Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri (ECFR) menganjurkan sanksi "keras dan cepat" terhadap Tiongkok jika terjadi konflik atas Taiwan. Pendekatan ini diuraikan dalam laporan kebijakan mereka yang berjudul "Keras, Cepat, dan di Mana Hal itu Menyakitkan: Pelajaran dari Sanksi terkait Ukraina untuk Skenario Konflik Taiwan”.
ECFR menyarankan agar UE memanfaatkan kekuatan ekonominya untuk mencegah Tiongkok menginvasi Taiwan, khususnya dengan menargetkan akses Tiongkok ke pasar UE.
Menurut
Taipei Times, laporan think tank pan-Eropa yang terbit pada 19 September dan ditulis peneliti kebijakan senior Agathe Demarais, bertujuan menarik wawasan dari sanksi Barat terhadap Rusia setelah invasi ke Ukraina.
"Pemimpin Tiongkok Xi Jinping telah lama menegaskan bahwa penyatuan kembali Taiwan dengan daratan Tiongkok tidak dapat dihindari. Salah satu skenario terburuk untuk penyatuan kembali semacam itu adalah blokade maritim Tiongkok terhadap pulau itu, diikuti invasi militer skala penuh," tulis Demarais.
UE dan negara-negara anggotanya, sambung Demarais, perlu mulai mempertimbangkan opsi sanksi ekonomi terhadap Tiongkok, termasuk sanksi keuangan dan langkah-langkah perdagangan. Dengan demikian, mereka dapat mengambil pelajaran berharga dari sanksi ekstensif yang telah mereka jatuhkan pada Rusia sejak 2014.
Ancaman sanksi UE terhadap Tiongkok dapat "mengubah permainan" karena Beijing, seperti Moskow, akan menganggap mustahil bagi 27 negara anggota UE untuk bersatu dalam sanksi.
Meskipun Tiongkok mungkin akan membalas sanksi UE, tetapi ancaman yang jelas dari UE akan memberi sinyal kepada Beijing bahwa biaya agresi lebih tinggi daripada yang sudah diperkirakan oleh para pemimpin Tiongkok.
Pengalaman Rusia kelihatannya akan mendorong Tiongkok untuk berpikir dua kali sebelum mengabaikan peringatan Eropa.
Namun, sanksi keuangan tradisional mungkin tidak akan berhasil karena Tiongkok telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melindungi dirinya dari sanksi keuangan melalui “de-dolarisasi”, “de-SWIFTing” dan pengembangan mata uang digital.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa, kemandirian finansial Tiongkok akan segera membuat sanksi ekonomi tidak efektif, tetapi pembatasan perdagangan yang menargetkan ekonomi berbasis ekspornya masih dapat menjadi titik ungkit yang efektif bagi Eropa.
Pada tahun 2028, ancaman tindakan yang menargetkan akses Tiongkok ke saluran keuangan atau mata uang Barat tidak akan mungkin mengubah kalkulasi Beijing seputar Taiwan, karena para pemimpin Tiongkok membuat kemajuan cepat menuju kemandirian finansial.
"Ini berarti bahwa daya ungkit terkuat Eropa mungkin terletak pada langkah-langkah perdagangan yang menargetkan akses Tiongkok ke pasar UE," katanya.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok bergantung pada ekspor barang-barang manufaktur dan ketergantungan itu mungkin merupakan titik lemah Tiongkok.
Menyoroti ketergantungan Tiongkok terhadap lapangan kerja pada permintaan asing, Demarais menambahkan, "Ekspor menyumbang hampir 20 persen dari PDB Tiongkok, dengan hampir 40 persen di antaranya masuk ke ekonomi G7-UE.” Sementara 100 juta lapangan kerja di Tiongkok bergantung pada permintaan asing, termasuk sedikitnya 45 juta dari ekonomi G7-UE.
Dalam laporannya, ia juga menyarankan agar UE dan mitra G7 memberlakukan sanksi yang menargetkan barang-barang ini, yang masing-masing mencapai 13 persen dan 9 persen dari total ekspor Tiongkok. Sementara penurunan pasokan mungkin dapat dikelola oleh konsumen Barat dalam jangka pendek, hal itu akan sangat menyakitkan bagi Tiongkok.
UE dan mitra G7 harus memberlakukan sanksi yang menargetkan impor barang konsumsi jadi yang tidak penting, khususnya barang elektronik dan barang kelas bawah, yang masing-masing mencapai 13 persen dan 9 persen dari total ekspor Tiongkok.
"Penurunan pasokan barang-barang ini akan dapat dikelola oleh konsumen Barat, setidaknya untuk sementara waktu. Namun bagi Tiongkok, tindakan gabungan G7-UE yang membatasi pengiriman produk-produk ini akan sangat menyakitkan," masih kata Demarais.
"Ini berarti bahwa jika pencegahan gagal dan pembuat kebijakan UE memilih menjatuhkan sanksi kepada Tiongkok, maka mereka harus bertindak keras dan cepat," katanya.
Peningkatan sanksi secara bertahap akan berisiko mendukung upaya Tiongkok untuk membangun kekebalan jangka panjang terhadap sanksi keuangan, dan akan membuat UE dan sekutunya tidak mungkin merekayasa krisis neraca pembayaran di Tiongkok melalui penyitaan cadangan bank sentral negara itu.
ECFR didesak untuk membahas potensi pemicu sanksi terhadap Beijing yang terkait dengan Taiwan dan mempertimbangkan konsekuensi dari pengurangan drastis hubungan perdagangan dengan Tiongkok.
"Para pembuat kebijakan Eropa perlu mulai membahas potensi pemicu sanksi terhadap Beijing terkait Taiwan dan memetakan konsekuensi pengurangan drastis dalam hubungan perdagangan dengan Tiongkok," katanya.
Uni Eropa harus memikirkan paket kompensasi finansial bagi perusahaan-perusahaan Uni Eropa yang akan paling terdampak oleh sanksi dan secara serius meningkatkan kemampuannya untuk mengatasi disinformasi sanksi.