DAHULU ketika kita menyebut politisi, Islam atau bukan, pada masa awal gerakan kemerdekaan Indonesia, maka kita akan menyebut sederet pemikir Indonesia. Sebut saja nama-nama seperti HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Sukarno, Hatta, M. Natsir, Wahid Hasyim, dan lainnya. Mudah sekali menemukan tulisan-tulisan mereka yang menunjukkan bagaimana gagasan mereka tentang Indonesia dan masa depannya. Mereka juga dikenal sebagai politisi ulung yang sanggup mengawal gagasan Indonesia merdeka hingga mewujud menjadi kenyataan.
Gerakan-gerakan politik mereka bahkan dapat melampaui politik para raja lama yang akhirnya tunduk pada kuasa Belanda. Mereka mendapat kepercayaan rakyat selain karena integritas mereka juga karena pikiran yang terkomunikasikan dengan baik lewat tulisan-tulisan mereka.
Salah satu yang menjadi perbincangan dalam polemik-polemik bernas mereka adalah tentang ideologi yang harus dijadikan pegangan seandainya Indonesia merdeka. Gelombang komunisme yang tengah naik daun karena keberhasilan Joseph Stalin menumbangkan Kaisan Tsar di Rusia dan mendirikan negara dengan ideologi komunis pertama berjuluk Uni Sosialis Soviet Republik (USSR) menyebabkan ideologi ini juga amat dikagumi di Indonesia.
Walaupun banyak utopianya, keinginan komunisme menciptakan negara untuk menyejahterakan rakyat telah mewujud menjadi institusi kongkrit sehingga banyak yang menaruh harapan besar bahwa komunisme sungguh-sungguh dapat menyelamatkan kaum tertindas di seluruh dunia.
Para aktivis kemerdekaan Indonesia termasuk yang banyak menggandrungi komunisme ini. Tidak kurang dari Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan lainnya selalu menyuarakan ini.
Hingga saat ini, kita masih bisa membaca perdebatan-perdebatan mereka yang tertulis, baik dalam buku-buku mereka maupun di surat kabar. Mereka berpolitik dengan gagasan yang jelas dan matang. Bisa jadi Aidit tidak sejalan dengan Natsir. Tapi keduanya sama-sama menulis. Sukarno bersebarang jalan pada akhirnya dengan Hatta, tapi kedua-duanya menuliskan alasan-alasan mereka secara bernas dalam buku-buku dan tulisan mereka di Koran.
Mungkin ada intrik dalam politik yang mereka jalankan, karena ruang ini tidak pernah sama sekali kosong dari intrik. Akan tetapi, seberapapun kuatnya intrik, gagasan tetap dipelihara dengan baik.
Sewaktu zaman kekuasaan berganti, Suharto berkuasa. Penuh intrik tentu saja. Suharto memang bukan penulis. Bukan juga aktivis. Umumnya orang tidak kenal pikiran-pikirannya. Ia berbeda dengan AH Nasution yang penulis.
Akan tetapi ketika naik ke tahta Presiden, Suharto adalah pengagum gagasan. Ia tidak mau menjalankan kekuasaannya tanpa ide. Ini terlihat dari pilihan Suharto atas pembantu-pembantunya. Sepanjang Orde Baru para menteri adalah orang-orang terbaik di bidangnya. Mereka umumnya pada ahli dan akademisi yang menguasai secara detail bidangnya.
Suharto tidak dikendalikan oleh Partai Politik untuk memasukkan orang-orang tertentu yang tidak jelas track record dalam bidangnya untuk menjadi pembantunya. Suharto menjalankan proses teknokratisasi secara relatif berhasil pada masanya. Gagasannya banyak ditentang.
Para penentangnya menuliskan gagasan juga dalam berbagai buku dan artikel koran atau majalah. Polemik-polemik adu gagasan menghiasi ruang-ruang bacaan publik. Salah satu jurnal terkemuka yang dikenal kritis terhadap berbagai kebijakan Orde Baru adalah Majalah Prisma terbitan LP3ES. Para mahasiswa pemikir, politisi, aktivis, dan para pengkritik Orde Baru pasti akrab dengan majalah ini. Sayang hari ini tidak terbit lagi karena sudah sepi pembaca.
