Revisi Undang Undang 11/2021 tentang Kejaksaan yang mengatur pemberian asas Dominus Litis mengundang kritikan tajam dari berbagai kalangan, terutama terkait dengan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada Kejaksaan.
Melalui revisi ini, Jaksa diberi hak untuk mengatur proses penyelidikan dan penyidikan, termasuk dalam menentukan kelengkapan bukti dan memutuskan apakah suatu perkara akan dilanjutkan atau dihentikan.
Kewenangan yang lebih besar kepada Jaksa ini, kata Akademisi Universitas Pamulang Ali Zubeir Hasibuan, tentu mengarah pada efisiensi dalam penegakan hukum, namun banyak pihak khawatir bahwa perubahan ini berpotensi menimbulkan masalah serius.
Katanya, perubahan ini bisa memicu tumpang tindih kewenangan antara Kejaksaan, Kepolisian, dan Kehakiman, yang seharusnya bekerja secara terkoordinasi dan saling mengawasi.
"Dengan asas Dominus Litis, Jaksa menjadi pihak yang memutuskan kelanjutan sebuah perkara tanpa bergantung pada hasil penyelidikan Kepolisian," ujar Ali kepada wartawan, Sabtu 8 Februari 2025.
"Ini menciptakan ruang bagi potensi penyalahgunaan kekuasaan, yang bisa merugikan individu, baik dalam hal penyidikan yang tidak adil maupun penghentian perkara tanpa dasar yang jelas," imbuhnya.
Selain itu, sambungnya, keputusan Jaksa yang lebih dominan dalam menentukan kelanjutan perkara bisa sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti tekanan politik atau kepentingan tertentu, yang mengarah pada ketidakadilan dalam proses hukum.
"Jika tidak ada pengawasan yang ketat, dampaknya akan sangat merugikan hak-hak tersangka atau terdakwa yang bisa menjadi korban dari kekuasaan yang berlebihan ini," pungkasnya.