Berita

Laksamana Sukardi/Ist

Publika

Dilema Partai Politik Pasca Reformasi

OLEH: LAKSAMANA SUKARDI
RABU, 28 AGUSTUS 2024 | 17:44 WIB

Partai politik sebagai pilar demokrasi, adalah salah satu amanat konstitusi yang juga sering disebut oleh para pimpinan partai politik di Indonesia.

Sesungguhnya konstitusi mengamanatkan partai politik untuk menjadi pilar demokrasi dengan tujuan dan tanggung jawab yang berat, yaitu untuk melakukan kaderisasi, pembinaan, melatih dan memberikan kesempatan para anggotanya menjadi calon pemimpin yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dan mampu membawa bangsa Indonesia menjadi negara makmur, sejahtera, dan adi daya.
 

Hingar-bingar dan drama menjelang pilkada saat ini membuktikan bahwa tugas dan tanggung jawab tersebut masih jauh panggang dari api. Alih-alih mampu menciptakan kader menjadi calon pemimpin dengan elektabilitas tinggi, partai politik dengan usia lebih dari 20 tahun ternyata tidak memiliki kandidat yang dianggap mampu untuk memenangkan pilkada atau pilpres karena kurangnya elektabilitas kadernya.
 
Kenyataan tersebut dapat dilihat dari pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah yang telah berjalan dan diikuti oleh partai politik. Munculnya Presiden Joko Widodo, Ahok, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, dan Mahfud MD merupakan bukti ketidakmampuan partai politik untuk menciptakan dan melahirkan pemimpin bangsa.
 
Walaupun akhirnya tokoh-tokoh di luar partai diusung dan didaulat menjadi kader, hal tersebut merupakan jalan pintas yang seharusnya tidak terjadi. Karena kenyataan tersebut mengukuhkan bahwa fungsi partai politik (terutama Ketua Umumnya) merupakan pemegang “franchise kekuasaan” yang dapat menjual tiket untuk berpartisipasi dalam proses pemilihan.
 
Ibaratnya seperti pemain sepak bola yang ditransfer atau dibeli dari luar klub, karena mereka tidak mampu menciptakan pemain yang baik dari akademi sepak bola milik mereka.
 
Partai politik yang menganut pola kepemimpinan feodal dan otoriter, tidak mungkin mampu menjalankan amanah konstitusi menjadikan partai politik sebagai kawah candradimuka calon pemimpin nasional.

Para ketua umumnya tidak akan mau memberikan kadernya kesempatan mengaktualisasikan diri di tingkat nasional, karena akan menjadi ancaman kedudukan dan franchise kekuasaan mereka.

Bahkan jika ada kader yang sudah mendekati garis demarkasi dan mengancam kedudukannya akan segera dimatikan kariernya.
 
Dengan demikian ketika memasuki pemilihan (pilkada, pilpres), mereka akan mengalami kebuntuan karena tidak memiliki kader dari dalam yang berhasil dibina (karena memang tidak pernah diharapkan) oleh partai politik.

Akhirnya mereka berupaya mencari calon dari luar partai politik dengan berbagai macam cara. Ada yang memaksa untuk masuk menjadi kader partai jika mau diusung sebagai calon atau juga ada yang bersifat transaksional (wani piro?).
 
Kebiasaan seperti ini akan membuat kehadiran hubungan emosi partai dan kandidat menjadi hampa dan karena tidak adanya hubungan historis emosional dan kebersamaan esprit de corps (perasaan kebersamaan loyalitas dan kebanggaan terhadap organisasi).

Akhirnya hubungan tersebut bersifat sementara dan selama keuntungan bersama telah selesai, mereka akan mengalami proses berpisah. Perpisahan ini pada umumnya saling menyakitkan dan ada yang menganggap sebuah pengkhianatan besar.
 
Memasuki pilkada saat ini, apa yang dilakukan PDIP merupakan sebuah dilema dari kurang berfungsinya partai politik sebagai pilar demokrasi yang diamanatkan oleh konstitusi.

Fenomena wacana pengusungan Anies Baswedan untuk calon gubernur Jakarta dan Airin Rachmi Diany untuk calon Gubernur Banten merupakan refleksi yang tepat terhadap permasalahan ini.
 
Karena perseteruan Megawati dan Jokowi yang sangat tajam dan Jokowi dianggap sebagai pengkhianat, muncul pertimbangan untuk mengusung Anies Baswedan walaupun secara ideologis memiliki perbedaan.

Setelah opsi tersebut dianggap kurang pas, maka akhirnya dicari kader internal yaitu Pramono Anung untuk dicalonkan sebagai bakal gubernur Jakarta.

Penunjukan yang mendadak ini menjadikan tugas Pramono sangat berat, karena beliau belum pernah menggunakan kesempatan mengaktualisasikan dirinya sebagai calon pemimpin nasional.
 
Sedangkan kasus pengusungan Airin merupakan bukti bahwa kader PDIP di Banten tidak memiliki elektabilitas tinggi. Maka ada kader Golkar yang elektabilitasnya tinggi dan sempat dicampakkan oleh Golkar (ceritanya agak panjang), maka cepat-cepat ditangkap dan diusung oleh PDIP.

Akhirnya Golkar sadar, maka Airin segera diusung menjadi calon gubernur Banten. Airin pun yang telah dipaksa menjadi kader PDIP karena menerima pencalonannya berbalik mengatakan rumah saya di Golkar.
 
Apa pun drama politik menjelang pilkada yang terjadi, dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi pemimpin nasional lebih baik menjalani proses tumbuh berkembang di luar partai karena mereka akan bebas mengaktualisasikan dirinya tanpa hambatan dari oligarki yang jelas-jelas membuat garis demarkasi yang tidak boleh dilangkahi.
 
Akhirnya peran partai politik sebagai pilar demokrasi tidak akan terwujud dengan baik dan tidak mustahil berkembang menjadi franchise kekuasaan dan melahirkan oligarki-oligarki politik yang tidak bertanggung jawab.

Reformasi partai politik harus segera dilakukan dengan membangun political governance (tata kelola politik) yang baik, jika Indonesia ingin menjadi negara makmur, sejahtera, dan adidaya.

Penulis adalah Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Razia Balap Liar: 292 Motor Disita, 466 Remaja Diamankan

Senin, 03 Februari 2025 | 01:38

Pemotor Pecahkan Kaca Mobil, Diduga karena Lawan Arah

Senin, 03 Februari 2025 | 01:29

PDIP: ASN Poligami Berpeluang Korupsi

Senin, 03 Februari 2025 | 01:04

Program MBG Dirasakan Langsung Manfaatnya

Senin, 03 Februari 2025 | 00:41

Merayakan Kemenangan Kasasi Vihara Amurva Bhumi Karet

Senin, 03 Februari 2025 | 00:29

Rumah Warga Dekat Pasaraya Manggarai Ludes Terbakar

Senin, 03 Februari 2025 | 00:07

Ratusan Sekolah di Jakarta akan Dipasang Water Purifire

Minggu, 02 Februari 2025 | 23:39

Manis di Bibir, Pahit di Jantung

Minggu, 02 Februari 2025 | 23:18

Nasdem Setuju Pramono Larang ASN Poligami

Minggu, 02 Februari 2025 | 23:03

Opsen Pajak Diterapkan, Pemko Medan Langsung Pasang Target Rp784,16 Miliar

Minggu, 02 Februari 2025 | 22:47

Selengkapnya