Gagasan-gagasannya selalu dinantikan banyak kalangan pemerhati kebijakan Orde Baru. Penyokong Orde baru adalah CSIS (Center for Strategic and International Studies) besutan grup binaan Pater Beek. Jurnal dan buku-buku terbitannya menjadi santapan banyak kalangan yang ingin memahami kebijakan pemerintah Suharto hingga akhir tahun 1980-an.
Tahun 1990-an adalah tahun Suharto menemukan para intelektual Muslim melalui BJ Habibie. Ia mengizinkan Habibie mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Selera Suharto tidak berubah walaupun sudah meninggalkan CSIS. Ia tetap merekrut orang-orang dengan kepemilikan gagasan memadai untuk mendampinginya, teknokrat, kaum professional, dan akademisi kelas satu dari kalangan Muslim.
Kita tahu tahun 1990-an adalah tahun buku-buku berat dan serius menjadi buku-buku best seller di berbagai toko buku. Penulis-penulis serius seperti Amin Rais, Kuntowijoyo, Nurcholis Madjid, Quraisy Shihab, Harun Nasution, Yahya Muhaimin, dan lainnya adalah di antara nama-nama yang menghiasi buku-buku laris Tanah Air saat itu. Perburuan buku-buku pemikiran, sains, kebijakan publik, analisis ekonomi politik, kebudayaan, sejarah, dan lainnya menjadi keasyikan sendiri bagi para mahasiswa serius dan aktivis saat itu.
Buku seperti dunia yang tak terpisahkan dari para mahasiswa dan aktivis. Ada masa para ketua gerakan mahasiswa dan pemuda seperti HMI, PMII, IMM, GPI, dan lainnya berlomba-lomba melahirkan tulisan mereka, baik dalam bentuk buku maupun artikel di jurnal, majalah, dan Koran. Salah satu produknya adalah Anas Urbaningrum yang pernah menjadi Ketua PB HMI dan A. Muhaimin Iskandar yang pernah menjadi Ketua PB PMII. Hingga kini A. Muhaimin Iskandar masih banyak menulis buku.
Anas Urbaningrum beberapa bukunya sempat terbit sebelum menjadi politisi Partai Demokrat. Walaupun terbitnya buku kedua tokoh ini pada masa mulai memudarnya minat pada gagasan, tapi paling tidak keduanya menjadi saksi bagaimana tahun 1990-an dunia pemikiran dan gagasan masih menyala.
Reformasi sesungguhnya penuh harapan. Harapan atas masa depan bangsa yang cerah. Tapi rupanya harapan jauh dari kenyataan. Reformasi memakan anaknya sendiri. Tahun 2000-an adalah tahun debut decade pertama Reformasi. Dunia literasi masih kelihatan bergeliat. Buku-buku tetap menjadi rujukan utama.
Anehnya, tema mulai bergeser. Zaman ini buku-buku pemikiran bukan lagi buruan utama. Pertengahan tahun 2000-an adalah tahun booming buku-buku remaja bergenre ringan dan menghibur: chicklit, teenlit, novel percintaan walaupun berbalut agama, dan buku-buku serba ringan. Entah apa sebabnya. Mungkin para penulis zaman ini seperti sudah sampai pada zaman “kebebasan” sehingga tidak perlu lagi memikirkan bagaimana mengkritik kebijakan penguasa, berbeda dengan masa Orde Baru yang sangat represif sehingga semamgat perlawanan terhadap rezim cukup tinggi.
Para pemikir dan penulis di zaman Reformasi dapat langsung bertranformasi menjadi pemegang kebijakan dan kekuasaan melalui partai politik yang bebas didirikan dan tanpa kontrol kekuasaan.
Zaman Reformasi adalah zaman para pemikir, penulis, dan guru berebut kuasa. Banyak yang sudah tidak betah di ruang idealisme penuh mimpi. Semunya ingin tampil di ruang publik yang hingar bingar. Setiap momen pemilu nama-nama mereka ikut tampil menghiasi kertas suara, walaupun lebih banyak yang gagal. Tahun 1999 adalah awal banyak guru, ulama, kiai, penulis, dan pemikir bertransformasi menjadi politisi.
