(kiri-kanan) Teguh Santosa, Dino Patti Djalal, dan Desi Fitriani dalam workshop Jurnalisme Damai United Tractors di Semarang, Selasa, 22 Oktober 2024/Ist
Seorang jurnalis dalam tugas peliputan seputar konflik bisa seperti dua mata pisau. Wartawan dapat berperan menjadi faktor yang meredakan konflik, namun bila tidak berhati-hati juga bisa menjadi faktor yang membuat konflik semakin buruk.
Maka dari itu, dibutuhkan kemampuan jurnalistik yang memadai sehingga pesan perdamaian dapat disampaikan dengan baik dan diterima dengan baik pula.
Demikian antara lain yang dikupas dalam
workshop bertema "Merajut Keberagaman, Menjunjung Kesatuan, dan Menjaga Perdamaian untuk Berkelanjutan” yang digelar United Tractors Group di Hotel Tentrem, Semarang, Selasa malam, 22 Oktober 2024.
Workshop tersebut diikuti sekitar 50 wartawan media nasional dan lokal Jawa Tengah menghadirkan pembicara Dutabesar, Dino Patti Djalal, wartawan senior
Metro TV, Desi Fitriani dan dimoderatori Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Teguh Santosa.
Desi Fitriani dalam kesempatan tersebut membagikan cerita mengenai liputan konflik di sejumlah negara, seperti di Gaza, Palestina, Mindanao Selatan, Filipina, dan Timor Leste.
Liputan konflik lain yang tidak bisa dipisahkan dari Desi adalah konflik Papua dan konflik Aceh. Desi membagikan potongan berita yang memperlihatkan dirinya berada di garis depan konflik, di antara peluru yang berdesing.
Desi mengingatkan, wartawan yang melakukan liputan di wilayah konflik wajib memiliki pemahaman mengenai dinamika konflik yang terjadi, termasuk akar konflik dan aktor-aktor dalam konflik berikut tuntutan-tuntutan mereka.
Sementara itu, Dino Patti Djalal yang pernah menjadi Dubes RI di Amerika Serikat dan Wakil Menteri Luar Negeri memaparkan tujuh peristiwa yang memperlihatkan kemampuan diplomasi Indonesia dalam menyelesaikan konflik baik yang terjadi di luar negeri maupun di dalam negeri.
Pertama, keberhasilan Indonesia mendapatkan hak kedaulatan atas Irian Barat dari Belanda pada tahun 1962. Lalu keberhasilan diplomasi Indonesia sejak era 1960an dalam memperjuangkan konsepsi Laut Nusantara yang akhirnya dituangkan dalam Konvensi dan Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982.
Kasus ketiga adalah normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia di tahun 1966, setelah pada era Bung Karno sebelumnya Indonesia memandang Malaysia sebagai proyek neokolonialisme Inggris di kawasan.
Kasus keempat adalah keterlibatan aktif Indonesia dalam menyelesaikan konflik politik dan kemanusiaan di Kamboja tahun 1991. Lalu kasus penyelesaian Timor Timur yang kini menjadi negara Timor Leste di tahun 1999.
Kasus berikutnya, proses perdamaian di Aceh tahun 2005. Dan terakhir, upaya Indonesia melalui Presiden Joko Widodo melibatkan diri dalam perdamaian antara Rusia dan Ukraina tahun 2022.
Dalam setiap kasus itu, ada pelajaran-pelajaran penting yang dapat dipetik. Sejumlah kasus berhasil diselesaikan dengan baik. Misalnya peranan Indonesia dalam perdamaian di Kamboja.
“Saya belajar dari Pak Ali Alatas (Menlu RI 1988-1999), dia tidak melakukan ini (mengupayakan perdamaian di Kamboja) untuk kredit. Beliau negarawan sejati,
low profile, benar-benar bekerja untuk perdamaian secara tulen," kata Dino.
Di akhir diskusi, Teguh Santosa mengatakan, salah satu masalah yang dimiliki wartawan dalam melakukan liputan konflik adalah persepsi bahwa konflik harus berakhir dengan kemenangan salah satu pihak dan kekalahan pihak lainnya.
Wartawan senior sekaligus penulis buku
Perdamaian yang Buruk Perang yang Baik serta
Buldozer dari Palestina menekankan bahwa
combative lense tersebut harus ditanggalkan agar wartawan dapat melihat situasi konflik dengan lebih jernih.
Menghilangkan persepsi konflik harus berakhir dengan kemenangan salah satu pihak ini juga bisa menghadirkan sisi lain yang lebih humanis dan juga menawarkan alternatif solusi.
"Selain itu wartawan perlu juga perlu meng-
upgrade writing skill atau
reporting skill,” ujar Teguh yang juga dosen hubungan internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta ini.