalam konteks kebebasan berbicara di kampus, karena ia adalah komponen vital dalam demokrasi. 

Alih-alih menjaga kualitas  pendidikan dan lingkungan akademis yang sehat, tekanan terhadap kebebasan berbicara di kampus malah menunjukkan bahwa ada semacam ketidakpercayaan terhadap kemampuan mahasiswa untuk berargumen dengan kompeten.

Di dunia yang semakin digital, tindakan keras terhadap kebebasan berbicara bisa memancing reaksi berlebihan di media sosial. BEM FISIP Unair hanya satu contoh dari banyak kasus serupa di berbagai kampus. 

Ketika mereka dihadapkan dengan sikap represif dari pihak kampus, suara kritis mahasiswa terancam tenggelam dan memudar.


Memang benar, menurut Post, standar kompetensi tetap harus dijaga di dalam lingkungan akademik. Namun, pembekuan lembaga kemahasiswaan atas karangan bunga satire jelas-jelas menunjukkan bahwa ada standar ganda dalam menerapkan etika dan kebebasan di lingkungan universitas.

Kita akhirnya perlu menanyakan: apakah tindakan keras terhadap BEM FISIP ini memang langkah yang mendukung demokrasi dan kebebasan akademik, atau justru melawan prinsip dasar kampus sebagai ruang pembelajaran dan kritis?

Seperti kata pepatah, “dunia berubah, kampus harus berubah.” Tapi ketika perubahan itu mengarah pada pembungkaman, bukan perkembangan, saatnya kita meninjau ulang apa sebenarnya peran kampus di masyarakat kita.

Semoga dari kasus ini, kita tidak melihat kampus menjadi “penjara pemikiran” bagi mahasiswa.




 

Populer

Prabowo Perintahkan Sri Mulyani Pangkas Anggaran Seremonial

Kamis, 24 Oktober 2024 | 01:39

Karangan Bunga untuk Ferry Juliantono Terus Berdatangan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 12:24

Jejak S1 dan S2 Bahlil Lahadalia Tidak Terdaftar di PDDikti

Sabtu, 19 Oktober 2024 | 14:30

KPK Usut Keterlibatan Rachland Nashidik dalam Kasus Suap MA

Jumat, 25 Oktober 2024 | 23:11

UI Buka Suara soal Gelar Doktor Kilat Bahlil Lahadalia

Senin, 21 Oktober 2024 | 16:21

Hikmah Heboh Fufufafa

Minggu, 20 Oktober 2024 | 19:22

Begini Kata PKS Soal Tidak Ada Kader di Kabinet Prabowo-Gibran

Minggu, 20 Oktober 2024 | 15:45

UPDATE

BSD Kantongi Rp6,84 Triliun dari Prapenjualan Properti

Senin, 28 Oktober 2024 | 16:02

Pukulan Keras Ilia Topuria Tumbangkan Max Holloway di UFC 308

Senin, 28 Oktober 2024 | 15:53

Ipda Rudy Soik: Bapak Kapolda Orang Baik, Tapi Informasi Sampai ke Beliau Tidak Benar

Senin, 28 Oktober 2024 | 15:30

HUT ke-20, UCLG ASPAC Komitmen Ciptakan Kota Ramah Lingkungan, Digital, dan Berteknologi Tinggi

Senin, 28 Oktober 2024 | 15:29

Baleg DPR Gelar Rapat Pleno, Ini Agendanya

Senin, 28 Oktober 2024 | 15:22

Ekonom Sebut Pemerintah Tak Boleh Asal Bantu Selamatkan Sritex

Senin, 28 Oktober 2024 | 15:16

Direstui Jokowi Jadi Parpol, Projo Harus Buktikan Punya Banyak Pasukan

Senin, 28 Oktober 2024 | 14:59

Retret Kabinet Merah Putih di Akademi Militer Jadi Sorotan Media Asing

Senin, 28 Oktober 2024 | 14:55

Kapolda Sulteng Diingatkan DPR Sering-sering Main ke Tahanan

Senin, 28 Oktober 2024 | 14:48

Awal Pekan, Mayoritas Harga Bahan Pokok Naik

Senin, 28 Oktober 2024 | 14:45

Selengkapnya