Pada tahun-tahun awal Reformasi keberadaan mereka di Parlemen dan pemerintahan seolah memberikan harapan baru bagi politik Indonesia. Sayangnya, saat mereka naik ke panggung kekuasaan suasana politik yang penuh intrik rupanya lebih dominan daripada suasana adu gagasan bernas dalam dunia penciptaan tulisan dan ruang akademik. Pasalnya, gepokan uang di tangan para politisi telah membuat lena. Oligarkhi kembali ingin mengambil bagian mereka yang pada masa Orde Baru telah mereka rintis.
Lama kelamaan suasana politik bukan lagi ruang diskusi gagasan yang menarik antar-ideologi. Ruang politik berubah menjadi ruang transaksional. Tidak heran belum genap Reformasi berusia 30 tahun, angka korupsi sudah semakin memalukan.
Reformasi lama-lama menjelma menjadi surga bagi para politisi tanpa "kepala". Mereka bergentayangan menjadi hantu transaksi kepentingan para oligarkh yang hanya peduli pada uang, tidak yang lain. Dekade ketiga Reformasi saat ini parlemen dan pemerintahan semakin sesak dengan politisi model baru. Mereka tidak perlu pintar; kadang-kadang tidak perlu kaya juga. Untuk jadi politisi tidak perlu punya gagasan hebat.
Bahkan untuk menjadi menteri tidak mesti orang terbaik di bidangnya. Mereka hanya harus siap menjadi "kacung" oligarkhi. Pelajaran yang mesti ditempuh untuk menjadi politisi bukan harus bertungkus lumus menghabiskan berjilid-jilid buku; bukan juga mesti belajar agar pandai menyampaikan gagasan ke hadapan publik lewat tulisan atau orasi yang bernas.
Pelajaran utamanya adalah sejak aktivis dikenalkan dengan para bohir yang siap membiayainya untuk berkontestasi. Bohir-bohir ini yang nanti akan meng-endorse-nya kepada para politisi senior yang sudah lebih dulu menjadi “kacung” mereka. Inilah kaderisasi politik produk Reformasi.
Ke mana organisasi gerakan pemuda dan mahasiswa? Masih adakah wacana? Masih berisikah kepala mereka? Entahlah. Agak sedih untuk menuliskannya. Para aktivis mahasiswa dan pemuda semestinya adalah aset berharga. Mereka adalah calon pemimpin di masa depan. Tapi kelihatannya mereka lebih ingin hidup realistis daripada memupuk idelisme untuk masa depan.
Hampir tidak terlihat lagi aktivis-aktivis mahasiswa, baik kanan, kiri, atau tengah, yang menenteng buku-buku, membicarakan gagasan-gagasan, mengritik kondisi yang memuakkan, mencari guru untuk terus memupuk semangat dan idelisme. Entah mengapa para aktivis mahasiswa malah lebih senang ikut menjadi bagian dari arus politik tanpa ide, tanpa gagasan, dan tanpa isi kepala di masa Reformasi yang kelihatan semakin kelam ini.
Para aktivis, walaupun masih mahasiswa dan tidak punya uang, amat senang mempertontonkan kemewahan. Bila beracara memlih hotel mewah. Ceritanya diskusi. Tema entah apa. Isi lebih banyak haha hihi. Tidak peduli. Yang penting gengsinya sudah dapat: hotel mewah. Mental kampungan semacam ini yang menjadi kebiasaan para aktivis mahasiswa saat ini. Tentu semua heran.
Mahasiswa yang jelas belum punya penghasilan, berseminar dan berdiskusi di hotel mewah. Dari mana mereka mendapatkan dana? Jawabannya sederhana saja. Kakak pembina yang siap menyalurkan mereka menjadi bagian dari “kacung” oligarki.
Mengapa begitu yakin? Agak sulit membayangkan para mahasiswa berbekal proposal lusuh, mengimpun dana dari pintu ke pintu, tiba-tiba uangnya dihambur-hamburkan untuk kegiatan memakan biaya besar dengan signifikansi rendah semacam itu.
Apakah ini kemajuan bangsa atau ancaman masa depan Indonesia? Zaman memang terus berubah. Tapi takdir sejarah selalu berpihak kepada mereka yang memelihara mimpi dan gagasan. Wallâhu A’lam.