Berita

CEO Telegram, Pavel Durov/NYT

Dunia

CEO Telegram Masih Syok, Ngaku Jadi Korban Salah Tangkap

JUMAT, 06 SEPTEMBER 2024 | 15:14 WIB | LAPORAN: HANI FATUNNISA

Pertama sejak ditangkap otoritas Prancis, CEO Telegram Pavel Durov akhirnya mau membuka suara.

Dalam sebuah unggahan di Telegram pada Jumat (6/9), Durov yang baru dibebaskan mengaku masih syok dan mencoba memahami apa yang dialaminya di Prancis.

Menurutnya, penangkapan itu tidak wajar karena jika memang ada keluhan harusnya dilaporkan langsung pada perusahannya, bukan menangkap dirinya.

"Menggunakan undang-undang dari era pra-ponsel pintar untuk mendakwa CEO atas kejahatan yang dilakukan oleh pihak ketiga di platform yang dikelolanya merupakan pendekatan yang salah arah," seperti dimuat New York Times.

Durov menyindir otoritas Prancis dengan menyebut tidak akan ada yang mau membuat aplikasi baru jika tau mereka akan ditangkap.

"Tidak ada inovator yang akan membuat perangkat baru jika mereka tahu mereka dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi atas potensi penyalahgunaan perangkat tersebut," kata dia.

Dia mengaku bahwa dengan 950 juta pengguna, Telegram dengan mudah diakses oleh penjahat untuk menyalahgunakan platform tersebut. Tetapi perusahaannya terus berusaha mengatasi hal tersebut.

"Itulah sebabnya saya menjadikannya tujuan pribadi saya untuk memastikan kami meningkatkan berbagai hal secara signifikan dalam hal ini," tegasnya.

Sementara itu, Jaksa Penuntut Prancis mengatakan bahwa penangkapan Durov pekan lalu dilakukan karena Telegram tidak menanggapi keluhan yang dilaporkan.

Durov ditahan selama empat hari dan tengah diselidiki secara resmi atas dugaan keterlibatan dalam membiarkan transaksi terlarang, perdagangan narkoba, penipuan, dan penyebaran gambar pelecehan seksual anak berkembang di situsnya.

Pria berusia 39 tahun itu  lahir di Rusia dan sekarang tinggal di Dubai, tempat Telegram berkantor pusat. Ia memegang kewarganegaraan Uni Emirat Arab dan Prancis.

Telegram, yang didirikannya pada tahun 2013, sangat populer di Rusia, Ukraina, dan negara-negara bekas Uni Soviet.

Aplikasi tersebut dilarang di Rusia pada tahun 2018, setelah sebelumnya ia menolak untuk menyerahkan data pengguna. Larangan tersebut dicabut pada tahun 2021.

Telegram menduduki peringkat sebagai salah satu platform media sosial utama setelah Facebook, YouTube, WhatsApp, Instagram, TikTok, dan Wechat.

Populer

Beredar Kabar, Anies Baswedan Besok Didaftarkan 4 Parpol ke KPU

Rabu, 28 Agustus 2024 | 18:10

Aktivis Demo di KPK, Minta Menteri Trenggono Ditangkap

Jumat, 30 Agustus 2024 | 15:17

Anies Tak Bisa Didikte Diduga Jadi Alasan PDIP Batal Umumkan Cagub

Selasa, 27 Agustus 2024 | 08:15

Tenang, Peluang Anies di Pilkada Jakarta Belum Tertutup

Rabu, 28 Agustus 2024 | 11:20

Parpol Dilarang Tarik Dukungan, Peluang Anies Hampir Pupus

Kamis, 29 Agustus 2024 | 09:49

Jemaah Suruh RK Turun dari Panggung Haul Mbah Priok

Senin, 02 September 2024 | 09:22

PDIP Umumkan Pilkada Jakarta, Jabar dan Jatim Last Minutes

Selasa, 27 Agustus 2024 | 00:55

UPDATE

Menlu RI Ungkap Kunci Kemakmuran Bangsa di ISF 2024

Jumat, 06 September 2024 | 14:00

Ini Dia Terowongan Silaturahmi Gabungan Dua Rumah Ibadah yang Kemarin Dikunjungi Paus Fransiskus

Jumat, 06 September 2024 | 13:58

Pulihkan Lahan bekas Tambang, Vale Indonesia Akui Lakukan Reklamasi sebanyak 67 Persen

Jumat, 06 September 2024 | 13:44

Tuntut Keadilan, Pemilik Saham Blue Bird Mau Surati Ketua DPR

Jumat, 06 September 2024 | 13:20

AS Khawatir Negaranya Terancam jika US Steel Dikuasai Jepang

Jumat, 06 September 2024 | 13:03

Usut Dugaan Gratifikasi Kaesang, KPK Butuh Waktu 45 Hari Kerja

Jumat, 06 September 2024 | 12:59

Pecahkan Rekor, Gelaran BATIC 2024 Raih Sukses Besar

Jumat, 06 September 2024 | 12:53

Israel Halangi Tim Vaksinasi Polio ke Khan Younis Gaza

Jumat, 06 September 2024 | 12:46

Mantan Kepala Otorita Harap Nasib IKN Tidak Seperti Myanmar

Jumat, 06 September 2024 | 12:38

Warga Terharu dapat Lambaian Tangan Paus

Jumat, 06 September 2024 | 12:35

Selengkapnya