DUNIA kampus dan media sosial geger. Seperti diduga, pihak kampus akhirnya mengambil tindakan keras membekukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair). Tak ada proses dialog, tanpa kata babibu, langsung saja main sikat.
Lembaga mahasiswa tersebut dibekukan gara-gara aksi sederhana yang nyeleneh: menempatkan karangan bunga bertuliskan satire.
Lewat “bunga politik,” para mahasiswa BEM FISIP Unair ini mengekspresikan pandangan mereka mengenai pemerintahan baru yang belum lama dilantik.
Hanya saja, respons yang didapat bukannya diskusi, melainkan tindakan sewenang-wenang, pembekuan lembaga mahasiswa.
Kasus ini dengan jelas menampar ekspektasi kita akan kampus sebagai “menara gading” demokrasi dan pemikiran kritis.
Kita pun bertanya: Apakah kampus tidak lagi menyediakan tempat bagi mahasiswa untuk mengembangkan jiwa kritis dan memupuk kesadaran sosial?
Apakah karangan bunga ini, seperti yang diungkapkan oleh Presiden BEM, Tuffahati Ullayyah, benar-benar ancaman yang sedemikian mengerikan bagi stabilitas universitas?
Secara ironis, pembekuan lembaga tempat mahasiswa bergiat justru menggarisbawahi kondisi kampus yang semakin menjauhi kebebasan akademik.
Robert C. Post, seorang pakar hukum dari Universitas Yale, AS, menegaskan di Harvard Magazine edisi terbaru bahwa kebebasan akademik bukanlah sekadar kebebasan berbicara.
Kebebasan akademik lebih luas dari itu: bertujuan mendorong eksplorasi intelektual, riset yang objektif, dan perdebatan yang substansial dalam rangka mencari kebenaran. Kampus seharusnya menjadi tempat untuk bertanya dan mempertanyakan, bukan sekadar tempat “iya-iya” dan setuju tanpa pertanyaan.
Pandangan Post menyingkap paradoks kebebasan akademik di era ini. Di satu sisi, mahasiswa diharapkan untuk mengembangkan sikap kritis, namun di sisi lain, ruang gerak mereka malah dipersempit, bahkan diberangus, dengan standar “netralitas” yang sempit dan penuh dengan tekanan politik.
Kebebasan akademik, menurut Post, seharusnya berbasis pada kompetensi, bukan netralitas yang kaku. Dalam pandangannya, tidak ada masalah jika seorang akademisi atau mahasiswa menyuarakan pendapat yang pro atau kontra, asalkan disampaikan dengan argumen yang terstruktur dan berbasis pengetahuan.
Kasus pembekuan BEM ini bukan sekadar perkara karangan bunga dan selembar surat pembekuan, tetapi lebih dalam dari itu.
Menurut Post, universitas memiliki peran vital dalam demokrasi karena menjadi ruang perdebatan publik dan pembentukan opini yang bebas.
Kampus adalah benteng terakhir bagi lahirnya ide-ide baru yang kadang bertentangan dengan arus dominan, tetapi yang justru itulah yang diperlukan untuk menjaga demokrasi tetap hidup.
Apa yang terjadi ketika benteng terakhir ini runtuh? Dengan menekan BEM FISIP, pihak fakultas atau universitas tampaknya menyiapkan diri untuk berubah menjadi institusi yang seragam, di mana mahasiswa dan dosen seolah dipaksa untuk mengiyakan status quo.
Bahkan media sosial turut memberi gambaran reaksi publik yang gelisah. Banyak yang mempertanyakan standar etika yang diterapkan: mengapa kritik verbal dibungkam, tetapi tindakan yang mungkin lebih serius kerap dibiarkan?
Post mengingatkan bahwa prinsip “netralitas” seharusnya tidak diartikan sebagai pembungkaman suara kritis. Sebaliknya, standardisasi seharusnya didasarkan pada kompetensi: kemampuan untuk menyampaikan pendapat dengan berbasis data dan riset yang jelas.
Hal ini sangat krusial dalam konteks kebebasan berbicara di kampus, karena ia adalah komponen vital dalam demokrasi.
Alih-alih menjaga kualitas pendidikan dan lingkungan akademis yang sehat, tekanan terhadap kebebasan berbicara di kampus malah menunjukkan bahwa ada semacam ketidakpercayaan terhadap kemampuan mahasiswa untuk berargumen dengan kompeten.
Di dunia yang semakin digital, tindakan keras terhadap kebebasan berbicara bisa memancing reaksi berlebihan di media sosial. BEM FISIP Unair hanya satu contoh dari banyak kasus serupa di berbagai kampus.
Ketika mereka dihadapkan dengan sikap represif dari pihak kampus, suara kritis mahasiswa terancam tenggelam dan memudar.
Memang benar, menurut Post, standar kompetensi tetap harus dijaga di dalam lingkungan akademik. Namun, pembekuan lembaga kemahasiswaan atas karangan bunga satire jelas-jelas menunjukkan bahwa ada standar ganda dalam menerapkan etika dan kebebasan di lingkungan universitas.
Kita akhirnya perlu menanyakan: apakah tindakan keras terhadap BEM FISIP ini memang langkah yang mendukung demokrasi dan kebebasan akademik, atau justru melawan prinsip dasar kampus sebagai ruang pembelajaran dan kritis?
Seperti kata pepatah, “dunia berubah, kampus harus berubah.” Tapi ketika perubahan itu mengarah pada pembungkaman, bukan perkembangan, saatnya kita meninjau ulang apa sebenarnya peran kampus di masyarakat kita.
Semoga dari kasus ini, kita tidak melihat kampus menjadi “penjara pemikiran” bagi mahasiswa.