Ruang gerak TikTok di Amerika Serikat semakin terbatas setelah Presiden Joe Biden menandatangani undang-undang yang akan memaksa penjualan atau pelarangan aplikasi berbagi video tersebut.
Undang-undang baru memberi waktu satu tahun kepada perusahaan induk TikTok, ByteDance, yang berbasis di Tiongkok untuk menjual aplikasi tersebut kepada pemilik baru. Jika perusahaan gagal melakukan divestasi, maka TikTok akan dilarang dari toko aplikasi dan layanan hosting web AS.
Berbeda dengan upaya-upaya sebelumnya yang memaksa penjualan atau pelarangan aplikasi tersebut, “Undang-Undang Perlindungan Aplikasi yang Dikendalikan Musuh Asing” mendapat dukungan bipartisan yang luar biasa dan mampu lolos ke Kongres dengan kecepatan luar biasa.
Versi asli dari RUU tersebut, yang meminta waktu enam bulan untuk melakukan divestasi, disahkan DPR pada bulan Maret , hanya beberapa hari setelah diperkenalkan. Versi yang diperbarui, yang memungkinkan divestasi hingga 12 bulan, disahkan pada akhir pekan.
Dalam sebuah pernyataan, TikTok mengatakan akan menantang hukum di pengadilan, yang dapat menunda penjualan atau pelarangan pada akhirnya.
"Undang-undang yang inkonstitusional ini adalah larangan TikTok, dan kami akan menantangnya di pengadilan,” kata perusahaan itu, seperti dikutip dari
Engadget, Kamis (25/4).
"Kami yakin fakta dan hukum jelas berpihak pada kami, dan pada akhirnya kami akan menang. Faktanya adalah, kami telah menginvestasikan miliaran dolar untuk menjaga keamanan data AS dan platform kami bebas dari pengaruh dan manipulasi luar. Larangan ini akan menghancurkan tujuh juta dunia usaha dan membungkam 170 juta orang Amerika," lanjutnya.
Dalam video yang dibagikan di TikTok , CEO Shou Chew menyebut undang-undang baru tersebut sebagai momen mengecewakan”
bagi perusahaan.
“Jangan salah, ini larangan TikTok dan larangan terhadap Anda dan suara Anda,” ujarnya.
“Ini sungguh ironis karena kebebasan berekspresi di TikTok mencerminkan nilai-nilai Amerika yang menjadikan Amerika Serikat sebagai mercusuar kebebasan," ujarnya.