Ilustrasi pengeboran minyak lepas pantai/Net
Penurunan produksi minyak bumi yang anjlok hingga 200 ribu barel dalam kurun waktu 5-6 tahun terakhir harus disikapi dengan terus mendorong akselerasi transisi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT).
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno, mengaku khawatir dengan penurunan ini. Pasalnya, batas atas usulan lifting migas pada RAPBN 2025 sekitar 0,02 juta BOEPD, lebih rendah daripada target lifting migas pada APBN 2024, sebesar 1,668 juta BOEPD.
"Ketika kita meningkatkan produksi dan produktivitas di sektor migas, saya tegaskan bahwa di saat yang sama kita jangan kendor mengakselerasi transisi energi kita untuk meningkatkan bauran energi terbarukan," kata Eddy, di Jakarta, Jumat (21/6).
Sekjen PAN ini menambahkan, energi baru terbarukan harus dipercepat untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan energi fosil, dan harus mengakselerasi penggunaan energi terbarukan.
Ia mengatakan Indonesia kaya akan sumber daya alam yang bisa digunakan untuk membangun energi baru terbarukan.
"Sumbernya banyak, kita bisa menggunakan matahari solar, angin juga sedang dikembangkan, begitu juga Geothermal. Percepatan harus dilakukan agar kita bisa mengurangi impor energi yang selama ini menguras devisa negara," paparnya.
Eddy mengakui, tantangan terbesar di sektor energi terbaru terbarukan adalah investasi yang mahal dan proses pengembangannya yang relatif panjang.
"Ketika kita membangun PLTU batubara itu butuh kurang lebih dua tahun. Untuk membangun geothermal itu dibutuhkan kurang lebih tujuh sampai delapan tahun ya. Nah, karena investasi besar, tentu tarifnya juga lebih tinggi daripada tarif energi fosil yang lainnya," terang Eddy.
"Terobosan untuk mengatasi tarif, pembebasan lahan, kewajiban pemenuhan TKDN adalah masalah teknis dan bukan fundamental yang saya yakini bisa dicari jalan keluarnya," tutup Eddy Soeparno.