Berita

Ilustrasi Kebebasan Pers/Net

Politik

Revisi UU Penyiaran Melanggengkan Kegemaran Negara dalam Membatasi Kebebasan

RABU, 15 MEI 2024 | 19:38 WIB | LAPORAN: AGUS DWI

Revisi Undang-undang (UU) Penyiaran yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia tengah menjadi sorotan tajam. LBH Pers dan AJI Jakarta menilai revisi UU Penyiaran ini akan membawa jurnalisme di Indonesia menuju masa kegelapan.

Salah satu hal krusial dalam RUU ini adalah Standar Isi Siaran (SIS) yang memuat batasan, larangan, dan kewajiban bagi penyelenggara penyiaran. Selain itu kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tumpang tindih dengan Dewan Pers.

Sebagaimana yang terdapat pada draf tertanggal 27 Maret 2024, revisi UU Penyiaran tersebut secara nyata membatasi kerja-kerja jurnalistik maupun kebebasan berekspresi secara umum.

Negara, dalam hal ini Pemerintah, kembali berniat untuk melakukan kendali berlebih (overcontrolling) terhadap ruang gerak warga  negaranya. Hal ini tentu tak hanya berdampak pada pelanggaran terhadap hak atas kemerdekaan pers, tetapi juga pelanggaran hak publik atas informasi.

Lapisan pelanggaran ini mengkhianati semangat perwujudan negara demokratis yang telah terwujud melalui UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang yang dicita-citakan melindungi kerja-kerja jurnalistik serta menjamin pemenuhan hak publik atas informasi.

Adapun Pasal-pasal yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi adalah Pasal 50B ayat (2) yang menyatakan Larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi; Larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender; dan Larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.

Lalu Pasal 8A huruf q yang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran.

Kemudian Pasal 42 ayat (1) "Muatan jurnalistik dalam Isi Siaran Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan P3, SIS, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan ayat (2) "Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

Melalui keterangan yang diterima redaksi, Rabu (15/5), LBH Pers dan AJI Jakarta pun memberi catatan kritis terhadap revisi UU Penyiaran.

Pertama, larangan terhadap penayangan eksklusif jurnalistik merupakan wujud keengganan pemerintah dalam melakukan pembenahan pada penyelenggaraan negara. Alih-alih memanfaatkan produk jurnalistik investigasi eksklusif sebagai sarana check and balances bagi berlangsungnya kehidupan bernegara, pemerintah justru memilih untuk menutup kanal informasi tersebut.

Hal ini bukan fenomena yang mencengangkan mengingat kultur pemerintahan Indonesia yang antikritik, tidak berorientasi pada perbaikan, dan enggan berpikir.

Kedua, larangan terhadap penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender merupakan wujud diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ+, yang dapat semakin mempersempit ruang-ruang berekspresi sehingga melanggengkan budaya noninklusif dalam kerja-kerja jurnalistik.

Ketiga, Pemerintah menggunakan kekuasaannya secara eksesif melalui pasal-pasal pemberangus demokrasi berdalih perlindungan terhadap penghinaan dan pencemaran nama baik yang semakin dilegitimasi melalui RUU Penyiaran. Alih-alih mempersempit ruang kriminalisasi bagi jurnalis maupun masyarakat pada umumnya, eksistensi pasal elastis ini justru semakin diperluas penggunaannya.

Keempat, Pemerintah berusaha mereduksi independensi Dewan Pers dan fungsi UU Pers. Pasal 8A huruf q juncto 42 ayat (1) dan (2) pada draf revisi UU Penyiaran menimbulkan tumpang tindih antara kewenangan KPI dengan kewenangan Dewan Pers.

Pasal tersebut juga menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik, mengalihkan penilaian menggunakan P3 dan SIS. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers.

Berdasarkan hal-hal sebagaimana disebut di atas, dengan ini LBH Pers dan AJI Jakarta mendesak Presiden Jokowi dan DPR RI untuk meninjau ulang urgensi revisi UU Penyiaran; menghapus pasal-pasal problematik yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi; dan melibatkan Dewan Pers dan kelompok masyarakat sipil yang memiliki perhatian khusus terhadap isu-isu yang beririsan.

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Karyawan Umbar Kesombongan Ejek Pasien BPJS, PT Timah Minta Maaf

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:37

Sugiat Santoso Apresiasi Sikap Tegas Menteri Imipas Pecat Pelaku Pungli WN China

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:30

KPK Pastikan Tidak Ada Benturan dengan Kortastipikor Polri dalam Penanganan Korupsi LPEI

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:27

Tabung Gas 3 Kg Langka, DPR Kehilangan Suara?

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:10

Ken Martin Terpilih Jadi Ketum Partai Demokrat, Siap Lawan Trump

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:46

Bukan Main, Indonesia Punya Dua Ibukota Langganan Banjir

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:45

Larangan LPG di Pengecer Kebijakan Sangat Tidak Populis

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:19

Smart City IKN Selesai di Laptop Mulyono

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:59

Salah Memutus Status Lahan Berisiko Besar Buat Rakyat

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:45

Hamas Sebut Rencana Relokasi Trump Absurd dan Tidak Penting

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:26

Selengkapnya