Pakar komunikasi media menyoroti adanya pihak-pihak tertentu yang dengan sengaja telah memanfaatkan kasus pencatutan nama seorang cendikiawan NU dalam penulisan artikel advertorial AQUA di sebuah media online.
Menurutnya, ada yang menggorengnya kepada unsur persaingan usaha. Hal itu sangat terlihat dari komentar-komentar para netizen di sosial media .
"Semua komentar yang ada di sosial media itu bentuknya seragam, seperti ada yang mendrivenya," ujar Satrio Arismunandar dalam keterangannya yang dikutip Minggu (19/5).
Menurut mantan wartawan media nasional ini, jarang sekali netizen terlibat dalam permasalahan berupa keberatan penulisan di media.
"Yang ribut itu biasanya antara pihak yang dirugikan dalam tulisan itu dan pihak-pihak terkait yang dianggap telah merugikan, itu saja. Dan biasanya itu diselesaikan secara kekeluargaan antar kedua belah pihak. Jadi, jarang ada para netizen apalagi di sosial media yang ikut campur," tukas Satrio.
Ia menilai ada sesuatu yang aneh dalam kasus ini, di mana sepertinya ada netizen yang dengan sengaja dikomandoi seseorang untuk menggoreng masalah ini dan mengarahkannya kepada unsur persaingan usaha.
“Kalau komentar-komentar itu seragam, serempak dalam waktu yang kayaknya bersamaan, kita bisa menduga kemungkinan ada suatu upaya terorganisir, sistematis, masif, yang memanfaatkan isu ini untuk menghantam pesaing dagangnya. Itu bisa terjadi,” katanya.
Apa yang terlihat di sosial media itu sudah lebih daripada sekedar kritik praktik jurnalistik, tapi sudah mengarah kepada strategi untuk menghancurkan pesaing bisnis.
“Nah, itu lain lagi masalahnya. Kita tidak lagi bicara mengenai masalah etika jurnalistik. Ini ngomong soal taktik-taktik perang dagang kalau gitu,” ucapnya.
Seharusnya, kalau pun melakukan kritik terhadap kesalahan pencatutan nama di dalam sebuah tulisan, menurut Satrio, sebaiknya kritik yang sifatnya membangun dan bukan menjatuhkan.
Misalnya mengingatkan agar media tersebut lebih berhati-hati lagi dalam membuat tulisan karena itu bisa merugikan pihak-pihak yang dicatut namanya.
“Jadi, jangan terus menghakimi dengan menuduh media itu sering melakukan hal serupa dan mengait-ngaitkannya dengan isu-isu yang cukup sensitif,” katanya.
Padahal, lanjutnya, kasus itu hanya berkaitan dengan pelanggaran etika jurnalistik dengan membuat suatu pernyataan tanpa mewawancarai narasumber. Dalam kasus ini, kata Satrio, biasanya bisa diselesaikan dengan cara pihak yang dirugikan melakukan komplain berupa hak jawab dan memintanya untuk dimuat di media bersangkutan.
“Itu penyelesaiannya biasanya bisa melalui dewan pers dan segala macem. Masalahnya juga bisa selesai sejauh yang bersangkutan merasa bahwa ini hanya kesalahan biasa tidak ada suatu niat buruk dari pihak media atau pihak terkait lainnya untuk sengaja menjatuhkan dia. Jadi, itu terserah yang bersangkutan bagaimana menyelesaikannya,” tuturnya.
Jika orang yang dicatut namanya itu saja sudah menganggap kasusnya selesai, namun masih ada lagi masyarakat yang terus membesar-besarkan masalah ini, menurut Satrio, orang-orang tersebut jelas yang bermasalah.
“Jadi lebih ketahuan lagi ada tujuan lain di balik permasalahan itu. Karena yang merasa berurusan dalam kasus ini saja sudah menganggapnya selesai, kenapa terus meributkan lagi, mengangkat lagi permasalahan ini dan terus menggorengnya,” tandasnya.
Sebelumnya, Cendekiawan Muslim Prof Nadirsyah Hosen menyatakan persoalan pencatutan namanya di sebuah artikel advertorial AQUA yang dimuat di sebuah media nasional sudah selesai dan tidak perlu diperpanjang lagi. Hal itu disebabkan adanya niat baik dari media tersebut dan AQUA untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf atas artikel yang ditayangkan.
“Saya bersyukur atas respon cepat dari pihak Danone Indonesia (AQUA) serta CNN Indonesia menanggapi protes saya. Jadi sudah selesai masalahnya dan tidak usah dipersoalkan lagi,” ujar Nadirsyah melalui akun Instagramnya.
Kedua pihak mengakui kesalahan dan meminta maaf atas blunder yang mereka buat dalam mencatut namanya pada pemberitaan "Kecam Agresi Israel, Aqua Gelar Aksi Nyata Dukung Palestina".
"Artikel tersebut juga sudah ditakedown dari website dan hak jawab saya sudah diberikan. Jadi, mari kita hormati semua itikad baik mereka dalam menyelesaikan masalah kemarin itu,” terang Nadirsyah.
Pihak Danone Indonesia telah menghubungi Nadirsyah Hosen untuk memberikan penjelasan.
"Alhamdulillah kami berkesempatan untuk berkomunikasi langsung dengan Prof Nadirsyah Hosen dan menyampaikan permintaan maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan akibat artikel dimaksud. Kami menyadari ada kesalahan dalam proses pengambilan informasi yang bisa menimbulkan insinuasi yang dapat merugikan reputasi Prof Nadirsyah sebagai intelektual yang independen dan tidak terafiliasi oleh kepentingan bisnis," kata Arif Mujahidin, Corporate Communications Director Danone Indonesia.