Sidang putusan perkara sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (22/4)/RMOL
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjadi salah satu hakim yang mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam perkara sengketa Pilpres 2024.
Dalam pendapatnya Hakim Arief Hidayat menyampaikan persoalan pascareformasi yang ditandai oleh kejatuhan rezim nondemokrasi pada 1998. Dia juga menyoal pelaksanaan pemilu yang dilakukan lima tahun sekali sejak 1999 hingga saat ini.
"Artinya, sudah enam kali mengadakan Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden. Bahkan Pemilihan Umum 2024 merupakan pemilihan umum serentak yang cukup kompleks," kata Hakim Arief Hidayat saat membacakan pendapatnya dalam sidang putusan perkara sengketa Pilpres 2024, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (22/4).
Ia menambahkan, dalam pelaksanaan pemilu selama ini seharusnya dapat mengukur tingkat kedewasaan demokrasi di Indonesia.
"Sebab, penyelenggaraan pemilihan umum yang adil dan dilaksanakan secara berkala acapkali dijadikan salah satu instrumen untuk mengukur apakah kadar demokrasi kita semakin baik atau bahkan mengalami penurunan, atau jangan-jangan tanpa disadari boleh jadi demokrasi kita saat ini mengarah pada titik defisit demokrasi yang mengkhawatirkan," katanya.
Pasalnya, Hakim Arief Hidayat menilai adanya bukti-bukti konkret tentang tindak penyalahgunaan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemilu.
"Sebab, telah ternyata tampak jelas secara kasat mata adanya pelanggaran-pelanggaran yang bersifat fundamental terhadap prinsip-prinsip Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945," tutupnya.