Berita

Ojek online/Net

Publika

Ojol dan Budak Korporasi

Oleh: Suroto*
SENIN, 02 SEPTEMBER 2024 | 10:20 WIB

PARA pengemudi ojek online (Ojol) akhir akhir ini melakukan unjuk rasa besar menuntut adanya keberpihakan pemerintah atas nasib mereka yang selama ini jadi korban kebijakan tarif dari korporasi penyelenggara bisnis aplikasi. Mereka juga menuntut jika tidak ada kebijakan yang memihak kepada kepentingan nasib para pengemudi maka mereka menuntut agar aplikasinya ditutup saja.

Bisnis Ojol seperti Gojek dan Grab itu  itu memang sudah keterlaluan. Mereka itu sengaja memang memeras para pengemudi untuk kepentingan pengejaran keuntungan mereka dan abaikan nasib para pengemudi.  

Unjuk rasa di atas sebetulnya bukan hanya gambarkan adanya kesewenang wenangan dari perusahaan aplikasi terhadap para pengemudi, tapi juga tunjukkan kemungkinan indikasi bahwa pemerintah juga telah berada dalam kepentingan kongkalikong dengan perusahaan aplikasi.


Tarif potongan harga yang diambil oleh perusahaan online itu memang terlalu tinggi. Sementara harga dipertahankan rendah oleh perusahaan agar konsumen tetap diuntungkan. Jadi dari kebijakan tersebut para pengemudi akhirnya yang dikorbankan, ditindas, dieksploitasi oleh perusahaan aplikasi.

Sikap pemerintah yang berpura pura tidak tahu atas realitas itu merupakan indikasi bahwa perusahaan aplikasi berpotensi berkongkalikong dengan pemerintah. Dalam konteks ini mestinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga perlu periksa pejabat pejabat publik yang bertanggung jawab terhadap pembuatan kebijakan pengelolaan dari perusahaan aplikasi ojol.

Fakta di lapangan dalam hitungan yang sederhana sebetulnya tarif tersebut kalau dihitung semua komponen baik tenaga, biaya perawatan, biaya penyusutan, biaya bunga dan angsuran kendaraan serta biaya sosial dan lain lain maka sebetulnya pengemudi ojol menjadi sangat dirugikan. Tarif potongan yang dilakukan sudah sangat tidak manusiawi.

Model pekerjaan bebas dan kontraktual seperti para pengemudi itu juga hanya salah satu korban kemungkinan kongkalikong kebijakan. Di sektor pekerjaan lain masih banyak. Sebut saja misalnya  freelancer, para pekerja call center, logistik dan lain lain yang juga berada dalam nasib yang buruk.

Para driver pengantaran orang dan barang atau ojol  itu selain dirugikan karena besaran potongan tarif dan rendahnya harga, mereka harus menanggung resiko kerja lebih besar, menyumbangkan alat atau modal, juga tanpa adanya proses partisipasi yang memadai dalam turut mengambil kebijakan perusahaan di bisnis platform. Sehingga semua aspirasinya mentok.

Kalau perusahaan aplikasi seperti Gojek dan Grab itu tidak mau berubah dan pemerintah terus bersikap permisif dan lemah, maka menurut saya baiknya memang dilakukan demonstrasi dan mogok besar besaran dan perlu juga solidaritas dari konsumen untuk turut mendukungnya.

Masyarakat konsumen juga harus diedukasi bahwa  penggunaan teknologi itu juga harus  bertanggung jawab. Mereka semestinya juga dibangun kesadarannya bahwa menggunakan aplikasi murah tapi menindas salah satu pihak itu sebagai perbuatan anti kemanusiaan.

Masyarakat luas musti turut menuntut penutupan bisnis aplikasi yanv menindas tersebut. Masyarakat bahkan dapat menuntut agar pemerintah biayai pembangunan bisnis aplikasi yang dapat dimiliki dan dikontrol bersama secara demokratis oleh pemerintah, pengemudi, konsumen. Supaya tidak lagi jadikan pengemudi sebagai korban eksploitasi korporasi kapitalis seperti mereka.

Masa depan dunia digital yang adil dan berkemanusiaan itu  bergantung pada kepemilikan bersama atas sumber daya teknologi. Untuk itulah ekosistem yang ada harus diarahkan menjadi inklusif dan berkeadilan. Semua diarahkan agar mencapai distribusi nilai yang adil, dan menstimulasi budaya kewirausahaan, bukan budaya penindasan.

Barang publik digital yang dibiayai Gig economy yang tidak memanusiakan pekerja dan mengasingkan masyarakat harus dirombak agar dapat mendorong keadilan, kesetaraan, dan martabat dalam kerja berbasis platform. Monopoli pendapatan dan kekayaan dari segelintir orang sebagai penguasa data harus dihentikan.  Untuk itulah perlu sebuah perombakan total dan mendasar di dalam tata kelola dan tata aturannya.


*Penulis adalah Ketua AKSES (Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis)

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya